Ironi Pemungutan Suara Ulang: Efisiensi yang Diklaim, Pemborosan yang Nyata
Home > Detail

Ironi Pemungutan Suara Ulang: Efisiensi yang Diklaim, Pemborosan yang Nyata

Chandra Iswinarno | Muhammad Yasir

Jum'at, 28 Februari 2025 | 16:00 WIB

Suara.com - Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan Komisi Pemilihan Umum atau KPU menggelar pemungutan suara ulang di 24 daerah Pilkada 2024. Perintah tersebut dibacakan dalam sidang perselisihan hasil Pilkada 2024, pada Senin, 24 Februari 2025.

Pakar Hukum Kepemiluan Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini menyebut, pemungutan suara ulang atau PSU merupakan konsekuensi yang harus dibayar mahal akibat ketidakprofesionalan penyelenggara pemilu.

“Ini adalah harga mahal yang harus dibayar akibat ketidakprofesionalan penyelenggara dan kecurangan yang tidak ditindak tegas," ujar Titi.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf mengungkap biaya yang dibutuhkan untuk menggelar PSU Pilkada 2024 itu ditaksir mencapai hampir Rp1 triliun.

Perkiraan itu disampaikannya usai menggelar rapat kerja dengan KPU, Bawaslu dan Kemendagri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Kamis, 27 Februari 2025.

Rinciannya, KPU membutuhkan biaya tambahan untuk PSU sebesar Rp486 miliar dan Bawaslu Rp215 miliar. Sedangkan, sisanya sekitar Rp250 miliar diperlukan untuk biaya kebutuhan pengamanan TNI dan Polri.

“Pemerintah harus siap, mau tidak mau harus siap melaksanakan PSU,” ungkapnya.

Sementara, Wakil Menteri Dalam Negeri atau Wamendagri, Ribka Haluk menyampaikan hanya delapan daerah yang telah menyatakan sanggup untuk menggelar PSU.

Delapan daerah itu, yakni; Kabupaten Bungo, Kabupaten Bangka Barat, Kabupaten Barito Utara, Kabupaten Magetan, Kabupaten Mahakam Ulu, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kabupaten Siak, dan Kabupaten Banggai. Sedangkan 16 daerah lainnya masih terkendala persoalan anggaran.

Ribka mengatakan pemerintah akan menggunakan APBN untuk pelaksanaan PSU di beberapa daerah dengan APBD terbatas.

Dia memastikan pelaksanaan PSU Pilkada 2024 tidak akan terpengaruh akibat kebijakan efisiensi anggaran yang tengah dilakukan pemerintah.

“Ini prioritas dan amanat konstitusi,” katanya.

Kemendagri akan melakukan simulasi terkait mekanisme pembiayaan PSU dengan menggunakan APBN. Prosesnya berlangsung selama 10 hari terhitung sejak digelarnya rapat kerja dengan Komisi II DPR RI.

Titi mengatakan APBN memang dimungkinkan dipergunakan untuk PSU. Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 166 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota atau Undang-Undang Pilkada.

Dalam pasal tersebut dijelaskan; pendanaan kegiatan pemilihan dibebankan pada APBD, dan dapat didukung oleh APBN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sidang pengucapan putusan akhir sengketa Pilkada 2024 di Gedung I Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (24/2/2025). ANTARA/Fath Putra Mulya.
Sidang pengucapan putusan akhir sengketa Pilkada 2024 di Gedung I Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (24/2/2025). ANTARA/Fath Putra Mulya.

Rugikan Rakyat

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mencatat jumlah PSU di Pilkada 2024 meningkat signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.

Pada Pilkada 2021, ada 16 PSU yang dua di antaranya diperintahkan dilakukan di seluruh tempat pemungutan suara atau TPS. Sementara di Pilkada 2024 meningkat tajam menjadi 24 PSU, 14 di antaranya merupakan PSU di seluruh TPS.

Padahal, Pilkada serentak 2024 menelan biaya besar karena pemilihannya digelar di 415 kabupaten, 93 kota, dan 37 provinsi.

Selain itu, ada tambahan daerah pemekaran baru yaitu Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan.

Jumlah anggaran yang disiapkan untuk Pilkada Serentak 2024 menyentuh Rp37,52 triliun. Dana itu bersumber dari APBD masing-masing daerah.

Peneliti Perludem Haykal menilai bahwa peningkatan jumlah PSU dan pasangan calon kepala daerah yang didiskualifikasi mengindikasikan semakin bermasalahnya pelaksanaan pilkada.

Apalagi, hasil pemantauan Perludem menemukan setidaknya 80 persen dari putusan MK yang memerintahkan PSU itu akibat ketidakprofesionalan KPU dan Bawaslu.

Penegakan hukum pemilu pada tahapan penyelenggaraan, kata Haykal, harus benar-benar dibenahi agar pelanggaran yang bersifat administratif tidak lagi berlarut hingga ke MK.

Sebab, jika itu terus berulang, PSU yang membutuhkan anggaran besar itu akhirnya akan merugikan rakyat.

"Kita tidak bisa tutup mata, itu adalah uang pajaknya rakyat yang dikumpulkan oleh pemerintah," kata Haykal kepada Suara.com.

