Angka Perkawinan Terus Turun dari Tahun ke Tahun: Mengapa Generasi Muda Takut Buat Menikah?
Home > Detail

Angka Perkawinan Terus Turun dari Tahun ke Tahun: Mengapa Generasi Muda Takut Buat Menikah?

Bimo Aria Fundrika | Muhammad Yasir

Senin, 17 Februari 2025 | 13:23 WIB

Suara.com - Angka pernikahan di Indonesia terus menurun. Pergeseran nilai sosial dan budaya menjadi salah satu penyebabnya. Namun, faktor ekonomi dianggap sebagai alasan terbesar di balik fenomena ini. Mengapa ini bisa terjadi? 

Dalam beberapa waktu belakangan memang sempat muncul tren Marriage is Scary di media sosial. Tren ini pertama kali muncul di TikTok. Mayoritas dari mereka memperlihatkan kekhawatiran perempuan terhadap pernikahan. Tren ini kemudian ramai diperbincangkan di media sosial, diperkuat oleh berbagai kasus terkait pernikahan yang sering muncul di internet.

Penelitian berjudul "Terjebak dalam Standar TikTok: Tuntutan yang Harus Diwujudkan?" (Studi Kasus Tren Marriage is Scary)sempat mengamati bahwa analisis Google Trends menunjukkan lonjakan pencarian frasa Marriage is Scary sejak 8 Agustus 2024, mencapai puncaknya pada 13 Agustus dengan 100 pencarian dalam sehari. 

Menurut Statistik Pemuda Indonesia 2023, angka pernikahan di Indonesia menunjukkan penurunan dalam 10 tahun terakhir. Pada 2023, sekitar 68,29 persen pemuda belum menikah, sementara 30,61 persen sudah menikah. Persentase pemuda yang menikah dan belum menikah mengalami perkembangan yang bertolak belakang.

ilustrasi pernikahan paksa remaja (unsplash.com/Marc A. Sporys)
ilustrasi pernikahan paksa remaja (unsplash.com/Marc A. Sporys)

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, angka pernikahan di Indonesia turun drastis antara 2018 hingga 2023. Pada 2018, tercatat 2,01 juta pasangan, yang kemudian turun menjadi 1,96 juta pada 2019.

Penurunan berlanjut pada 2020 dengan 1,78 juta pasangan, diikuti 1,74 juta perkawinan pada 2021, dan 1,70 juta pada 2022. Pada 2023, angka perkawinan turun lagi menjadi 1,58 juta, atau berkurang sekitar 128.000 pasangan dibandingkan tahun sebelumnya.

Marriage is Scary

Dosen Psikologi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Dian Kinayung, sempat melakukan survei mandiri untuk meneliti tren ini. Dari 196 mahasiswa berusia 17–25 tahun yang menjadi responden, 84 persen mengaku takut menikah.

Menurut Dian, seperti dikutip dari The Conversation, penyebabnya beragam. Salah satu faktor terbesar adalah paparan informasi tentang permasalahan pernikahan di internet. Kasus-kasus seperti KDRT, anak terlantar, hingga istri yang harus menjadi tulang punggung keluarga kerap viral di media sosial.

Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), pada tahun 2023 total korban KDRT di Indonesia mencapai 12.158 orang. Jumlah ini tertinggi dibandingkan kategori kekerasan lainnya.

Ilustrasi KDRT (Pexels.com)
Ilustrasi KDRT (Pexels.com)

Selain itu, data dalam Catatan Tahunan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Tahun 2023, yang dirilis pada 7 Maret 2024, juga mencatat bahwa kekerasan terhadap istri (KTI) menjadi kasus yang paling sering dilaporkan di ranah personal.

Akibatnya, banyak orang mengalami trauma sekunder—ketakutan yang muncul karena melihat pengalaman buruk orang lain.

Masalah Ekonomi

Di sisi lain, faktor ekonomi juga berperan besar. Dian menyebutkan bahwa banyak responden laki-laki memilih menunda pernikahan demi mengejar kemapanan. Dalam surveinya, mayoritas laki-laki mengaku bahwa pekerjaan dan kestabilan finansial adalah kekhawatiran utama sebelum memutuskan menikah.

