80 Tahun Indonesia Merdeka; Ironi Kemerdekaan Jurnalis di Antara Intimidasi dan Teror
Home > Detail

80 Tahun Indonesia Merdeka; Ironi Kemerdekaan Jurnalis di Antara Intimidasi dan Teror

Chandra Iswinarno | Yaumal Asri Adi Hutasuhut

Minggu, 17 Agustus 2025 | 15:38 WIB

Suara.com - Pada 17 Agustus 2025, Indonesia genap merayakan 80 tahun kemerdekaan, sebuah momentum agung bagi negara yang katanya menjunjung tinggi demokrasi.

NAMUN bagi Adhyasta Dirgantara, seorang jurnalis media online nasional, kemerdekaan itu terasa hambar dan penuh paradoks.

Pers, yang semestinya menjadi pilar keempat demokrasi, ternyata belum sepenuhnya merdeka seperti yang terlihat di permukaan.

Pengalaman pahit pada 27 Februari 2025 menjadi cermin buram dari realitas tersebut.

Kala itu, Adhyasta bertugas meliput acara yang dihadiri Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto di Markas Besar Polri, Jakarta.

Seusai acara, dalam sesi wawancara yang lazim dilakukan, Adhyasta melontarkan pertanyaan mengenai kasus penyerangan Mapolres Tarakan oleh oknum tentara.

Panglima TNI menanggapi pertanyaan itu. Namun, beberapa saat setelah Agus meninggalkan lokasi, dua pria berseragam TNI menghampiri Adhyasta.

Mereka tidak datang untuk beramah-tamah, melainkan mempertanyakan pertanyaan kritis yang baru saja ia ajukan.

"Kau memang tidak di-briefing?," ujar salah satu dari kedua pria.

"Di-briefing apa ya? Saya baru datang," jawab Adhyasta bingung.

Belum sempat kebingungannya terjawab, ancaman verbal yang menusuk terlontar dari pria lainnya.

"Kutandai muka kau, kusikat kau ya!"

"Lah kan saya nanya doang ke Panglima TNI, beliau juga berkenan menjawab," tegas Adhyasta, berusaha mempertahankan haknya untuk bertanya.

Insiden ini, bagi Adhyasta, adalah bukti nyata bahwa kemerdekaan pers masih sebatas angan.

Terdakwa Kelasi Satu Jumran (kiri) berdiskusi dengan penasihat hukum terkait kasus pembunuhan jurnalis Juwita (23) dalam agenda pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Militer (Dilmil) I-06 Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Senin (5/5/2025). (ANTARA/Tumpal Andani Aritonang)
Terdakwa Kelasi Satu Jumran (kiri) berdiskusi dengan penasihat hukum terkait kasus pembunuhan jurnalis Juwita (23) dalam agenda pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Militer (Dilmil) I-06 Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Senin (5/5/2025). (ANTARA/Tumpal Andani Aritonang)

Intimidasi tersebut bukan sekadar gertakan, melainkan ancaman serius bagi keselamatannya dan serangan langsung terhadap kebebasan pers.

"Saya enggak bawa-bawa senjata, saya enggak mencelakai orang. Hanya bertanya, mencari informasi untuk memberikannya kepada masyarakat," ujar Dyas saat dihubungi Suara.com.

Ruang Aman yang Dirindukan Jurnalis Perempuan

Ironi kemerdekaan juga dirasakan mendalam oleh Dian, seorang jurnalis perempuan yang mendambakan ruang kerja yang aman.

Sebuah peristiwa pelecehan seksual pada 14 Februari 2023 masih membekas lekat dalam ingatannya.

Saat itu, ia sedang meliput agenda Partai Ummat di Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur.

Saat berada di tengah kerumunan yang berdesakan untuk mewawancarai Anies Baswedan, sebuah tangan sengaja menyentuh dan mencubit bagian belakang tubuhnya.

Dian terkejut dan refleks berbalik, namun situasi yang ricuh membuatnya tak bisa mengidentifikasi pelaku.

Namun yang lebih mengecewakan adalah respons dari pihak Partai Ummat.

Meski sempat meminta maaf, belakangan muncul pernyataan yang seolah memojokkan dan menantangnya.

Ini bukan kali pertama. Dian juga pernah mengalami pelecehan verbal dari sesama jurnalis pria.

Ia tak tinggal diam dan melaporkannya, yang berujung pada pemecatan pelaku.

Dua kejadian ini menggarisbawahi betapa ruang aman bagi jurnalis perempuan masih jauh dari kenyataan.

Ironisnya, pelaku terkadang berasal dari lingkungan profesi yang sama, yang seharusnya memiliki sensitivitas lebih tinggi.

"Mungkin banyak juga jurnalis perempuan yang mengalami hal yang sama dengan saya. Tapi mungkin banyak tidak berani bersuara, karena masih ada stigma, dan kekhawatiran lainnya," ujar Dian.

