Suara.com - Janji sebuah rumah dari negara seharusnya menjadi puncak kebanggaan bagi seorang prajurit. Namun, bagi ribuan tamtama, janji itu menjelma menjadi mimpi buruk.
Alih-alih menempati hunian idaman, mereka justru dihadapkan pada lahan-lahan kosong dan cicilan paksa yang memotong gaji hingga hanya menyisakan seratusan ribu rupiah untuk bertahan hidup. Ini adalah kisah tentang bagaimana pengabdian dibalas dengan penderitaan yang sistematis.
RONI masih ingat betul teriknya matahari Bekasi pada Agustus 2023. Hari itu, ia bersama belasan rekannya sesama prajurit Tamtama TNI AD, yang baru saja lulus pendidikan, tiba di sebuah lokasi bernama Perumahan Cahaya Darussalam 2.
Mereka datang membawa satu harapan yang membuncah, menyaksikan wujud rumah pertama mereka. Sebuah hunian yang menjadi simbol janji kesejahteraan dari negara, tempat mereka baru saja memulai pengabdian
Namun, asa itu buyar seketika. Sejauh mata memandang, bukan deretan rumah impian yang menyambut mereka, melainkan hamparan tanah kosong yang ditumbuhi rerumputan liar.
Sementara di sudut lainnya, sehelai spanduk lusuh terpampang menunjukan betapa ironi mimpi mereka yang terkubur: 'Kerja Sama BP TWP TNI AD dengan PT Cahaya Indorahmat Pratamajaya.'
“Pembangunan rumah masih dalam proses, katanya,” ungkap Roni dengan nada getir yang tak bisa disembunyikan saat ditemui Tim IndonesiaLeaks pada Mei 2025.
Apa yang dialami Roni bukan sekedar anomali. Kisahnya merupakan puncak gunung es dari program ambisius di masa Jenderal (Purn) Dudung Abdurachman menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Sayangnya, program itu malah menyisakan sengkarut dan penderitaan bagi prajurit rendahan. Dugaan permainan dana fantastis senilai lebih dari setengah triliun rupiah pun menyeruak.
Kisah ini menyingkap sebuah tragedi, bagaimana program kesejahteraan prajurit justru berbalik menjadi mesin kejam pemotong gaji.
Sementara di pucuk pimpinan Angkatan Darat, para jenderal justru terlibat dalam perang dingin, saling melempar tanggung jawab atas kegagalan yang terjadi
Suara dari Bawah
Bagi prajurit seperti Roni, yang berada di hierarki paling bawah, janji manis sebuah rumah dari negara ternyata datang dengan harga yang teramat mahal.
Tak lama setelah diangkat menjadi prajurit pada Juli 2023, ia langsung 'diwajibkan' untuk mengikuti program kredit rumah yang dikelola oleh Badan Pengelola Tabungan Wajib Perumahan (BP TWP) TNI AD
Kisah Roni bukanlah anomali. Nasibnya menjadi cerminan dari penderitaan hampir 10.000 tamtama lainnya yang terjerat dalam program kredit serupa.
Mirisnya, tidak ada ruang untuk menolak. Program ini adalah sebuah kewajiban dengan konsekuensi brutal bagi siapa pun yang membangkang.
Dampaknya terasa begitu mencekik.
Bayangkan, dari gaji pokok Rp3,6 juta, lebih dari separuhnya—sebesar Rp2,1 juta—langsung ludes dipotong setiap bulan. Cicilan ini akan terus menghantui mereka selama 15 tahun.
Setelah ditambah berbagai iuran wajib lainnya, uang yang tersisa di kantong Roni untuk bertahan hidup sebulan penuh hanyalah Rp140 ribu.
"Saya nggak pernah merasakan gaji full," ujarnya pilu.
Gaji pertama yang seharusnya menjadi kebanggaan, tak pernah utuh diterimanya.
Sejatinya, sejak awal, Roni tidak pernah berniat mengambil kredit rumah bersubsidi. Namun, sebagai prajurit yang wajib mengikuti perintah atasan, kata 'tidak' berarti pembangkangan.
Ia hanya bisa patuh saat atasannya memerintahkan untuk menandatangani setumpuk berkas pinjaman ke salah satu bank senilai Rp210 juta, dengan jaminan Surat Keputusan (SK) pengangkatannya sebagai prajurit.
Penolakan berarti petaka. Ancaman itu datang secara gamblang, menjadi momok yang menghantui para prajurit muda.
