Suara.com - WAKIL Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2007-2009 Chandra M. Hamzah berpandangan bahwa Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah pasal karet yang bisa disalahgunakan untuk menjerat seseorang, bahkan masyarakat kecil.
Hal itu diungkapkan Chandra saat dihadirkan sebagai ahli dalam sidang gugatan perkara Nomor 142/PUU-XXII/2024 soal uji materi Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor di Mahkamah Konstitusi pada Rabu, 18 Juni 2025 lalu.
Menurut dia, seorang pedagang pecel lele yang berjualan di trotoar bisa dijerat menggunakan pasal UU Tipikor tersebut. Pasal 2 ayat 1 berbunyi, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Sedangkan Pasal 3 berbunyi, "Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Menurut dia, kedua pasal tersebut menimbulkan problematika. Karena prinsipnya untuk merumuskan delik harus jelas dan tidak ambigu, serta tidak boleh ditafsirkan secara analogi.
Merujuk pada lex certa menekankan bahwa rumusan tindak pidana dalam undang-undang harus jelas dan pasti, sehingga dapat dipahami oleh masyarakat. Sementara lex stricta mengharuskan penerapan hukum pidana secara tegas dan ketat, tanpa adanya penafsiran analogi.
Chandra berpendapat, ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor bisa menjerat seorang pedagang pecel yang berjualan di trotoar karena ada kalimat, "setiap orang." Pedagang pecel menurutnya termasuk "setiap orang" yang melakukan perbuatan "melawan hukum" karena berjualan di trotoar--yang seharusnya hak bagi pejalan kaki dan merusak fasilitas negara.
Kemudian pedagang pecel mendapatkan keuntungan dari berjualan di trotoar. Hal ini bisa dianggap bagian memperkaya diri sendiri dari perbuatan melawan hukum, sehingga bisa disebut merugikan negara karena fasilitas yang rusak dan disalahgunakan.
"Maka penjual pecel lele adalah bisa dikategorikan, diklasifikasikan melakukan tindak pidana korupsi. Ada perbuatan memperkaya diri sendiri, ada melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, merugikan keuangan negara,” kata Chadra dikutip Suara.com dari laman resmi MK, Kamis 26 Juni 2025.
Oleh karena itu, ia meminta agar Pasal 2 Ayat 1 UU Tipikor dihapuskan. Sebab rumusannya dianggap melanggar asas lex certa, perbuatan yang dinyatakan sebagai korupsi.
Sementara pasal 3 UU Tipikor yang juga memuat frasa "setiap orang" menurutnya bisa mengaburkan esensi dari tindak pidana korupsi. Karena tidak semua orang memiliki kekuasan yang dapat disalahgunakan untuk korupsi.
Padahal, kata Chandra, ketentuan ini seharusnya secara spesifik menyoroti jabatan atau kedudukan tertentu yang berpotensi merugikan keuangan atau perekonomian negara. Dia pun meminta Pasal 3 direvisi.
"Dengan mengganti, menyesuaikan dengan Article 19 UNCAC yang sudah kita jadikan norma. ‘Setiap Orang’ diganti dengan ‘Pegawai Negeri’ dan ‘Penyelenggara Negara’ karena itu memang ditujukan untuk Pegawai Negeri dan kemudian menghilangkan frasa ‘yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara’ sebagaimana rekomendasi UNCAC,” jelasnya.
Analogi tidak apple to apple
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada atau Pukat UGM, Zaenur Rohman mengamini bahwa kedua pasal itu bisa disalahgunakan untuk menjerat masyarakat di lapisan bawah. Namun, jika pun aparat menindak pedagang pecel yang berjualan di trotoar tidak akan menjeratnya dengan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor.
Dia menghargai pendapat Chandra sebagai ahli hukum, tapi menganalogikan pedagang pecel lele dengan tindak pidana korupsi menurutnya tidak aple to aple.
"Tapi saya yakin tidak ada lah penegakan hukum yang akan menjerat penjual pecel lele. Itu tidak apple to apple, tidak juga kemudian harus dianalogikan seperti itu," kata Zaenur saat dihubungi Suara.com, Kamis, 26 Juni 2025.
Sementara pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai pandangan yang disampaikan Chandra terlalu jauh, khususnya soal perbuatan melawan hukum, dan penyalahgunaan kewenangan.
"Demikian juga soal kerugian negara tidak sesederhana itu. Sebagai tafsir boleh saja, tapi agak nyeleneh," kata Fickar kepada Suara.com.