Pengamat kebijakan publik dan mantan peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Achmad Hanif Imaduddin, menjelaskan kondisi perekonomian saat ini membuat beban finansial semakin berat.

Akibatnya, semakin banyak anak muda yang memilih menunda pernikahan. Tren ini pun diprediksi terus meningkat di masa mendatang.

Guru Besar Sosiologi FISIP UGM, Sunyoto Usman, juga punya pendapat terkait menurunnya angka perkawinan. Ia menilai  faktor ekonomi juga berperan besar dalam menurunnya angka pernikahan, terutama bagi laki-laki yang masih merasa bertanggung jawab secara finansial atas keluarga.

"Di kelas menengah, tekanan ekonomi cukup tinggi. Kalau di kelas atas, mungkin ini bukan masalah," katanya.

Senada dengan Sunyoto, Guru Besar Sosiologi FISIP Unair, Bagong Suyanto, melihat penurunan angka pernikahan juga dipengaruhi berkurangnya jumlah laki-laki mapan.

"Sekarang mencari pekerjaan semakin sulit," ujar Bagong.

Menurunnya angka pernikahan dan meningkatnya perceraian, menurut Hanif, hanyalah puncak gunung es dari masalah ekonomi. Dampaknya paling terasa bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang kesulitan menghadapi kondisi finansial saat ini.

Fenomena ini, kata Hanif, perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Jika dibiarkan, penurunan jumlah pernikahan dapat memicu penurunan populasi. Dalam jangka panjang, hal ini juga berpotensi melemahkan perekonomian nasional.

"Jepang bisa jadi contoh. Populasi mereka didominasi penduduk usia tua, dan akibatnya ekonomi mereka lebih terseok dibanding satu dekade lalu," ujarnya.

Pergeseran Nilai dan Budaya

Sementara itu, Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga (KSPK) BKKBN, Nopian Andusti, menilai perubahan gaya hidup juga menjadi faktor utama di balik menurunnya angka pernikahan di Indonesia.

"Salah satu penyebabnya adalah perubahan gaya hidup," kata Nopian dalam Kelas Pranikah yang digelar daring di Jakarta, Jumat (14/2).

Selain itu, ada dua faktor lain yang berpengaruh: prioritas terhadap karier dan pergeseran nilai sosial di kalangan generasi muda. Di era bonus demografi, ketika penduduk usia produktif lebih banyak dari usia non-produktif, kesadaran akan kesiapan sebelum menikah semakin tinggi.

"Pasangan kini lebih selektif. Mereka mempertimbangkan faktor finansial, emosional, dan kestabilan hubungan sebelum memutuskan menikah," jelasnya.

Guru Besar Sosiologi FISIP UGM, Sunyoto Usman, menilai pernikahan dulu dianggap sebagai status sosial dalam budaya tradisional Indonesia. Namun, seiring waktu, pandangan ini mulai bergeser, terutama di kalangan menengah ke atas.

Dulu, banyak keluarga menjodohkan anak perempuan agar tidak dicap sebagai perawan tua. Namun, dengan semakin luasnya kesempatan perempuan mengembangkan karier, pola pikir itu mulai ditinggalkan.

"Kesetaraan gender di dunia kerja jadi faktor dominan. Banyak yang menunda pernikahan demi karier," ujar Sunyoto kepada Suara.com.

Menurutnya, fenomena ini wajar dan menjadi konsekuensi yang tidak terhindarkan.

Bagong menilai, meskipun angka pernikahan dan kelahiran menurun, hal ini tidak perlu dikhawatirkan dalam situasi bonus demografi. Yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah memastikan dampaknya positif bagi pemberdayaan perempuan dan masyarakat.


Terkait

Ratu Meta Ungkap Kengerian Saat Di-KDRT Suami: Saya Bakal Mati
Selasa, 18 Maret 2025 | 13:10 WIB

Ratu Meta Ungkap Kengerian Saat Di-KDRT Suami: Saya Bakal Mati

"Sampai sekarang tuh saya terbayang mbak-mbak saya yang minta tolong, itu saya kebayang banget," katanya.

