Suara.com - Kerusuhan 22 Mei 2019 menjadi noktah hitam dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Sementara bagi banyak warga Jakarta, huru-hara itu meninggalkan trauma dan juga luka. Terutama bagi mereka yang dituduh perusuh.
FAUZAN sedang sibuk mengemasi kue-kue pesanan pelanggan di toko kuenya, Jalan Kebon Nanas Selatan I, Kelurahan Jatinegara, Jakarta Timur, Rabu 22 Mei 2019, ketika masuk waktu sahur pukul 03.00 WIB.
Berhubung sudah mendekati lebaran, pesanan pelanggan toko kue Fauzan menumpuk, sehingga ia dan karyawannya lembur sampai dini hari.
Namun, kekhusyukan Fauzan mengemasi kue-kue tersebut terpecah ketika dia mendengar suara tembakan di luar.
Fauzan menyeruak keluar toko untuk memeriksa asal suara tembakan tersebut. Setibanya di luar, ia kaget, melihat pada sepanjang Jalan ada aparat kepolisian tampak mengejar sekelompok anak-anak muda.
Massa perusuh memang ada yang kabur ke kawasan tersebut sembari dikejar polisi, setelah dipukul mundur dari kawasan Jalan MH Thamrin, depan gedung Bawaslu, Rabu dini hari.
Tak pelak, kerusuhan juga pecah Jalan Kebon Nanas Selatan I. Massa melempar batu ke arah polisi. Sebaliknya, polisi membelas menembakkan gas air mata.
Aparat semakin represif, mereka menyisir jalanan dan tanpa pandang bulu menangkap orang-orang. Sedikitnya, ada 17 orang yang ditangkap aparat ketika itu.
Fauzan yang memiliki nama panggilan Ozan Gonggo, menyaksikan bentrokan antara massa dengan massa tersebut dari depan tokonya.
Merasa tak terlibat dan tak punya salah, Ozon santai-santai saja berdiri di depan tokonya. Tiba-tiba, beberapa aparat mendatangi dirinya.
“Mereka bertanya saya tinggal di mana. Saya lalu digeledah, semua isi kantong saku baju dan celana diperiksa,” kenang Fauzan kepada Suara.com, Rabu (29/5/2019).
Dari saku-saku pakaian Fauzan, polisi mendapatkan dompet berisi uang, rokok, korek api dan kunci sepeda motor.
Semua barang-barangnya diambil polisi, meski tak ada benda mencurigakan ditemukan dari dalam kantongnya. Setelahnya, polisi menuduhnya terlibat aksi kerusuhan.
Lalu kepala Fauzan dipukul menggunakan senjata api laras panjang dan tameng. Mukanya lebam-lebam, bibir pecah akibat dipukul.
Punggungnya juga luka-luka terkena pukulan senjata laras panjang dan tameng. Fauzan terjatuh dan diseret-seret di aspal, sebelum dinaikkan ke mobil bak polisi.
“Setelah menggeledah semua kantong saya, satu polisi menjatuhkan kunci motor saya. Waktu saya jongkok ambil kunci motor, saya langsung dipukul,” kata Ozan.
Lelaki berusia 26 tahun ini mengakui, tidak tahu menahu atas kerusuhan yang terjadi. Ia anak sulung dari tiga bersaudara. Dua adiknya perempuan, yang masih duduk di bangku sekolah.
Sejak ditinggal meninggal orangtuanya, Ozan melanjutkan usaha berjualan kue keluarganya untuk membiayai sekolah dan kebutuhan hidup adik-adiknya.
Selain dipukul memakai senjata api laras panjang dan tameng, ia dibentak dan dicaci maki. Bahkan, kata Ozan, aparat memakinya secara rasis. Ia dituduh bagian pro-ISIS dan teroris.
“Hai kamu Arab, kata mereka sambil memukul saya pakai senjata laras panjang. Saya spontan berteriak Allahuakbar. Tapi dibalasnya, ‘Ini yang kamu sebut Allahuakbar, gara-gara kamu aku tidak puasa. Kamu ISIS ya, kamu teroris’, begitu dan segala macam,” ungkapnya.