Selain merugikan rakyat, Haykal menilai calon kepala daerah adalah pihak yang turut dirugikan akibat ketidakprofesionalan penyelenggara pemilu. Mereka mau tidak mau akhirnya juga harus kembali mengeluarkan uang untuk biaya kampanye menjelang PSU.

"Saya melihat dari 24 daerah yang diperintahkan MK untuk melakukan PSU ini yang paling bertanggung jawab terhadap itu adalah penyelenggara pemilu," tuturnya.

Ia juga menegaskan bahwa pemerintah tidak hanya wajib melaksanakan PSU sebagai tindak lanjut putusan MK, tetapi juga harus melakukan evaluasi besar-besaran terhadap penyelenggara pemilu.

Sementara Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP diminta untuk berani menindak tegas pejabat KPU dan Bawaslu yang dinilai gagal dalam bekerja.

“Bukan berarti kemudian ketika PSU sudah dilaksanakan selesai begitu saja,” katanya.

Haykal juga tak sepakat apabila persoalan ini nantinya menjadi dalih pemerintah untuk mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah tidak langsung atau dipilih DPRD. Apalagi, jika itu diputuskan tanpa didasari kajian matang dan evaluasi terhadap akar persoalan yang ada.

“Kalau inti masalahnya adalah penyelenggara yang tidak profesional saya rasa bukan jawaban untuk kemudian mengubah sistem pemilihan secara langsung menjadi melalui DPRD,” katanya.


Terkait

Prabowo Efisiensi Anggaran, Gus Yahya Santai: Paling Tidak Proyek dengan PBNU Jalan
Rabu, 23 April 2025 | 07:05 WIB

Prabowo Efisiensi Anggaran, Gus Yahya Santai: Paling Tidak Proyek dengan PBNU Jalan

"...paling tidak yang dikerjasamakan dengan NU itu jalan," tambahnya memungkasi.

Royal Enfield Ridwan Kamil Belum Dirampas, KPK Bantah Gegara Efisiensi Anggaran
Senin, 21 April 2025 | 15:54 WIB

Royal Enfield Ridwan Kamil Belum Dirampas, KPK Bantah Gegara Efisiensi Anggaran

Fitroh belum bisa memastikan jadwal pemeriksaan Ridwan Kamil karena hal itu merupakan kewenangan penyidik.

Terbaru
Jajanan Anak Mengandung Babi Punya Label Halal: Negara Gagal Lindungi Konsumen
polemik

Jajanan Anak Mengandung Babi Punya Label Halal: Negara Gagal Lindungi Konsumen

Jum'at, 25 April 2025 | 16:14 WIB

KPAI mendesak agar temuan tersebut tidak hanya berhenti pada sanksi berupa penarikan produk dari pasar, tapi diproses secara hukum.

Maksud Prabowo 'Rapatkan Barisan' di Tengah Isu Matahari Kembar? polemik

Maksud Prabowo 'Rapatkan Barisan' di Tengah Isu Matahari Kembar?

Kamis, 24 April 2025 | 19:01 WIB

"Justru perintah ini sebagai arahan agar para menteri atau pejabat itu tidak dimasuki isu-isu yang ada di luar pemerintahan," ujar Asrinaldi.

Monolog Gibran Soal Bonus Demografi 'Menohok' Dirinya Sendiri polemik

Monolog Gibran Soal Bonus Demografi 'Menohok' Dirinya Sendiri

Kamis, 24 April 2025 | 09:29 WIB

"Jadi apa yang dinyatakan itu bertolak belakang dengan apa yang terjadi atas pemilihan dia (Gibran) sebagai wakil presiden," kata Widyanto.

'Luka Lama' Warga Ngaran II Borobudur di Balik Penolakan Kremasi Taipan Murdaya Poo polemik

'Luka Lama' Warga Ngaran II Borobudur di Balik Penolakan Kremasi Taipan Murdaya Poo

Rabu, 23 April 2025 | 17:16 WIB

Ada 'luka lama' di balik penolakan warga terkait rencana kremasi Murdaya Poo di kawasan Borobudur.

Mengapa Narasi Kejaksaan Agung Tersangkakan Direktur Pemberitaan Jak TV Bahaya bagi Kebebasan Pers? polemik

Mengapa Narasi Kejaksaan Agung Tersangkakan Direktur Pemberitaan Jak TV Bahaya bagi Kebebasan Pers?

Rabu, 23 April 2025 | 08:12 WIB

Narasi Kejaksaan Agung inipun dianggap berbahaya bagi kebebasan pers. Mengapa demikian?

Di Balik Sorotan AS Terhadap Barang Bajakan Pasar Mangga Dua polemik

Di Balik Sorotan AS Terhadap Barang Bajakan Pasar Mangga Dua

Selasa, 22 April 2025 | 15:03 WIB

AS soroti Pasar Mangga Dua sbg sarang barang bajakan dan tekan Indonesia perkuat HaKI di tengah perang dagang AS-China. Pemerintah klaim rutin lakukan pengawasan.

Perusahaan Tahan Ijazah Karyawan: Modus Baru Perbudakan Modern? polemik

Perusahaan Tahan Ijazah Karyawan: Modus Baru Perbudakan Modern?

Selasa, 22 April 2025 | 10:26 WIB

Sejumlah daerah memiliki peraturan daerah yang melarang perusahaan menahan ijazah pekerja.