Dia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kerugian keuangan negara adalah uang atau aset yang langsung berpindah kepemilikannya. Berbeda konteks dengan pedagan pecel lele--yang bukan merugikan keuangan negara dalam lingkup perkara tindak pidana korupsi.
Menurut dia, kalau pedagang pecel lele yang berjualan di trotoar dianggap melanggar, bukan termasuk dalam perbuatan tindak pidana korupsi. Tetapi melanggar peraturan daerah soal peruntukan trotoar bagi pejalan kaki.
"Tapi kan menjamurnya PKL itu justru indikator ketidakmampuan negara menyediakan tempat berjualan bagi rakyat kecil," tuturnya.
Perdebatan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor
Zaenur mengemukakan bahwa perdebatan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor sudah terjadi sejak lama, dan berkali-kali telah digugat ke Mahkamah Konstitusi. Namun, ia tidak sepakat jika pasal tersebut dihapuskan.
Menurutnya yang perlu dilakukan adalah reformulasi, atau merumuskan ulang kedua pasal itu untuk menjamin agar tidak disalahgunakan oleh aparat penegak hukum.
Zaenur menyebut kedua pasal itu berpotensi digunakan untuk mengkriminalisasi pembuat kebijakan. Sehinga harus terdapat pedoman dalam penggunaannya.
"Menurut saya perbuatan melawan hukumnya harus ditujukan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain. Nah, tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lainnya itulah yang harus dirumuskan, diformulasikan dalam perubahan Undang-Undang Tipikor melalui Pasal 2 dan Pasal 3," terangnya.
"Jadi menyalahgunakan kewenangan dan juga melawan hukumnya. Pasal 2 kan melakukan hukum, Pasal 3 menyalahgunakan kewenangan. Itu harus bertujuan, nah bertujuannya itu yang perlu untuk dinormakan, diubah dalam bentuk pasal," sambungnya.
Hal ini menjadi penting agar kedua pasal tersebut tidak bersifat multitafsir, sehingga memenuhi lex certa dan lex stricta.
"Di mana asas dalam hukum pidana itu kan harus tertulis, harus pasti, dan harus kaku, tidak menimbulkan ruang multitafsir," tegasnya.
Dalam beberapa kasus memang jamak ditemukan penggunaan kedua pasal tersebut. Misalnya pada kasus dugaan korupsi impor gula yang menjerat Mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong alias Tem Lembong. Tom dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 dan 3, karena kebijakan melakukan impor gula sehingga disebut secara bersama-sama merugikan keuangan negara sebesar Rp 578 miliar. Tetapi belum ditemukan berapa aliran uang diduga diterima oleh Tom.
Fickar juga berpendapat serupa. Perlu ada perubahan dalam kedua pasal itu agar tidak menyebabkan multitafsir. Menurutnya, konteks kerugian negara tidak bisa dipisahkan dari tindak pidana korupsi.
"Konteks kerugian negara itu substansi tindak pidana korupsi, karena itu suap, gratifikasi atau sejenisnya juga ujungnya merugikan negara karena rusaknya aparatur sebagai pelaku," jelas Fickar.
Gugatan ini tidak menyoal isi pasal per pasal, melainkan membidik jantung dari proses legislasi itu sendiri
Setiap undang-undang bersifat umum, artinya mengikat siapa saja. Sehingga, setiap warga negara tanpa memandang latar berhak mengajukan gugatan ke MK.
Kedua pasal UU Tipikor menimbulkan masalah serius karena dianggap ambigu dan berpotensi melanggar asas lex certa (kepastian hukum) maupun lex stricta (penafsiran yang ketat).
Setiap tindak penyiksaan harus diberikan hukuman yang setimpal dan memberi jaminan ganti rugi terhadap korban serta kompensasi yang adil, jelas Anis.
Kerja sama tersebut menghilangkan daya kritis ormas keagamaan terhadap kebijakan atau keputusan pemerintah yang tidak pro rakyat.
Angka ini sangat ambisius apabila dilihat dari track record koperasi kita, kata Jaya.
Pengakuan Marcella Soal Biaya Narasi Penolakan RUU TNI dan "Indonesia Gelap" Dinilai Berbahaya: Membuat Kelompok Masyarakat Sipil Semakin Rentan
Proyek tersebut tidak berdasarkan pada prinsip-prinsip kemanusian dan adab," kata Busyro.
Negara tidak bisa terus mempertahankan kebijakan yang terbukti gagal yang justru memperluas pasar gelap dan menjerat kelompok rentan, termasuk perempuan, ujar Girlie.
Setiap undang-undang bersifat umum, artinya mengikat siapa saja. Sehingga, setiap warga negara tanpa memandang latar berhak mengajukan gugatan ke MK.