Suara.com - Delapan sekawan dari Taiwan berangkat ke Indonesia untuk menjemput mati. Mereka divonis hukuman tembak karena dituduh mengedarkan sabu 1 ton, meski dipenuhi kejanggalan. Satu orang mati ketika menunggu ganjaran di Lapas Cipinang.
JUMAT di penghujung bulan Mei 2019, merupakan hari yang sibuk bagi banyak orang di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas 1 Cipinang, Jalan Bekasi Timur Raya, Jatinegara, Jakarta Timur.
Siang itu menjadi hari spesial karena jadwal kunjungan narapidana dibuka lebih lama dari biasanya, yakni mulai pukul 13.30 WIB sampai 15.00 WIB.
Ribuan orang rela mengantre untuk menjenguk sanak keluarga, teman, atau kolega mereka masing-masing yang menjadi penghuni lapas.
Jurnalis Suara.com, seorang penerjemah bahasa Mandarin bernama Susy Ong, dan pengacara bernama Sojuan Seno Hutabarat, juga ikut dalam barisan antre, untuk menjenguk delapan warga negara Taiwan yang divonis mati di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas tuduhan mengedarkan sabu sebanyak 1 ton.
Delapan terpidana mati ini terdiri dari 5 transporter atau pengirim barang jalur laut yakni Juang Jin Sheng; Sun Kuo Tai; Sun Chi Feng; Kuo Chun Yuan; dan, Tsai Chih Hung.
Sedangkan tiga lainnya merupakan transporter jalur darat yakni Liao Guan Yu, Chen Wei Cyuan dan Hsu Yung Li.
Masuk ke dalam Lapas Kelas 1 Cipinang serasa menyusuri jalur batas teritorial dengan penjagaan yang berlapis dan berseri.
Selepas masuk gerbang utama, pengunjung terlebih dulu harus menunjukkan identitas diri seperti KTP atau SIM. Setelah itu berjalan menuju ruang layanan informasi.
Satu petugas layanan informasi Lapas Cipinang bernama Fauzan, mengonfirmasi kedelapan terpidana mati masih berada di sana, belum dipindah ke Lapas Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
“Maaf saya hanya memberi izin kepada kalian maksimal bertemu dengan tiga terpidana. Silakan nama-namanya ditulis pada formulir,” ujar Fauzan, dengan nada menghardik.
Setelah berunding untuk menentukan pilihan, disepakati yang dibesuk adalah napi Chen Wei Cyuan, Sun Kuo Tai, dan Liao Guan Yu.
Ketiganya bisa merepresentasikan transporter laut dan transporter darat dalam kasus sabu 1 ton.
Setelah formulir izin penjengukan disahkan petugas, barulah pengunjung dibolehkan menyusuri lorong menuju ke dalam lapas.
Seluruh barang elektronik seperti telepon genggam dan perekam suara harus ditinggal di tempat penitipan. Sementara buku catatan dan pulpen dibolehkan dibawa masuk.
Seusai melewati alat pendeteksi metal dan penggeledahan manual, tibalah di satu ruangan berbentuk persegi panjang berukuran sekitar 25 x 45 meter atau seluas lapangan futsal.
Memasuki ruangan tersebut, hidung serasa dicucuk bau keringat ratusan pengunjung yang tumpah ruah dalam satu ruangan.
Saking sesaknya, sebagian mereka memilih duduk di teras ruangan. Mereka duduk lesehan menggunakan alas seadanya.
Hal itu masih ditambah dengan bising suara yang dihasilkan dari obrolan para pengunjung. Setiap pembesuk dan yang dibesuk, harus berbicara keras dan mendekatkan wajah untuk berkomunikasi satu sama lain.
Selang 20 menit, para terpidana mati datang diantar petugas. Dari tiga yang diminta, hanya dua orang muncul: Chen Wei Cyuan dan Sun Kuo Tai.
