Suara.com - Ratusan pengemudi ojek online memenuhi jalan di depan Kementerian Ketenagakerjaan Senin (17/02/2025. Mereka membawa spanduk, meneriakkan tuntutan: regulasi yang jelas soal Tunjangan Hari Raya (THR).
Menteri Ketenagakerjaan mengklaim "sudah ada titik terang." Namun, bagi para pengemudi, kepastian itu masih samar.
Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Lily Pujiati, menyebut aksi ini bagian dari "revolusi pekerja." Mereka ingin hak-hak mereka diakui.
Tuntutannya sederhana. Pemerintah harus mewajibkan pemilik platform membayar THR bagi pengemudi ojek online, taksi online, dan kurir.
Bagi mereka, aksi itu bukan sekadar menuntut THR. Tapi puncak dari kekecewaan bertahun-tahun. Perusahaan dianggap mengabaikan hak pekerja yang menopang bisnis mereka.
Di media sosial, suara warga pecah. Banyak warga mendukung aksi para pengemudi ojol. Namun, tidak sedikit pula yang melontarkan komentar bernada nyinyir.
Lantas, bagaimana sebenarnya posisi pengemudi ojol dalam regulasi ketenagakerjaan di Indonesia? Apakah mereka berhak mendapat THR?
Ilusi Kemitraan
Penelitian Di Bawah Kendali Aplikasi: Dampak Ekonomi Gig terhadap Kelayakan Kerja “Mitra” Industri Transportasi Online , yang dilakukan oleh peneliti dari Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) – Universitas Gadjah Mada , Arif Novianto, mengungkap realitas pahit bagi pengemudi ojek online.
Arif Novianto, menyebut hubungan kemitraan yang diterapkan oleh Gojek, Grab, dan Maxim tak lebih dari ilusi. Palsu. Semua keputusan penting dalam proses kerja berada di tangan perusahaan, mulai dari tarif, sanksi, bonus, hingga mekanisme kerja.
Para pengemudi tak memiliki ruang untuk bersuara, meski disebut sebagai "mitra."
Seringkali perusahaan aplikasi berdalih bahwa ekonomi gig memberi kebebasan bagi pekerja. Nyatanya, kontrol terhadap para ojol lebih mirip hubungan buruh dan pengusaha di industri manufaktur. Mereka diawasi, dikendalikan, dan didisiplinkan melalui sistem yang dirancang untuk memastikan mereka bekerja lebih lama dan lebih keras.
Sanksi menjadi alat utama perusahaan dalam menjaga produktivitas. Ojol yang dinilai kurang disiplin akan menghadapi penurunan jumlah order atau bahkan pemutusan kemitraan secara sepihak. Selain itu, penilaian konsumen juga dijadikan senjata untuk menekan mereka.
Sebuah rating buruk, meski tanpa bukti atau klarifikasi, bisa berujung pada sanksi. Perusahaan pun menggunakan sistem bonus sebagai insentif yang membuat para ojol terus bekerja tanpa kepastian pendapatan yang stabil.
Di balik semua itu, perusahaan platform mengumpulkan dan mengendalikan data kerja para ojol. Informasi yang seharusnya bisa diakses oleh para pengemudi justru dimonopoli oleh perusahaan. Bahkan pemerintah dan peneliti pun kesulitan mendapatkan akses terhadap data tersebut. Akibatnya, hubungan yang seharusnya bersifat kemitraan justru semakin timpang.
Penelitian ini menunjukkan bahwa praktik kemitraan yang berjalan saat ini bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2008 dan PP No. 17 Tahun 2013, yang mengatur bahwa kemitraan harus berdasarkan prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan.
Namun kenyataannya, kekuasaan penuh ada di tangan platform. Isi perjanjian pun tidak setara, dengan hak dan kewajiban yang lebih banyak menguntungkan perusahaan.
Bagi para pengemudi, dampaknya terasa nyata. Dari survei yang dilakukan Arif, 84,83% responden menilai perubahan kebijakan soal tarif, bonus, dan sanksi lebih menguntungkan perusahaan. Hanya sebagian kecil yang merasa kebijakan itu berpihak pada mereka. Sisanya, memilih diam—karena mereka tahu, suara mereka tak akan didengar.
Hubungan Kemitraan Harus Setara
Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Lily Pujiati, menegaskan bahwa mitra pengemudi ojol berhak atas THR. Hak ini mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003.
“Berdasarkan UU Nomor 13, driver ojol sudah termasuk pekerja. Mereka memenuhi dua unsur utama: pekerjaan—karena menghasilkan barang atau jasa—dan upah, yang merupakan hak pekerja sebagai imbalan dari pengusaha,” jelas Lily.
Chief of Public Policy & Government Relations GoTo Group, Ade Mulya, menegaskan bahwa pengemudi online masih berstatus mitra.
"Mereka adalah mitra mandiri dengan fleksibilitas dalam mengatur waktu dan jam kerja, bukan karyawan tetap," ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (18/2/2025).
Jika aplikator tetap bersikeras menyebut ojol sebagai mitra, Arif menilai mereka tetap berhak atas THR.
"Hubungan kemitraan harus setara. Tidak ada yang menguasai, tidak ada yang dikuasai," kata Arif kepada Suara.com, Selasa (18/2/2024).
Kesetaraan ini ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat 13 UU UMKM, yang menyebut kemitraan harus didasarkan pada prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan. Dengan aturan itu, keputusan penting seharusnya diambil lewat musyawarah dan mufakat.
"Tuntutan THR masuk akal. Bahkan, bukan cuma THR—hak lain pun bisa dinegosiasikan. Kalau disepakati bersama dan adil, kenapa tidak?" ujar Arif.
