Suara.com - In vino veritas, dalam anggur ada kebenaran—begitulah yang dipahami para pencari kebijaksanaan kuno, dan diwariskan bahkan hingga ke sekelompok orang di Kota Jogja: para peracik 'wine'.
RUMAH itu mudah ditemukan meski berada dalam gang, apalagi ketika awan bergelayut di langit yang menandakan cerahnya cuaca di pinggiran Kali Code, Kota Yogyakarta, Selasa (25/6/2019) sore.
Sejumlah jeriken dan galon berisi air sari buah berjejer di dapur gerha yang terbilang sederhana itu.
Sudah dua pekan air sari buah direndam dalam jeriken. Air sari buah tomat, pisang, manggis, salak, wortel, dan bunga rosela masing-masing direndam dalam jeriken berselang, sebagai proses fermentasi menjadi minuman beralkohol.
Butuh waktu sebulan atau dua bulan bagi sang peracik, Agung Hermanto, untuk mengubah perasan air beragam buah itu menjadi minuman beralkohol.
Geger, begitulah Agung sehari-hari biasa disapa. Sarjana Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada dan Sastra Inggris Universitas Sanatadarma itu adalah seniman yang turut bergiat meracik minuman fermentasi buah di Jogja.
Minuman fermentasi buah itu dibuat bukan untuk diperjual-belikan, melainkan untuk dikonsumsi sendiri bersama teman-temannya.
Jika berlebih setelah diminum bersama ’saudara sebotol’, barulah Geger mengemas air fermentasi buah itu dalam botol dan diberi merek AMUNISI, akronim dari air minum fermentasi.
“Saya dan teman-teman memproduksi minuman fermentasi untuk konsumsi sendiri. Kalau produksi berlebih, kadang kami bagi-bagikan ke orang yang mau, dengan membayar ganti ongkos produksi. Terkadang kami ikut pameran,” kata Geger kepada Suara.com.
Amunisi buatan Geger dan rekan-rekannya tak pernah diproduksi secara massal, seperti halnya para pengusaha minuman beralkohol untuk memenuhi kebutuhan pasar dan akumulasi modal.
Ia selalu memproduksi Amunisi secara terbatas. Sesekali, kalau ada bazar makanan berbasis komunitas, barulah Geger dan teman-temannya memamerkan minuman Amunisi.
Setiap pameran, ia menawarkan Amunisi per botol ukuran 0,5 liter seharga Rp 45 ribu. Peminatnya ternyata cukup banyak, bahkan ada yang membeli dari mereka untuk dijual kembali ke kafe-kafe seharga Rp 120 ribu.
“Kami tahunya itu dari pihak yang lain, bahwa Amunisi ternyata dijual ke kafe-kafe. Itu contohnya, jadi kalau kami sendiri, bukan untuk mengejar target produk, tetapi kami menghargai hasil karya,” tuturnya.
Untuk Amunisi, Geger memproduksi minuman fermentasi dari buah-buahan yang bukan musiman. Ia membuatnya dari buah yang selalu tersedia dijual di pasar. Misalnya pisang, nanas, atau apel.
Selain buah-buahan, ia juga membuat minuman fermentasi dengan dicampur rempah-rempah, seperti bunga rosela, mawar, kamboja, pandan, sereh, temulawak, jahe dan sebagainya.
“Jadi tidak hanya buah yang bisa dibikin fermentasi, tetapi juga rempah-rempah atau empon-empon seperti jahe, temulawak dan bermacam-macam. Cuma permasalahannya, itu disebut anggur atau bukan adalah persoalan bahasa. Ada yang bilang liker, cider, rum, itu tergantung mereka (menamakan),” jelasnya.
Kebajikan Leluhur
Agung menepis persepsi sebagian orang yang mengatakan, setiap minuman beralkohol tak memunyai manfaat yang baik, cuma untuk mabuk-mabukan.
“In vino veritas, saya tahu pepatah kuno itu, bahwa di dalam anggur ada kebenaran. Saya tambahkan, when the alcohol in, the truth comes out, ketika alkohol ‘masuk’, kebenaran akan ‘keluar’, begitulah,” kata Geger.
Ia lantas menerangkan filosofi pepatah tersebut. Biasanya, ketika seseorang meminum anggur sampai mabuk, akan menjadi senang, rileks, lalu berkata-kata yang benar dan jujur.
Karenanya, kata Geger, seringkali minuman fermentasi buah—entah itu wine, rum, dan lainnya—disebut sebagai ”air kata-kata”, karena membuat si peminumnya banyak berbicara.
Bahkan yang pendiam sekali pun, sambungnya, ketika meminum anggur bisa menjadi cerewet, sehingga menampakkan keaslian, kebenaran dirinya sendiri.
“Saya menyukai pepatah dari seorang sufi Jalaluddin Rumi. Dia berkata: gratitude is the wine for the soul. Go on. Get drunk! (Syukur adalah anggur untuk jiwa. Silakanlah. Mabuk!). Meskipun Rumi berbicara tentang rasa syukur atau bersyukurlah selalu, bisa juga ‘mabuklah selalu dengan rasa syukur’, seperti itu.”