Awalnya, Ozan melawan ketika dipukul oleh aparat, karena dia merasa tidak punya salah apa-apa.
Namun, setelah itu ia, baru tersadar, setiap melawan, polisi semakin membabi buta memukul. Setelah itu, ia hanya diam.
Tak sampai di situ, di atas mobil bak sepanjang perjalanan menuju kantor Polres Jakarta Timur, Ozan terus dipukul secara bergantian oleh aparat menggunakan laras panjang.
“Sampai di kantor polres, saya dihajar lagi, kepala dipukul dan ditendang secara bergantian,” ujar dia.
Hingga kekinian, luka lebam dan memar di muka dan kepalanya masih membekas. Ia hanya berharap mendapatkan keadilan atas tindakan semena-mena aparat tersebut.
Selain dia, tetangganya yang lain juga menjadi korban salah tangkap dan mengalami penyiksaan. Di antaranya pemilik gerai minimarket, pemilik warung mie Aceh, karyawan toko obat dan lainnya.
Bahkan, menurut pengakuan Fauzan, ada bapak-bapak tua bersama anaknya yang baru keluar dari masjid ingin melihat kejadian di luar, juga ikut ditangkap.
“Sebenarnya, dari 17 orang yang ditangkap bareng saya waktu itu, tidak ada yang salah dan tak tahu apa-apa soal kerusuhan 22 Mei,” katanya.
Ia mencontohkan, ada seorang anak indekos yang berstatus mahasiswa STIS. Kala itu, mahasiswa itu sedang ke warung untuk membeli makan buat sahur, tapi turut ditangkap dan dipukuli aparat.
“Kasihan, dia tidak berani memberitahu pihak kampusnya, takut disanksi dan dikeluarkan dari kampus,” tutur Ozan.
Ada pula seorang tukang jual air mineral galonan isi ulang, yang sedang lewat bersepeda, juga turut ditangkap.
“Dia bilang, saya tidak salah pak, saya tidak tahu apa-apa, tapi tetap diseret-seret dan dipukuli pakai laras panjang oleh aparat. Bahkan sepedanya dilempar ke got oleh aparat,” kata Ozan.
Menurut Ozan, di kawasannya tak ada orang yang ikut bikin rusuh di kawasan kantor Bawaslu. Cuma ada segerombolan remaja yang tawuran, lalu polisi mengejar mereka dan menembakkan gas air mata.
Nasib Apes Pemilik Warteg
Doni, begitu lelaki berusia 30 tahun itu minta disebut oleh Suara.com, ketika berduduk santai di gang kecil bernama Ori, di Kota Bambu Selatan, Palmerah, Jakarta Barat, Selasa (28/5/2019).
Dia mengklaim, menjadi saksi mata ketika aparat kepolisian melakukan kesalahan menangkap orang-orang yang dianggap sebagai perusuh pada 22 Mei.
“Pemilik Warteg Kurnia daerah sini juga jadi korban salah tangkap saat polisi menyisir perusuh 22 Mei. Kami tak tahu nama aslinya, tapi kami selalu menyapa dia sebagai mas’e,” tutur Doni.
Ia menuturkan, massa perusuh dari kawasan depan Bawaslu kabur hingga ke depan Gang Ori arah Tanah Abang, sewaktu dipukul mundur polisi, Rabu siang.
Rabu 22 Mei sebelum azan Zuhur, Doni dan warga menyaksikan massa berlarian memasuki rumah-rumah warga Gang Ori karena dikejar polisi.
Dua di antara perusuh itu tiba-tiba masuk ke dalam Warteg Kurnia. Polisi melihatnya dan mengejar masuk ke dalam warteg.
Tapi ketika keluar, polisi justru menangkap pemilik warteg, bukan kedua perusuh.
“Ada dua orang perusuh kabur, masuk ke Warteg Kurnia yang memang rolling door-nya tak terkunci. Mereka masuk dan sembunyi. Tapi, polisi yang mengejar justru menangkap mas’e, sedangkan perusuh yang ngumpet tak tertangkap,” kata Doni.
Ketika hendak dibawa, oknum polisi menuding si pemilik warteg dalam keadaan mabuk. Tapi Doni yakin hakulyakin, pemilik warteg itu berkepribadian baik.