"Saya juga terpaksa ambil karena diancam akan dipindahkan ke Papua kalau tidak patuh," tutur Roni lirih.
Nasib serupa Roni juga menimpa Lukman (bukan nama sebenarnya). Tamtama lulusan 2021 ini juga dipaksa mengambil kredit rumah atas perintah komandannya, yang menurutnya merujuk langsung pada instruksi Jenderal Dudung Abdurachman.
Kisah Lukman bahkan lebih tragis. Ia tidak pernah tahu di mana letak rumah yang dicicil dengan sisa gaji yang sama mengenaskannya dengan Roni.
Ia hanya tahu gajinya dipotong dan tidak berani bertanya lebih jauh.
"Saat ini, prajurit lainnya juga hidup dari uang tambahan sana-sini,” ungkap Lukman, menggambarkan kondisi rekan-rekan seangkatannya berjuang bertahan hidup dari bulan ke bulan.
Pemotongan gaji yang mencekik ini diduga kuat telah melanggar aturan internal Angkatan Darat. Merujuk pada Keputusan KSAD Nomor Kep/181/III/2018, cicilan kredit tidak boleh melebihi sepertiga dari penghasilan prajurit.
Artinya, bagi Roni dan Lukman, cicilan maksimum seharusnya hanya Rp1,2 juta, bukan Rp2,1 juta.
Kejanggalan tak berhenti di situ. Dokumen pinjaman bank dan KPR yang mereka tanda tangani, hingga saat ini pun tidak pernah mereka terima. Mereka hanya diminta tanda tangan, menyerahkan jaminan SK, lalu melihat slip gaji mereka terkuras setiap bulan.
Ketika Roni dan Lukman memberanikan diri bertanya kepada komandan mereka, jawabannya selalu sama; sebuah kalimat penenang yang tak pernah memberikan kepastian.
"Disuruh sabar aja," kata Roni. Sebagai prajurit, ia tidak berani memprotes lebih jauh.
Ambisi Sang Jenderal
Jenderal Dudung Abdurachman, yang menjabat KSAD pada November 2021 hingga Oktober 2023, tidak menampik bahwa ia yang memerintahkan program KPR wajib ini.
Saat ditemui tim IndonesiaLeaks di kantornya pada Jumat, 18 Juli 2025, ia berdalih bahwa tujuannya mulia: meningkatkan kesejahteraan prajurit.
Menurutnya, banyak prajurit muda yang baru lulus justru menghabiskan gajinya untuk pinjaman konsumtif, seperti membeli motor atau ponsel.
"Sedangkan kalau beli rumah bisa investasi, disewakan Rp400 ribu per bulan, kan lumayan," kata Dudung, menyajikan sebuah kalkulasi sederhana yang terdengar indah di atas kertas.
Namun, realitas di lapangan jauh dari kata indah. Hasil penelusuran tim IndonesiaLeaks di berbagai daerah menunjukkan gambaran yang sama, proyek mangkrak dan janji kosong.
Seperti di Bekasi, Perumahan Cahaya Darussalam 2 yang seharusnya menampung 500 unit rumah, kini hanya berupa beberapa bangunan kosong yang dikelilingi ilalang. Sedangkan di Purwakarta, kondisinya lebih parah lagi, masih berupa tanah kosong.
Selain dua lokasi itu, pada akhir Mei 2025, Tim IndonesiaLeaks menyambangi lokasi lain proyek perumahan prajurit di Desa Selaawi, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Namun tidak ada bangunan rumah, yang terbentang hanyalah sawah dengan berbagai tanaman palawija.
Padahal, dua tahun lalu sedianya akan dibangun 827 unit rumah prajurit TNI AD bernama The Guiner Residence.
“Memang sejak 2-3 tahun lalu ada Angkatan Darat datang untuk membangun perumahan. Tapi sampai sekarang tidak ada perumahannya,” kata Kepala Desa Selaawi, Mulyadi, saat ditemui di rumahnya pada Senin, 26 Mei 2025.
Mulyadi sempat menyosialisasikan rencana tersebut kepada warga pemilik tanah.
Ade Hanif (70), salah satu pemilik lahan, mengaku pernah berkomunikasi dengan tentara dari satuan resimen Komando Distrik Militer wilayah Purwakarta perihal pembelian lahannya. Lahan seluas 1.500 meter persegi miliknya saat itu dihargai Rp2,5 juta per meter persegi.
“Saya mau karena katanya untuk perumahan prajurit,” kata Ade.
Namun, proses pembelian lahan tak kunjung menemui kejelasan hingga saat ini.