Selain THR, pengemudi juga menuntut penghapusan sistem aceng dan slot. Aceng merujuk pada tarif pengantaran makanan yang dipatok hanya Rp 5.000. Sementara itu, slot membatasi jangkauan pengemudi, mengurangi pendapatan mereka.
Apakah kebijakan ini pernah dibahas secara musyawarah? Ketimpangan dalam hubungan mitra ini, menurut Arif, terjadi karena pemerintah abai. Negara gagal menjalankan pengawasan.
"Bahkan antar kementerian saja saling lempar tanggung jawab. Ini tanggung jawab kamu, ini tanggung jawab kamu. Begitu terus. Dari awal ojol ada sampai sekarang tahun 2025," tegasnya.
Kemitraan semu ini terus dibiarkan. Sementara itu, para pengemudi hanya bisa bertahan dalam ketidakpastian.
Perlu Regulasi Tegas
Wakil Menteri Ketenagakerjaan memastikan akan mengakomodasi tuntutan pengemudi ojol. Dalam keterangannya, Senin (17/2), ia menyebut Kementerian Ketenagakerjaan telah berdiskusi dengan pihak aplikasi. Menurutnya, aplikator sudah menyiapkan tunjangan bagi pengemudi.
Chief of Public Policy & Government Relations, GoTo Group Ade Mulya menyatakan GoTo bersedia memberikan bonus hari raya. Namun, ia tidak merinci bentuknya.
Bonus itu disebut Tali Asih Hari Raya. Menurut Ade, GoTo sedang membahas skema pemberian bantuan untuk pengemudi Gojek pada Lebaran 2025.
"Kami berkomitmen membantu sesuai kapasitas perusahaan. Saat ini, Gojek berkoordinasi intensif dengan Kementerian Ketenagakerjaan untuk membahas Tali Asih Hari Raya," ujarnya.
Sementara itu, Chief of Public Affairs Grab Indonesia, Tirza Munusamy, menegaskan pihaknya terus berkoordinasi dengan pemangku kepentingan terkait wacana THR untuk pengemudi.
"Termasuk memberikan informasi yang diperlukan sebagai bahan diskusi," katanya dalam pernyataan resmi, Selasa (18/2).
Tirza berharap pemerintah menciptakan kebijakan yang lebih seimbang. "Harus mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap industri, ekonomi informal, dan pertumbuhan ekonomi nasional," tegasnya.
Ia menambahkan, Grab telah menjalankan berbagai inisiatif jangka panjang untuk mendukung mitra pengemudi, seperti skema insentif, dana santunan, dan perlindungan asuransi.
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menambahkan bahwa pemerintah tengah menyiapkan regulasi terkait THR untuk pengemudi ojol. Aturan ini bisa berupa surat edaran atau peraturan menteri.
Arif menilai, efektivitas aturan itu bergantung pada isi dan sanksi yang menyertainya. Jika hanya berbentuk surat edaran, ia ragu bisa menekan aplikator membayar THR.
"Kalau cuma edaran, enggak ada konsekuensi hukumnya. Kalau Grab, Gojek, atau Maxim enggak kasih THR, mereka enggak kena sanksi," ujarnya.
Di sisi lain, Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menyoroti lemahnya perlindungan bagi pekerja berbasis kemitraan. Menurutnya, belum ada regulasi yang jelas, sehingga perdebatan soal status pekerja ojol terus berlanjut.
"Pemerintah terlalu fokus mengatur pekerja dalam hubungan kerja. Sementara pekerja di luar hubungan kerja, seperti ojol, terus termarjinalkan," kata Timboel kepada Suara.com.
Ia menambahkan, pemerintah harus mendesak aplikator untuk mencantumkan kewajiban jaminan sosial dalam perjanjian kemitraan dan memastikan seluruh pekerja kemitraan terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan.
BPJS Watch juga mendesak pemerintah segera merilis aturan THR bagi pekerja kemitraan, terutama karena Idul Fitri semakin dekat. Selain itu, pemerintah harus berani memberi sanksi bagi aplikator yang tidak membayar THR.
"THR ini krusial. Bukan hanya untuk kesejahteraan pekerja dan keluarganya, tapi juga untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan mendorong perekonomian," ujar Timboel.
Mitra pengemudi ojek online (ojol) menuntut pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) untuk para mitra.
United Luncurkan Motor Listrik Khusus Ojek Online
Dalam dunia industri yang semakin kompetitif, tantangan utama bagi perusahaan adalah menjaga kesehatan pekerja agar tetap produktif dan efisien
Ojol menyuarakan tuntutan mereka agar mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR) seperti halnya karyawan formal, buka justru diberikan sembako.
Terbitnya sertifikat itu artinya ada manipulasi besar-besaran dan sudah sewajarnya oknum-oknum BPN ditersangkakan, kata Fickar.
Menurutnya, santri memiliki pendidikan keimanan yang kuat. Dengan itu, mereka dianggap lebih tahan terhadap godaan.
Retreat ini memberikan beban tersendiri bagi kepala daerah, mereka harus mengeluarkan ongkos untuk perjalanan, dan itu tentu berlawan dengan Inpres 1/2025, kata Herman.
Kami menilai bahwa program MBG bukanlah solusi yang tepat untuk mengatasi masalah pendidikan di Tanah Papua, kata Ubaid.
Politik di Indonesia umumnya hanya berkutat soal kepentingan yang didapat dari kekuasaan, sehingga keberadaan koalisi permanen Prabowo itu kecil kemungkinan terjadi.
industri perhotelan berpotensi mengalami kerugian Rp24,5 triliun, imbas dari pemangkasan anggaran pemerintah.
Rektor ISBI Bandung Retno Dwimarwati mengungkap pihak kampus akhirnya memutuskan untuk menggembok ruang Studio Teater ISBI Bandung,