Geger yang juga peneliti di Lifepatch, lembaga riset dan pengabdian masyarakat ini menuturkan, pengolahan minuman fermentasi buah merupakan warisan luhur di berbagai daerah Nusantara.
Pengolahan minuman fermentasi telah dilakukan sejak zaman nenek moyang dengan menggunakan hasil bumi seperti buah-buahan dan tumbuhan.
Dahulunya, minuman fermentasi dikonsumsi untuk alasan kesehatan, upacara adat atau untuk relaksasi, bukan untuk mabuk-mabukan.
“Yang jelas kan ini proses pengetahuan. Sebagai pengetahuan yang mendunia juga, jangan sampai hilang,” kata dia.
Sementara pada zaman kiwari, fermentasi bisa dilakukan untuk diversifikasi makanan, dan reservasi atau pengawetan makanan.
Misalnya, ketika memasuki musim panen buah mangga, ketimbang terbuang karena kebanyakan, lebih baik difermentasikan supaya tidak mubazir.
Hal itu dilakukan seperti di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Ketika masuk musim panen buah jambu mete, biasanya yang dipetik hanya biji mete. Sedangkan buahnya bisa difermentasikan menjadi minuman.
“Indonesia punya 1001 buah tropis, 1001 rempah-rempah, 1001 empon-empon, kenapa itu enggak dimanfaatkan dengan cara fermentasi. Jadi kalau bisa dilihat sebagai sesuatu yang berguna, kenapa disingkirkan,” ucapnya.
Geger mengungkapkan, ia bersama teman-temannya memproduksi minuman fermentasi sendiri sejak 10 tahun silam.
Bermula dari naiknya cukai minuman keras mencapai 300 persen pada tahun 2010 yang menyebabkan harganya semakin mahal.
“Ditambah lagi kegelisahan kami karena maraknya orang yang meninggal setelah menenggak minuman keras oplosan.”
Mabuk Bukan Tujuan
Selain memproduksi, Geger bersama rekan-rekannya yang tergabung dalam Lifepatch juga membikin pelatihan atau workshop membuat minuman fermentasi.
Workshop itu dilakukan untuk mengedukasi dan mengajarkan masyarakat membuat minuman fermentasi sendiri yang lebih terjamin sehat, daripada membeli di pasaran.
Awalnya, teman-teman di komunitasnya minta diajarkan membuat minuman fermentasi. Oleh Geger, mereka diajarkan secara cuma-cuma. Bahan buah-buahannya juga disiapkan oleh peserta dan peralatan disediakan Lifepatch.
“Kami kemudian mengundang teman-teman lain, menjadi makin ramai dan banyak yang minta atau ikut workshop. Sekarang, kami ada program Go-Fermen yaitu workshop fermentasi, yang pertama kami bikin free dan selanjutnya tidak, karena belajar mengelola anggaran,” terang dia.
Agus Tri Budiarto, rekan Geger sesama anggota Lifepatch, menuturkan workshop itu dibuat untuk membongkar pola pikir arus utama masyarakat, bahwa fermentasi indentik dengan minuman keras yang memabukkan.
Padahal, fermentasi tidak hanya sebatas minuman beralkohol, bisa untuk membuat minuman sehat lain seperti susu yogurt.
Bila sedang musim panen buah, kata Agus, mereka membuat workshop fermentasi. Pesertanya beragam, tak hanya anak muda, tapi dewasa, ibu-ibu, dan anak-anak.
Sebab, perbengkelan fermentasi itu tidak cuma membuat minuman beralkohol, anak-anak bisa belajar fermentasi atau belajar energi alternatif.
“Alkohol kan bisa dipakai menjadi bahan bakar alternatif, jadi metanol, etanol itu bisa digunakan buat bahan bakar alternatif. Workshop ini untuk mengedukasi, lebih ke belajar bersama apa yang kita konsumsi. Jadi kayak minuman yogurt atau wine kan bisa beli. Tetapi kalau beli, apakah kita tahu sumbernya dari mana, kemudian prosesnya benar apa tidak,” tutur dia.
Pria yang akrab disapa Timbil ini menjelaskan, ia bersama teman-temannya memproduksi minuman fermentasi berawal dari kegelisahan maraknya orang yang mati setelah menegak minuman keras oplosan di beberapa daerah termasuk Yogyakarta.
Beberapa tahun lalu, media massa santer memberitakan kasus dua teknisi pesawat Sukhoi asal Rusia tewas setelah menegak minuman keras lokal di Makassar.
Sementara pada pertengahan 2010, cukai minuman keras naik drastis, sehingga harga minuman mahal.
“Jadi kami pengin mengubah pola pikir masyarakat, karena produk-produk fermentasi kan bukan selalu wine atau minuman alkohol. Ada kombuca, tempe, yogurt dan sebagainya, itu kan tak ada alkoholnya,” jelas Timbil yang seorang sarjana Teknik Kimia.
Terganjal Legalisasi
Namun, beragam laku fermentasi air sari buah yang digiatkan di Yogyakarta, tetap juga terkendala legalisasi pemerintah.