Sementara di Jambi, Tim IndonesiaLeaks menyambangi Perumahan Kartika Bumi Mayang Residence. Di lahan seluas 5 hektare yang direncanakan untuk 480 unit rumah, yang terlihat hanyalah lahan kosong yang sudah dipetak-petak.
Menurut ketua RT setempat, Ismail Jalal, sudah lama tidak ada kejelasan mengenai pembangunan tersebut. Bahkan, ia menduga pembangunan terhenti karena sengketa lahan.
Dugaan ini sejalan dengan temuan IndonesiaLeaks. Salah satu pemilik lahan, Alpin, mengaku bahwa tanah orang tuanya seluas 2,5 hektare belum dilunasi oleh pengembang, PT Rimba Guna Makmur. Dari kesepakatan Rp2,5 miliar, baru Rp800 juta yang dibayarkan.
”Kami tidak mengizinkan pembangunan dilanjutkan sampai pembayaran tanah milik orang tua saya ini dibayar lunas,” tegas Alpin.
Pemandangan lebih menyedihkan terlihat di lokasi Perumahan Kartika Residence, Semarang. Hanya berdiri gapura hijau gagah berlambang Kodam Diponegoro.
Sementara di belakangnya, tidak ada satu pun rumah berdiri, hanya lahan kosong seluas 5 hektare yang seharusnya menjadi rumah bagi 521 prajurit.
Semua proyek mangkrak ini memiliki benang merah yang sama: aliran dana masif dari BP TWP TNI AD.
Selama periode 2021-2022, BP TWP tercatat telah menggelontorkan uang sekitar Rp586,5 miliar kepada 14 perusahaan pengembang untuk membangun 12.000 unit rumah.
Pencairan dana ini dilakukan menggunakan Surat Perintah (Sprin) yang ditandatangani langsung oleh Jenderal Dudung.
PT Rimba Guna Makmur, pengembang proyek di Purwakarta, Semarang, dan Jambi, tercatat mendapat kucuran dana Rp250 miliar. Sementara itu, PT Synergi Indojaya Perkasa mendapat Rp37 miliar untuk 375 unit rumah, hanya sebulan setelah Dudung menjabat KSAD.
Dudung tidak membantah telah memerintahkan pencairan dana tersebut.
“Itu kalau perusahaan selesai, jadi pembangunannya, sebenarnya BP TWP akan untung,” katanya.
Ia berdalih, surat perintah itu diterbitkan dalam situasi mendesak karena para pengembang membutuhkan pembiayaan cepat.
“Setelah disuntik itu perusahaan berjalan dan bekerja,” ungkapnya.
Perang Dingin di Pucuk Pimpinan
Ketika dihadapkan pada fakta proyek yang berantakan, Jenderal Dudung mulai melempar tanggung jawab. Ia justru menyalahkan kepengurusan BP TWP di era KSAD sebelumnya, Jenderal (Purn) Andika Perkasa.
Ia mengklaim apa yang dilakukannya adalah upaya untuk membenahi sengkarut yang sudah ada.
"Saya keburu pensiun. Saya KSAD cuma dua tahun,” dalihnya lagi.
Namun, jejak dokumen menunjukkan cerita yang berbeda. Pada 12 Juli 2022, Inspektorat Jenderal Angkatan Darat (Irjenad) sempat melakukan audit terhadap penggunaan dana BP TWP.
Dalam dokumen audit yang diperoleh tim IndonesiaLeaks, Irjenad menemukan pengeluaran sebesar Rp586,5 miliar tersebut dan merekomendasikan agar BP TWP menarik kembali seluruh dana dari para pengembang.
Setahun kemudian, pada Juli 2023, BP TWP merespons hasil audit itu dengan menyatakan bahwa mereka belum bisa menyelesaikan pertanggungjawaban pencairan dana tersebut.
Seseorang yang mengetahui proses audit mengatakan bahwa perintah audit datang dari Andika Perkasa saat menjabat Panglima TNI. Namun, saat dikonfirmasi, Andika membantah.
"Bukan saya meminta audit,” jelasnya.
Andika justru membeberkan cerita lain. Menurutnya, BP TWP sebelum ia menjabat KSAD memang sudah dirundung masalah korupsi. Setelah dilantik menjadi KSAD, ia langsung membentuk tim audit.
"Saya sebagai pemegang kuasa pengguna anggaran nggak mau ada masalah,” ungkapnya.