Ulasan Novel (Bukan) Pengantin Baru: Ujian Cinta di Balik Ikatan Pernikahan
Senin, 17 Maret 2025 | 13:16 WIB

Ulasan Novel (Bukan) Pengantin Baru: Ujian Cinta di Balik Ikatan Pernikahan

Ulasan novel (Bukan) Pengantin Baru: Ujian cinta di balik ikatan pernikahan.

Janda Dikucilkan, Duda Dituntut Sempurna: Realita Pahit Pasca Perceraian di Indonesia
Minggu, 16 Maret 2025 | 10:00 WIB

Janda Dikucilkan, Duda Dituntut Sempurna: Realita Pahit Pasca Perceraian di Indonesia

Di Indonesia, perceraian bukan sekadar perpisahan, namun juga membawa konsekuensi sosial yang mendalam.

Terbaru
RUU TNI Izinkan Militer Jadi Jaksa Agung, Sejarah Kelam Terulang?
polemik

RUU TNI Izinkan Militer Jadi Jaksa Agung, Sejarah Kelam Terulang?

Selasa, 18 Maret 2025 | 18:32 WIB

TNI dididik menjadi prajurit pertahanan negara. Sehingga mereka tidak memiliki kompetensi untuk menjadi jaksa.

Pembungkaman di Balik Protes Rapat Tertutup RUU TNI: Mengapa Masyarakat Sipil Dikriminalisasi? polemik

Pembungkaman di Balik Protes Rapat Tertutup RUU TNI: Mengapa Masyarakat Sipil Dikriminalisasi?

Selasa, 18 Maret 2025 | 16:45 WIB

Mereka dilaporkan ke Polda dan mengalami teror. Lantas, mengapa pemerintah dan DPR justru terkesan seolah anti pada transparansi?

Program Student Loan: Solusi atau Komersialisasi Pendidikan? polemik

Program Student Loan: Solusi atau Komersialisasi Pendidikan?

Selasa, 18 Maret 2025 | 12:08 WIB

Student loan ini bukan solusi, tapi jebakan baru atau modus baru komersialisasi dan liberalisasi pendidikan, kata Ubaid.

Warisan Puing-Puing: Nasib PFN di Tangan Ifan Seventeen, Mampukah Bangkit? polemik

Warisan Puing-Puing: Nasib PFN di Tangan Ifan Seventeen, Mampukah Bangkit?

Selasa, 18 Maret 2025 | 08:06 WIB

"Ifan Seventeen punya beberapa kredit terlibat di beberapa film, tapi it's not enough (itu tidak cukup)," ujar Joko.

Gugatan di MK Gegerkan Wacana Redenominasi Rupiah: Bagaimana Dampaknya? polemik

Gugatan di MK Gegerkan Wacana Redenominasi Rupiah: Bagaimana Dampaknya?

Senin, 17 Maret 2025 | 12:44 WIB

Hanya indikator inflasi yang bisa dijadikan salah satu penguat. Tapi sebagian besar indikator tidak mengarah kesiapan untuk melakukan redenominasi secara makro, kata Eko.

Omon-Omon Pemberantasan Korupsi di Rezim Prabowo: Dari Ampuni Koruptor hingga Bikin Penjara Khusus di Pulau Terpencil polemik

Omon-Omon Pemberantasan Korupsi di Rezim Prabowo: Dari Ampuni Koruptor hingga Bikin Penjara Khusus di Pulau Terpencil

Senin, 17 Maret 2025 | 10:20 WIB

Prabowo sempat menyatakan akan mengampuni koruptor jika mereka mengembalikan uangnya secara diam-diam.

Review Film Mickey 17, Reuni Bong Joon Ho dan Robert Pattinson yang Memikat nonfiksi

Review Film Mickey 17, Reuni Bong Joon Ho dan Robert Pattinson yang Memikat

Sabtu, 15 Maret 2025 | 08:00 WIB

Film ini mengisahkan Mickey Barnes (Robert Pattinson), seorang pria yang meninggalkan bumi untuk ikut serta dalam misi kolonisasi ke planet es, Nilfheim.