Canda Sebelum Mati
Berpakaian kaos oblong dan bersandal jepit, mereka datang menghampiri, berjabat tangan dan beramah tamah menggunakan bahasa Mandarin. Semua terjadi secara alami.
Chen Wei Cyuan merupakan pria muda berusia 22 tahun. Saat itu dia menggunakan kaos berwarna merah dan berkaca mata.
Sedangkan Sun Kuo Tai yang berusia 38 tahun, merupakan pria berbadan kekar dan tinggi. Ia menggunakan kaos berwarna hitam. Mereka tampak segar dan gemuk.
Setelah bergegas mencari tempat duduk yang sekiranya tidak terlalu ramai dan bising, penerjemah bahasa Mandarin, Susy Ong, mulai bertanya kepada kedua terpidana mati tersebut.
Susy menanyakan kondisi kesehatan mereka setelah dipindah dari Rumah Tahanan (Rutan) Cipinang ke Lapas Kelas 1 Cipinang.
Mereka menjawab pertanyaan tersebut dengan nada meledek, “Baik, alhamdulillah kami sehat,” ujar Sun Kuo Tai dengan raut wajah tersenyum.
Mendengar jawaban tersebut, perbincangan menjadi cair, semua tertawa lepas.
Mereka kemudian menceritakan bersama tujuh terpidana mati lainnya menempati kamar yang berbeda.
Ketiga transporter jalur darat penyelundupan sabu, menempati lantai 3 TPT. Sedangkan para transporter laut menempati lantai 2 ruang 216.
Kalau sore hari, mereka sering melakukan olahraga di lapangan terbuka yang letaknya berada di tengah Lapas Kelas 1 Cipinang.
Namun, mereka mengakui tidak cocok dengan menu masakan yang diberikan kepada para terpidana.
“Kalau mau makan enak, harus bayar. Padahal kami tidak punya uang,” ujar Sun Kuo Tai.
Mereka juga menceritakan selama dalam penjara, pernah dijenguk oleh keluarga dari Taiwan.
Melalui pertemuan itu, mereka mengetahui keluarga sudah melakukan banyak upaya meminta perlindungan dari kepolisian Taiwan agar delapan sekawan di Indonesia tak dihukum mati. Tapi semua sia-sia.
“Saya masih berkomunikasi dengan keluarga di Taiwan. Mereka di Taiwan sudah berusaha agar kami tak dihukum mati. Tapi hal itu ditolak, karena kami berurusan dengan kasus narkotika,” ujar Sun Kuo Tai seperti yang disebutkan oleh penerjemah.
Chen Wei Cyuan tiba-tiba menyela di tengah obrolan. Ia menjelaskan, berdasarkan keterangan keluarga mereka, kepolisian Taiwan berhasil meringkus tiga orang yang memberikan pekerjaan mengantar sabu 1 ton ke Indonesia.
Orang tersebut bernama Yen Po Chun alias Aphao, Yen Hung Chi alias Apin, dan Mr X. Ketiganya, sebelumnya juga sudah ditetapkan sebagai buronan oleh Polri.
“Keluarga kami memberi tahu, dua bersaudara yang memberi pekerjaan kepada kami sudah ditangkap di Taiwan. Mereka bahkan diproses hukum di persidangan Taiwan. Mengapa hal tersebut tidak menjadi pertimbangkan agar hukuman mati kepada kami dianulir,” tanya Chen Wi Cyuan.
Kematian Sun Chih Feng
Obrolan bersama para terpidana mengalir. Sun Kuo Tai kemudian teringat sesuatu yang sebenarnya ingin ia sampaikan.
Raut wajahnya menunjukkan orang yang lupa akan suatu hal. Kemudian, sembari menghela nafas, ia menceritakan kabar duka yang terjadi di Lapas Kelas 1 Cipinang.
Ia menuturkan, satu dari delapan terpidana mati sebenarnya sudah meninggal dunia sebelum dieksekusi mati.