Hasil audit di eranya, kata Andika, menemukan adanya dana BP TWP yang hilang sekitar Rp400 miliar. Kasus ini sempat naik ke pengadilan militer, tetapi gugur karena terdakwa utamanya, Brigjen TNI Yus Adi Kamarullah, meninggal dunia.
Untuk menyelamatkan sisa dana, Andika mengaku telah memindahkan dana BP TWP ke Bank Tabungan Negara (BTN) pada 2021 untuk diinvestasikan. Namun, belum sampai kerja sama berjalan, Dudung yang menggantikannya sebagai KSAD justru memindahkan uang itu ke bank lain.
Ironisnya, meski sudah ada hasil audit Irjenad yang merekomendasikan penarikan dana, Dudung diduga tidak mengindahkannya.
Bahkan, setahun setelah audit itu keluar, pada 9 Agustus 2023, terbit sebuah surat telegram dari Wakasad saat itu, Letjen Agus Subiyanto (yang kemudian menjadi Panglima TNI). Isinya justru kembali mewajibkan prajurit bintara dan tamtama untuk mengambil rumah atau kaveling yang disediakan BP TWP.
Dua purnawirawan jenderal TNI AD yang mengetahui persoalan ini menyebut, surat telegram itu diduga kuat diterbitkan untuk menutup masalah dana Rp586,5 miliar yang terlanjur bermasalah.
Dengan memaksa prajurit mengambil KPR, program tersebut seolah-olah berjalan lancar. Dudung membantah tudingan ini dan mengklaim hanya ada satu pengembang yang bermasalah.
Dinding-Dinding Kebisuan dan Telinga Istana
Upaya konfirmasi kepada para pihak yang terlibat dalam sengkarut ini menemui dinding kebisuan. Jenderal Agus Subiyanto tidak merespons. Mayjen Alvis Anwar, ketua tim audit Irjenad, menolak berkomentar.
KSAD saat ini, Jenderal TNI Maruli Simanjuntak, juga menolak memberi tanggapan dan merekomendasikan untuk bertanya langsung kepada kepala BP TWP.
Namun, persoalan pelik ini ternyata sudah sampai ke telinga Presiden Prabowo Subianto. Tepatnya pada 15 Oktober 2024, saat Prabowo memanggil sejumlah tokoh ke kediamannya di Kertanegara, Jakarta. Dudung adalah salah satu yang dipanggil.
Sebelum bertemu Prabowo, Dudung mengaku mendapat bisikan dari ajudan Prabowo, Letkol Teddy Wijaya. Ia diminta bersiap menjelaskan soal kredit rumah prajurit BP TWP.
Dudung mengaku malu persoalan ini telah sampai ke telinga Prabowo. Namun, setelah memberikan penjelasan langsung, ia mengklaim Prabowo telah memaklumi.
"Saya percaya Pak Dudung," kata Dudung, yang kini menjabat Penasihat Khusus Presiden urusan Pertahanan Nasional, menirukan perkataan Prabowo saat itu.
Sementara para jenderal saling lempar tanggung jawab dan Istana telah 'memaklumi', ribuan prajurit seperti Roni dan Lukman masih harus menghadapi kenyataan pahit setiap akhir bulan.
Mereka bertahan hidup dengan sisa gaji yang tak seberapa, sambil terus mencicil rumah yang entah kapan akan mereka tempati, sebuah rumah yang bagi mereka kini tak lebih dari sekadar rumah hantu.
Mustari mulai bergabung dengan militer pada era kepemimpinan Presiden Soeharto
Dua oknum anggota TNI Angkatan Darat, yang terlibat dalam perjudian dan penembakan tiga anggota Kepolisian
Istana memastikan anggaran rekrutmen 24 ribu tamtama dan pembangunan 5 Kodam baru di 2025 telah diperhitungkan dan tidak akan mengganggu anggaran lain.
Seperti apa sebuah kereta menghantui para penumpang di Korea? Jawabannya ada di film Ghost Train.
Film A Normal Woman ketolong akting Marissa Anita yang ciamik!
Awalnya film ini menjanjikan. Opening scene cukup solid dengan karakter yang tampaknya menarik.
Haruskan nonton web series-nya dulu sebelum nonton film Sore: Istri dari Masa Depan? Jawabannya ada di sini.
Rasanya seperti berwisata ke taman safari dengan koleksi dinosaurus kerennya. Seru, tapi mudah terlupakan.
"Dalam catatan sejarah itu tercantum Blang Padang (milik Masjid Raya), kata Cek Midi.
M3GAN 2.0 nggak lagi serem seperti film pertamanya.