Kekhawatiran Dian diperkuat oleh data. Survei Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia pada September-Oktober 2022 menemukan fakta mengejutkan.

Dari 852 jurnalis perempuan di 34 provinsi, sebanyak 82,6 persen mengaku pernah mengalami kekerasan seksual, baik fisik, verbal, saat peliputan, maupun di ranah digital.

Serangan yang Terus Berulang

Kisah Adhyasta dan Dian hanyalah puncak gunung es dari potret buram kebebasan pers di Indonesia.

Serangkaian kasus kekerasan terus berulang, seolah ada pembiaran dan impunitas bagi para pelaku.

Teror kepala babi yang ditujukan kepada jurnalis Tempo, Francisca Christy Rosana pada 19 Maret 2025, hingga kini belum terungkap pelakunya.

Anehnya, barang bukti baru disita polisi pada 25 Juli 2025, berbulan-bulan setelah kejadian.

Sikap Kepala Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi yang awalnya menyuruh kepala babi itu dimasak, semakin menambah keprihatinan, meski kemudian diralat.

Sementara di Papua, kantor surat kabar Jubi di Jayapura dilempar bom molotov pada 16 Oktober 2024.

Ilustrasi serangan bom molotov di kantor redaksi Jubi di Jayapura, Papua. [Suara.com/Iqbal]
Ilustrasi serangan bom molotov di kantor redaksi Jubi di Jayapura, Papua. [Suara.com/Iqbal]

Ini merupakan teror kedua setelah jurnalis seniornya, Victor Mambor, mengalami serangan serupa pada Januari 2023.

Kedua kasus ini mandek tanpa kejelasan.

Ancaman bahkan merenggut nyawa. Rico Sempurna Pasaribu, jurnalis Tribrata TV, tewas terpanggang bersama keluarganya di Karo, Sumatera Utara, pada 27 Juni 2024, setelah rumahnya sengaja dibakar.

Peristiwa tragis ini terjadi hanya beberapa hari setelah ia menerbitkan berita berjudul, 'Lokasi Perjudian di Jalan Kapten Bom Ginting Ternyata Milik Oknum TNI Berpangkat Koptu Anggota Batalyon 125 Sim'bisa.'

Kasus pembunuhan kembali terjadi pada Maret 2025. Korbannya adalah Juwita, jurnalis perempuan dari Newsway.co.id, yang dibunuh oleh seorang prajurit TNI AL.

Tak hanya serangan fisik, ranah digital juga menjadi medan pertempuran.

Suara.com mengalami serangan siber masif pada 15 April 2025, dengan 285 juta serangan DDoS dalam waktu singkat.

AJI Indonesia mencatat, sepanjang tahun 2024 saja terjadi 79 kasus kekerasan terhadap jurnalis.

Angka ini terus bertambah, hingga Mei 2025 sudah tercatat 38 kasus kekerasan.

Demokrasi Palsu dan Ingatan pada Habibie

Sekretaris Jenderal AJI Indonesia, Bayu Wardhana, menilai berulangnya kekerasan ini adalah tanda pers belum merdeka.

Impunitas bagi pelaku mengirimkan pesan ketakutan yang jelas kepada para jurnalis, membuat mereka ragu memberitakan isu-isu sensitif.

"Artinya kita berada dalam demokrasi yang palsu. Karena jurnalis bekerja dalam ketakutan. Ada banyak fakta yang tidak bisa diangkat," kata Bayu.

Upaya membungkam pers, menurutnya, berdampak langsung pada hak publik atas informasi.

Ia teringat pesan Presiden ke-3 BJ Habibie saat melahirkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

"Ini anak buah saya, ini asal bapak senang semua. Saya tidak dapat informasi yang benar di lapangan. Ya, sudah saya beri ruang untuk pers untuk melaporkan apa adanya," kata Bayu mengulang perkataan Habibie.

Bagi Bayu, kemerdekaan pers sejati baru tercapai ketika tidak ada lagi jurnalis yang takut memberitakan kebenaran dan tak ada lagi impunitas bagi penyerang jurnalis.

Penegakan hukum adalah kuncinya.

"Harapannya negara hadir untuk melindungi. Melindungi kebebasan pers tugasnya insan pers, bukan tugasnya perusahaan pers. tapi tugas negara," ujarnya.

Di tengah perayaan 80 tahun kemerdekaan, Adhyasta hanya berharap makna kemerdekaan bisa benar-benar meresap ke dalam ruang redaksi di seluruh Indonesia.

"Karena dengan kasus yang saya alami dan juga rekan jurnalis lainnya, menunjukkan bahwa pers itu belum sepenuhnya merdeka. Kami ingin bekerja dengan tenang, tanpa ketakutan. Pekerjaan yang kami jalani adalah amanat undang-undang untuk kepentingan orang banyak," ujar Adhyasta.

Sementara bagi Dian, kemerdekaan pers memiliki makna yang lebih personal dan mendasar, yakni terciptanya ruang yang aman bagi jurnalis perempuan untuk berkarya.