Seorang terpidana yang meninggal itu bernama Sun Chih Feng (41), pria yang juga merupakan kakak kandung dari Sun Kuo Tai.
Kabar tersebut terbilang mengagetkan bagi Susy Ong yang sejak lama menjadi penerjemah mereka, dan juga sang pengacara, Sojuan Seno Hutabarat. Sebab, keduanya tak diberi tahu soal kematian tersebut.
“Kakak saya meninggal di sini (lapas) karena jantungnya sakit. Sempat dibawa ke rumah sakit Cipinang, tapi nyawanya tidak tertolong. Jenazahnya kemudian dikremasi dan abunya dikirim ke Taiwan,” ujar Sun Kuo Tai kepada penerjemah.
Sojuan Seno Hutabarat lantas mengambilalih pembicaraan, dengan menyampaikan sejumlah informasi kelanjutan proses hukum.
Ia menyampaikan, upaya permohonan banding telah diserahkan ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Namun, majelis hakim menolak banding mereka.
Sun Kuo Tai lantas menunjukkan kekecewaan setelah mendapat informasi dari Juan. Ia mengakui sudah tidak memiliki harapan dalam hidupnya.
Dia mengungkapkan, harapan untuk mendapatkan keringanan hukuman hanya akan berakhir sia-sia.
“Pascadivonis hukuman mati, kami semua putus asa. Kami merasa tidak semestinya mendapat hukuman mati,” ujarnya.
***
Sayup-sayup, suara petugas lapas melalui pelantang suara memberikan peringatan agar semua pengunjung harus segera meninggalkan lapas.
Obrolan para terpidana mati itu juga ikut terhenti, meski baru berlangsung 20 menit.
Susy sang penerjemah melontarkan satu pernyataan pamungkas, apa yang hendak para terpidana sampaikan kepada publik melalui jurnalis?
Sun Kuo Tai buru-buru menuturkan kepada Susy, mengenai vonis hukuman mati terhadap dia dan kawan-kawannya tak adil.
Sejak awal, kata dia, aparat penegak hukum melakukan penangkapan terhadap mereka secara semena-mena.
Sun Kuo Tai juga mengakui dipukuli di kantor kepolisian selama kurang lebih tiga hari. Mereka baru berhenti dipukuli setelah menuruti perkataan seorang penerjemah bahasa Mandarin yang disewa oleh pihak aparat.
“Kami (transporter laut) ditangkap di perairan lepas tanpa barang bukti sebutir pun sabu. Kemudian kami digebuki agar mengaku sesuai kata aparat. Bukti pemukulan itu ada di foto BAP,” tukasnya.
--------
CATATAN REDAKSI: Seri liputan 8 sekawan Taiwan yang divonis hukuman mati di Indonesia ini mendapat hadiah Fellowship dari Kedutaan Besar Norwegia dan Aliansi Jurnalis Independen Jakarta. Semua reportase dilakukan oleh Erick Tanjung dan Hartanto Ardi Saputra.
"Karena kan perspektif yang masih mendiskriminasi perempuan itu rata-rata dimiliki oleh laki-laki," ujar Kurnia.
DPR memilih lima dari sepuluh capim yang akan memimpin KPK periode 2024-2029, Kamis, 21 November 2024.
Dukungan Anies terhadap Pramono-Rano jauh lebih berpengaruh jika dibandingkan dukungan Jokowi kepada RK-Suswono.
"Kalau misalkan ada dana lebih atau emang duitnya nggak kepakai, ya gua mengalokasikan untuk investasi," ujar Sonia.
Dosen Unhas diskors 2 semester usai lecehkan mahasiswi bimbingan skripsi. Korban trauma, Satgas PPKS dinilai tak berpihak, bukti CCTV ungkap kebenaran.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti berencana dalam beberapa kesempatan menyampaikan rencana penggantian kurikulum Merdeka.
Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.