DPR Tak Kena Pemotongan Anggaran: Manuver Prabowo Demi 'Karpet Merah' APBN?
Home > Detail

DPR Tak Kena Pemotongan Anggaran: Manuver Prabowo Demi 'Karpet Merah' APBN?

Bimo Aria Fundrika | Muhammad Yasir

Selasa, 04 Februari 2025 | 12:32 WIB

Suara.com - Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk tidak memangkas anggaran DPR dan MPR dalam kebijakan efisiensi belanja negara menuai kritik. Banyak pihak menduga keistimewaan ini terkait kepentingan politik pemerintah.

Instruksi efisiensi tertuang dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD 2025. Pemerintah menargetkan penghematan Rp306,6 triliun, dengan rincian Rp256,1 triliun dari anggaran kementerian/lembaga dan Rp50,5 triliun dari transfer ke daerah (TKD).

Namun, dokumen yang diperoleh Suara.com mengungkap bahwa tidak semua lembaga terkena kebijakan ini. DPR dan MPR dikecualikan. Tahun ini, anggaran untuk DPR mencapai Rp6,6 triliun dan MPR Rp969 miliar.

Ilustrasi Uang - Daftar Pahlawan di Uang (Unsplash)
Ilustrasi Uang - Daftar Pahlawan di Uang (Unsplash)

Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Misbah Hasan, menilai keputusan ini sebagai bentuk diskriminasi kebijakan. Jika pemerintah menerapkan asas keadilan, DPR dan MPR seharusnya juga terkena pemangkasan.

“Saya rasa ini bentuk diskriminasi kebijakan,” ujar Misbah kepada Suara.com, Selasa (4/2/2025).

Misbah menyoroti Keputusan Menteri Keuangan No. S-37/MK.02/2025, yang mengatur efisiensi belanja pada 16 pos anggaran. Pos tersebut mencakup alat tulis kantor, kegiatan seremonial, hingga perjalanan dinas—pengeluaran yang juga ada di DPR dan MPR.

Alih-alih mengistimewakan DPR dan MPR, FITRA mendorong pemerintah memperluas cakupan efisiensi. Salah satu opsi adalah pemangkasan belanja mobil dan tunjangan rumah dinas pejabat.

Berdasarkan perhitungan FITRA, negara bisa menghemat sekitar Rp2,19 triliun jika memangkas anggaran rumah dinas 732 anggota DPR, DPD, dan MPR selama lima tahun.

“Jadi saya rasa itu salah satu peluang penghematan juga,” kata Misbah.

Keputusan Prabowo mempertahankan anggaran DPR dan MPR kini menjadi sorotan. Apakah ini kebijakan yang adil, atau justru manuver politik?

Sarat Kepentingan Politik

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, sependapat dengan FITRA. Menurutnya, keputusan tidak memangkas anggaran DPR dan MPR menunjukkan inkonsistensi pemerintah dalam kebijakan efisiensi.

Lucius menilai, selain rumah dinas, masih banyak pos anggaran lain di DPR dan MPR yang bisa dipangkas. Perjalanan dinas luar negeri, reses, hingga sosialisasi empat pilar MPR adalah beberapa contoh.

“Seharusnya anggaran-anggaran ini bisa dipotong. Efisiensi bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga DPR dan MPR,” ujar Lucius kepada Suara.com.

Gedung DPR/MPR dipenuhi janur saat pelantikan Prabowo-Gibran di kompleks parlemen Senayan, Jakarta. (Suara.com/Bagaskara)
Gedung DPR/MPR dipenuhi janur saat pelantikan Prabowo-Gibran di kompleks parlemen Senayan, Jakarta. (Suara.com/Bagaskara)

Bagi Lucius, efisiensi anggaran DPR dan MPR bukan sekadar soal pemangkasan belanja. Ini juga soal komitmen bersama antara eksekutif dan legislatif untuk memastikan anggaran digunakan secara tepat dan bermanfaat bagi rakyat.

Namun hingga kini, alasan pemerintah tidak memangkas anggaran DPR dan MPR belum jelas. DPD justru terkena pemangkasan hingga Rp511 miliar.

Lucius menduga keputusan ini erat kaitannya dengan kepentingan politik. Jika anggaran DPR dan MPR tetap utuh, kemungkinan besar pertimbangannya bukan efisiensi, melainkan politik.

Pemerintah membutuhkan dukungan DPR agar kebijakan efisiensi anggaran berjalan lancar. Persetujuan DPR bisa menjadi "karpet merah" bagi pemerintah untuk mengutak-atik APBN 2025 sesuai kepentingannya.

“Jika anggaran dua lembaga di senayan itu tidak dipotong, maka sangat mungkin pertimbangan politik yang digunakan, bukan pertimbangan efisiensi,” pungkasnya.

Imbas Koalisi Gemuk Prabowo

Pada Oktober 2024, Center of Economic and Law Studies (Celios) mengungkap potensi pembengkakan anggaran hingga Rp1,95 triliun dalam lima tahun ke depan akibat koalisi gemuk. Angka ini belum termasuk belanja barang untuk pembangunan kantor dan gedung lembaga baru.

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menilai ada kekeliruan mendasar dalam manajemen fiskal pemerintahan Prabowo. Jika benar-benar ingin melakukan efisiensi, langkah yang diambil seharusnya meniru Vietnam.

"Vietnam menurunkan PPN, lalu memangkas jumlah kementerian dan lembaga untuk mengefisienkan APBN," ujar Bhima.