"Merdeka menjadi seorang jurnalis ketika terbebas dari segala ketakutan. Merdeka ketika bekerja dalam ruang yang aman, menghormati dan menghargai perempuan," ujarnya.

Artikel ini khusus dibuat Redaksi Suara.com dalam rangka perayaan HUT ke-80 Republik Indonesia.


Terkait

Merdeka yang Tak Sampai ke Trotoar: Ironi 'Pak Ogah' di Seberang 'Gedung Rakyat'
Minggu, 17 Agustus 2025 | 12:41 WIB

Merdeka yang Tak Sampai ke Trotoar: Ironi 'Pak Ogah' di Seberang 'Gedung Rakyat'

Gegap gempita HUT RI ke-80, bagi Iwan dan Arif, 'Pak Ogah' di seberang Gedung DPR, menjadi ironi getir. Mereka 'merayakan' kemerdekaan dengan berjibaku di 'tol trotoar'.

80 Tahun Merdeka, Suara Wajib Pajak Menggema: Pajak Sudah Dibayar, Keadilan Sosial Mana?
Minggu, 17 Agustus 2025 | 11:51 WIB

80 Tahun Merdeka, Suara Wajib Pajak Menggema: Pajak Sudah Dibayar, Keadilan Sosial Mana?

Di tengah perayaan 80 tahun kemerdekaan, warga menyuarakan harapan dan keresahan. Pajak rutin dibayar, namun hak atas layanan publik dan keadilan sosial dirasa belum sepadan.

Tubuhku Otoritasku! Catatan Kritis Transpuan di 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia
Sabtu, 16 Agustus 2025 | 10:41 WIB

Tubuhku Otoritasku! Catatan Kritis Transpuan di 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia

Bagaimana kita mau bilang sudah merdeka kalau masih banyak pejabat publik yang transfobia? ujar Echa.

Terbaru
Arsitektur Sunyi 'Kremlin', Ruang Siksa Rahasia Orba yang Sengaja Dilupakan
nonfiksi

Arsitektur Sunyi 'Kremlin', Ruang Siksa Rahasia Orba yang Sengaja Dilupakan

Selasa, 30 September 2025 | 19:26 WIB

Ada alamat di Jakarta yang tak tercatat di peta teror, namun denyutnya adalah neraka. Menelusuri 'Kremlin', ruang-ruang interogasi Orde Baru, dan persahabatan aneh di Cipinang

Menyusuri Jejak Ingatan yang Memudar, Penjara Tapol PKI di Jakarta nonfiksi

Menyusuri Jejak Ingatan yang Memudar, Penjara Tapol PKI di Jakarta

Selasa, 30 September 2025 | 15:38 WIB

Ingatan kolektif masyarakat tentang tapol PKI dari balik jeruji penjara Orde Baru telah memudar, seiring perkembangan zaman. Jurnalis Suara.com mencoba menjalinnya kembali.

Review Film Kang Solah: Spin-Off Tanpa Beban, Tawa Datang Tanpa Diundang nonfiksi

Review Film Kang Solah: Spin-Off Tanpa Beban, Tawa Datang Tanpa Diundang

Sabtu, 27 September 2025 | 08:00 WIB

Akankah Kang Solah from Kang Mak x Nenek Gayung menyaingi kesuksesan Kang Mak tahun lalu?

Review Afterburn, Dave Bautista dan Samuel L. Jackson Pun Gagal Selamatkan Film Medioker Ini nonfiksi

Review Afterburn, Dave Bautista dan Samuel L. Jackson Pun Gagal Selamatkan Film Medioker Ini

Sabtu, 20 September 2025 | 09:00 WIB

Film Afterburn adalah karya aksi pasca-apokaliptik yang gagal total karena cerita tidak logis, naskah yang lemah, dan eksekusi yang membosankan.

Isu Fatherless Makin Marak, Film Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah Tayang di saat yang Tepat! nonfiksi

Isu Fatherless Makin Marak, Film Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah Tayang di saat yang Tepat!

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah berhasil meraih 420 ribu penonton meski berhadapan dengan film The Conjuring.

Pengalaman Tiga Hari di Pestapora 2025, Festival Musik yang Penuh Warna dan Kejutan nonfiksi

Pengalaman Tiga Hari di Pestapora 2025, Festival Musik yang Penuh Warna dan Kejutan

Selasa, 09 September 2025 | 20:27 WIB

Catatan tiga hari Pestapora 2025, pesta musik lintas generasi.

Review Film The Conjuring: Last Rites, Penutup Saga Horor yang Kehilangan Taring nonfiksi

Review Film The Conjuring: Last Rites, Penutup Saga Horor yang Kehilangan Taring

Sabtu, 06 September 2025 | 08:00 WIB

Plot yang lemah, jumpscare yang klise, serta kurangnya ide segar membuat film terasa datar.