“Saya dan warga Gang Ori juga tahu semua, si Mas’e itu orang baik, tak suka mabuk. Waktu kejadian itu, dia juga nyaris tak pernah keluar, apalagi ikut kerusuhan,” ucapnya.
Doni menuturkan, Rabu siang itu berada di dekat warteg, sehingga mengetahui gerak-gerik si pemilik warung.
“Rabu pagi, sebelum kerusuhan parah, saya melihat si Mas’e cuma sekali keluar dari dalam warteg, buat memeriksa saat warga menumpang mencuci muka di tempat pencucian piringnya. Warga waktu itu membasuh mata yang perih kena gas air mata. Soalnya ada gas air mata yang masuk ke Gang Ori,” bebernya.
Setelah itu, kata Doni, si pemilik warteg tak lagi pernah keluar. Tapi setelahnya, ia dan warga lain melihat ada massa tak dikenal membawa dua krat botong kosong dari belakang permukiman warga.
Dua krat botol kosong tersebut disimpan oleh massa di pinggiran jalan dekat Gang Ori. Tiba-tiba, Doni mengakui melihat massa dari arah Jati Baru membawa bensin yang diisikan ke botol kosong menjadi bom molotov.
“Nah, bom molotov itu dibawa oleh dua orang perusuh yang bersembunyi ke dalam warteg dan ditemukan polisi. Jadi, pemilik molotov itu bukan si Mas’e,” jelasnya.
Waktu itu, kata Doni, istri pemilik warteg itu sempat meminta kedua perusuh yang bersembunyi untuk keluar dan menjelaskan duduk perkara ke polisi.
Warga, termasuk Doni, juga mendesak dua perusuh itu untuk bertanggungjawab. Akhirnya, utusan warga yang pergi ke barisan polisi untuk memberitahukan ada dua perusuh masih bersembunyi di warteg.
“Kami memanggil polisi, harapannya supaya tukar kepala begitu.”
Bakda zuhur, ada polisi yang kembali datang untuk menjemput kedua perusuh tersebut. Kedua perusuh itu masih ada di sana dan hanya bisa diam.
“Pelaku diam saja enggak kabur, karena memang sudah merasa bersalah soal salah tangkap itu. Polisi datang kira-kira sehabis Zuhur. Nah pas polisi datang, dia bertanya kepada kami, warga, soal di mana perusuh bersembunyi. Pas kami kasih tahu, langsung dihajar,” tuturnya.
“Mereka habis dipukuli sudah kayak binatang. Sampai akhirnya warga bilang ke polisinya ‘Mas itu manusia bukan binatang’ barulah mereka berhenti,” imbuhnya.
Setelah peristiwa itu, sambung Doni, warga bersimpati terhadap istri pemilik warteg. Sebab, sang suami hingga kekinian tak kunjung “pulang”.
Warga mafhum, polisi-polisi yang melakukan penyisiran ke Gang Ori tampaknya berasal dari luar Jakarta, sehingga tak mengenali wajah orang-orang setempat.
“Kalau Brimob yang biasa tugas di sini atau tinggal di Asrama Brimob Petamburan, sudah pasti kenal warga Gang Ori. Karena letak Gang Ori dan asrama mereka dekat. Mereka sudah mengenal muka-muka kami.” [Erick Tanjung/Muhammad Yasir]
"Kalau misalkan ada dana lebih atau emang duitnya nggak kepakai, ya gua mengalokasikan untuk investasi," ujar Sonia.
Dosen Unhas diskors 2 semester usai lecehkan mahasiswi bimbingan skripsi. Korban trauma, Satgas PPKS dinilai tak berpihak, bukti CCTV ungkap kebenaran.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti berencana dalam beberapa kesempatan menyampaikan rencana penggantian kurikulum Merdeka.
Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.
Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.
Orang yang kecanduan judi online seperti halnya orang dengan kecanduan narkotika.
Kericuhan yang telah terjadi bukan sekadar permasalahan hukum an sich maupun problem sosial-kemasyarakatan belaka, tapi dampak buruk dari penetapan PIK 2 sebagai PSN.