Menurutnya, efisiensi anggaran bukan sekadar soal menyelamatkan kas negara. Dampaknya lebih luas, termasuk mempermudah proses perizinan. Sayangnya, hal itu tidak terjadi.

Media Wahyudi Askar, Director of Fiscal Justice CELIOS, dalam sebuah pernyataannya juga mengatakan bahwa tanpa pengawasan ketat, pemborosan anggaran dan pengingkaran meritokrasi akan terus terjadi. Satu-satunya jalan keluar adalah memperkuat transparansi dan akuntabilitas.

BPK, KPK, dan MA harus menjadi benteng terakhir dalam menjaga pengelolaan sumber daya publik. BPK perlu wewenang lebih besar untuk mengaudit anggaran kementerian dan menindaklanjuti proses hukum.

KPK dan MA juga harus menegakkan hukum tanpa pandang bulu, terutama terhadap pejabat yang menyalahgunakan wewenang.


Terkait

Duka di Balik Belalai, Tragedi Gajah Sumatra di Ujung Kepunahan
Selasa, 04 Februari 2025 | 08:14 WIB

Duka di Balik Belalai, Tragedi Gajah Sumatra di Ujung Kepunahan

Kematian gajah di Aceh Timur itu bukan kasus pertama di tahun 2025. Pada 1 Januari lalu, satu gajah ditemukan mati di Kawasan Perkebunan Panton Reu, Aceh Barat.

Menyibak Tabir di Balik Kekerasan Prajurit TNI: Mengapa Terus Berulang?
Senin, 03 Februari 2025 | 19:00 WIB

Menyibak Tabir di Balik Kekerasan Prajurit TNI: Mengapa Terus Berulang?

Pembunuhan ini terungkap setelah warga mencium bau busuk dari kamar kontrakan korban. Saat memeriksa, mereka terkejut menemukan tubuh NS yang sudah membusuk.

Uang, Patronase, dan Suara yang Terjual: Mengapa DPR Tidak Lagi Dipercaya?
Senin, 03 Februari 2025 | 12:03 WIB

Uang, Patronase, dan Suara yang Terjual: Mengapa DPR Tidak Lagi Dipercaya?

Lantaran kuatnya politik uang, pemilih menjadi terlena. Mereka tak peduli dengan siapa yang mereka pilih.

Terbaru
Beda Gugatan Yoni Dores dan Ahmad Dhani, Kasus Via Vallen Bisa Jadi Pelajaran?
nonfiksi

Beda Gugatan Yoni Dores dan Ahmad Dhani, Kasus Via Vallen Bisa Jadi Pelajaran?

Sabtu, 31 Mei 2025 | 11:43 WIB

Yoni Dores dan Ahmad Dhani sama-sama memperjuangkan hak cipta, tetapi kasus Lesti Kejora lebih mirip Via Vallen di masa lalu.

Prabowo Buka Pintu untuk Israel Jika Akui Kemerdekaan Palestina: Diplomasi Realistis? polemik

Prabowo Buka Pintu untuk Israel Jika Akui Kemerdekaan Palestina: Diplomasi Realistis?

Jum'at, 30 Mei 2025 | 18:55 WIB

Israel tak hanya harus mengakui kemerdekaan Palestina secara penuh, tetapi juga harus bertanggung jawab atas genosida yang selama ini dilakukan terhadap rakyat Palestina.

Reformasi Anggaran: Tantangan di Balik Putusan Sekolah Gratis polemik

Reformasi Anggaran: Tantangan di Balik Putusan Sekolah Gratis

Jum'at, 30 Mei 2025 | 16:20 WIB

Presiden adalah satu-satunya otoritas yang dapat melakukan reformasi menyeluruh dalam tata kelola anggaran pendidikan, kata Ubaid.

Bongkar Korupsi Dana Zakat di Baznas Jabar, Whistleblower Malah Dikriminalisasi polemik

Bongkar Korupsi Dana Zakat di Baznas Jabar, Whistleblower Malah Dikriminalisasi

Rabu, 28 Mei 2025 | 20:51 WIB

"Kriminalisasi terhadap pelapor dugaan korupsi di Baznas menunjukkan kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Wana.

Kebijakan Jam Malam Pelajar di Jabar: Solusi atau Sekadar Simbolik? polemik

Kebijakan Jam Malam Pelajar di Jabar: Solusi atau Sekadar Simbolik?

Rabu, 28 Mei 2025 | 18:23 WIB

"Kebijakan jam malam bagi pelajar perlu manajemen pengawasan yang baik. Tanpa itu, kebijakan tersebut hanya akan terdengar baik di atas kertas," ujar Rakhmat.

Hunian Vertikal: Mimpi atau Bumerang Bagi Warga Jakarta? polemik

Hunian Vertikal: Mimpi atau Bumerang Bagi Warga Jakarta?

Rabu, 28 Mei 2025 | 15:35 WIB

"Rumah susun itu adalah cara yang paling prinsip untuk merubah Jakarta menjadi lebih tertata terkait dengan penduduk dan pemukiman," kata Yayat.

Bantuan China untuk MBG: Kadin Senang, Ekonom Khawatir 'No Free Lunch'! polemik

Bantuan China untuk MBG: Kadin Senang, Ekonom Khawatir 'No Free Lunch'!

Rabu, 28 Mei 2025 | 07:56 WIB

No free lunch. Pasti akan ada yang dikorbankan untuk mendapatkan bantuan tersebut, mulai dari politik hingga sumber daya alam, ungkap Huda.