Aldi—bukan nama sebenarnya—peracik air sari buah-buahan yang populer tak hanya di Yogyakarta, tapi juga di luar negeri, merasakan kendala tersebut.
Padahal, kata dia, pengolahan minuman fermentasi dari buah-buahan adalah warisan leluhur di Indonesia.
“Saya asli Solo, di sana ada minuman fermentasi terkenal, namanya Ciu Bekonang dan sudah ada sejak nenek moyang. Semua daerah di Indonesia juga sama, punya tradisi itu sebenarnya. Tapi kini, persoalannya adalah legalisasi,” tuturnya.
Ia menjelaskan, sejumlah rekannya sudah memunyai uang dan menyambangi dinas yang mengurusi izin produksi.
Namun, mereka tak mendapat izin produksi maupun penjualan karena slot perizinannya sudah tak tersedia.
“Kami sempat bertanya, kenapa tak lagi ada perizinan baru? Kami justru disuruh membeli izin anggur dari daerah Palembang Sumatera Selatan yang sudah tutup,” jelasnya.
Ia menyesalkan hal tersebut. Sebab, menurut Aldi, minuman fermentasi produksi lokal justru berkebalikan dengan yang ada selama ini dipasaran, terutama dalam aspek kesehatan.
“Belum tentu yang sudah berlabel itu sehat. Walau ada keterangan dari departemen kesehatan soal kedaluarsa, komposisi, dan sebagainya, apakah bisa terjamin? Kalau kami, bisa dipastikan tak memakai pengawet yang menyebabkan kanker, justru ada antioksidan serta menyehatkan,” tuturnya.
Aldi betul-betul memahami seluk beluk pembuatan minuman fermentasi. Semasa berkuliah di Institut Seni Indonesia dan Universitas Islam Indonesia, dia sudah menggeluti dunia tersebut.
Soal persepsi masyarakat yang menuding minuman beralkohol adalah tak baik untuk kesehatan dan moral, juga ditepisnya.
“Minuman fermentasi ini beralkohol, tapi bukan masalah bermoral atau tidak. Ini tradisi, kebudayaan, tak terkait dengan semisal gaya hidup seseorang yang setiap hari hanya mabuk-mabukan dan tak bermoral. Setiap peradaban memunyai minuman alkohol ciptaannya sendiri, apakah artinya setiap peradaban tak bermoral,” katanya.
Menurutnya, proses legalisasi minuman fermentasi buah buatan lokal sebaiknya dilonggarkan.
Itu juga bisa menjadi solusi terbaik untuk mengatasi maraknya miras oplosan yang sudah terbukti mudah mengundang maut.
“Dengan melegalisasi hasil minuman fermentasi buah buatan lokal, maka pembuat miras oplosan lama-lama akan punah. Dengan dilegalisasi, maka pemerintah juga akan mudah mengontrol peredarannya.”
Bagi Aldi, legalisasi minuman beralkohol ferementasi buah buatan lokal juga tak bertentangan dengan moral-moral baik.
Ia menjelaskan, setiap masyarakat yang tertutup atau memosisikan minuman beralkohol sebagai barang ilegal, justru lebih mudah memunculkan penyelewengan norma-norma sosial.
“Kalau soal minuman keras, mana ada masyarakat yang tidak mempunyai tradisi minum di dunia ini. Bahkan di Timur Tengah, banyak peradaban peminum dan suka pesta.”
Bahan ini sedang naik daun karena dikenal mampu mencerahkan kulit, meratakan warna, dan meningkatkan kelembapan.
Peralihan dari pola makan mentah ke pola makan yang melibatkan makanan yang telah diuraikan sebagian oleh mikroba (fermentasi) mungkin merupakan peristiwa kunci dalam evolusi.
Eco Enzyme: Langkah kecil, dampak besar dalam melestarikan lingkungan. Mari gunakan Eco Enzyme dalam kehidupan sehari-hari kita!
Kimchi adalah makanan khas Korea yang terkenal dengan cita rasa pedas dan asamnya. Belakangan ini makanan tersebut semakin populer di seluruh dunia termasuk Indonesia...
Apakah target yang diminta PSSI dan dipatok Indra Sjafri masuk akal?
Berikut kisah Tumenggung Endranata si pengkhianat.
Jurit Malam Kost 1000 Pintu mengisahkan tentang seorang gadis bernama Suci yang baru saja pindah ke sebuah kota untuk mencari kos.
Sebenarnya revisi UU Hak Cipta tengah digodok oleh DPR RI. Kabar itu disampaikan Melly Goeslaw pada 11 Februari 2024 lalu.
Meski Menteri Keuangan kemudian mengklarifikasi bahwa BPI tidak terdampak, kabar ini sempat membuat para awardee resah. Seperti apa keresahan awardee?
MA bekukan hak beracara Razman & Firdaus. Pakar nilai sanksi kurang, harusnya dipidana.
Berarti memang tingkat legitimasi atau dukungan dari masyarakat itu masih kepada tokoh eks-GAM, kata Kemal.