Ilusi Kenaikan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia, Butuh 10 Tahun untuk Naik 1 Poin
Home > Detail

Ilusi Kenaikan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia, Butuh 10 Tahun untuk Naik 1 Poin

Chandra Iswinarno | Yaumal Asri Adi Hutasuhut

Rabu, 12 Februari 2025 | 13:20 WIB

Suara.com - Transparency International Indonesia (TI) merilis skor indeks persepsi korupsi (IPK) atau corruption perception index (CPI)periode 2024, Selasa (11/2/2025). Hasilnya menunjukkan terjadi lonjakan tiga skor, dari 34 pada Tahun 2023 menjadi 37 pada Tahun 2024.

Peningkatan skor tersebut menempatkan posisi Indonesia pada rangking ke-99 dari 180 negara yang diukur. Tahun sebelumnya, Indonesia berada di peringkat 115 dari 180 negara.

Merespons hal tersebut, Ketua KPK Setyo Budiyanto menyambut positif skor IPK Indonesia. Sebab menurutnya, kenaikan IPK tersebut secara tidak langsung menunjukkan terjadinya perbaikan dalam upaya pemberantasan korupsi di tahun 2024.

"Kita semua mensyukuri bahwa ada perbaikan dari tahun sebelumnya kepada tahun ini di 2023 ke tahun 2024," katanya pada Selasa (11/2/2025).

Meski alami kenaikan, posisi Indonesia sejatinnya tertinggal jauh dari sejumlah negara Asia Tenggara lainnya, seperti Timor Leste yang berada di peringkat ke 73 dengan skor 44.

Kemudian, Vietnam di peringkat 88 dengan skor 40, dan Malaysia peringkat ke-57 dengan skor 50. Sementara Singapura berada di peringkat ke-3 dengan perolehan skor 84.

Selain itu, secara global skor yang diraih Indonesia masih dibawah rata-rata. Untuk skor rata-rata IPK secara global berada di angka 43 poin.

Ketua KPK Setyo Budiyanto menyapa awak media sebelum memberikan pernyataan pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (24/12/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]
Ketua KPK Setyo Budiyanto menyapa awak media sebelum memberikan pernyataan pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (24/12/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]

10 Tahun 1 Poin

Melihat hal tersebut, Deputi Sekretaris Jenderal TII Wawan Heru Suyatmiko menyebut bahwa peningkatan skor IPK Indonesia tidak signifikan. Sebab, dalam 10 tahun terakhir Indonesia hanya dapat meningkatkan skor 1 poin.

Bila dirunut dari Tahun 2015, saat itu, skor IPK Indonesia berada di angka 36. Kemudian skor 37, baru berhasil diraih pada tahun 2024.

"Dalam 10 tahun, artinya kita hanya naik 1 poin," kata Wawan pada Selasa (11/2/2025).

Wawan kemudian membandingkan dengan peningkatan yang terjadi pada kurun waktu tahun 2005 ke tahun 2014. Pada tahun 2005, skor IPK Indonesia berada di angka 22, kemudian meningkat 12 poin pada 2014 menjadi 34.

Meski begitu, Wawan menjelaskan bahwa peningkatan skor IPK Indonesia berpotensi bias elite. Lantaran, IPK yang dihasilkan tersebut berdasarkan survei yang berbasis persepsi pelaku bisnis dan para pakar, bukan survei populisme. Mereka di antaranya kalangan CEO, direktur utama, direktur eksekutif dan pakar ekonomi.

Sementara, Ketua IM57+ Institute Lakso Anindito mengemukakan, dengan merujuk pada angka-angka yang ada, peningkatan skor IPK Indonesia dinilainya bukan suatu yang membanggakan.

"Ini menunjukan daya rusak yang luar biasa pada 10 tahun terakhir, sehingga membutuhkan upaya luar biasa untuk memperbaikinya," kata Lakso kepada Suara.com pada Rabu (12/2/2024).

Tidak membanggakannya kenaikan skor IPK Indonesia, juga karena secara bersamaan skor indeks demokrasi Indonesia (IDM) mengalami penurunan.

Berdasarkan data yang dirilis The Economist Intelligence Unit Contry Ratings, skor IDM Indonesia turun dari 37 ke 35 pada 2024. Padahal, skor IDM turut menjadi salah satu indikator yang digunakan oleh TTI untuk mengukur IPK Indonesia.

Lakso menyebut dalam upaya pemberantasan korupsi, demokrasi menjadi salah satu prasyarat penting yang harus direalisasikan dalam perlindungan kebebasan masyarakat sipil serta penguatan lembaga anti korupsi.

Namun demikian, menurut Lakso peningkatan skor setidaknya dapat dijadikan pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto sebagai momentum positif memerbaiki upaya pemberantasan korupsi.

Ia menegaskan bahwa penuntasan kasus korupsi secara konsisten menjadi suatu pekerjaan rumah yang harus dituntaskan.

Sementara, Lakso menyebut program prioritas seperti makan bergizi gratis harus dikawal dengan baik.

Sebab program yang menelan anggaran yang cukup besar ini sangat krusial terjadinya tindak pidana korupsi.

Menurutnya apabila tidak dikawal, program ini berpotensi memberikan kontribusi terhadap penurunan IPK Indonesia pada tahun selanjutnya.

Made with Flourish

Sementara itu, Guru Besar Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Hibnu Nugroho juga sepakat bahwa peningkatan IPK Indonesia harus dijadikan sebagai momentum untuk meningkatkan upaya pemberantasan korupsi.

"Yang perlu diperbaiki adalah politik hukumnya," kata Hibnu kepada Suara.com.

Menurutnya hal itu menjadi penting. Apalagi, ia menilai bahwa pemerintah saat ini sudah seharusnya melepas diri dari penggunaan aparat penegak hukum untuk menyerang lawan politik.

Lembaga seperti KPK dan Kejaksaan Agung harus benar-benar dioptimalkan dalam untuk memberantas korupsi tanpa memandang bulu.

Apabila, aparat penegak hukum masih dipolitisasi demi kepentingan politik, maka tidak menutup kemungkinan IPK Indonesia akan kembali anjlok pada tahun berikutnya.


Terkait

Selat Malaka: Jalur Tikus Narkoba dari Malaysia ke Indonesia
Selasa, 11 Februari 2025 | 17:55 WIB

Selat Malaka: Jalur Tikus Narkoba dari Malaysia ke Indonesia

Kejahatan narkoba ini mencari celah-celah pintu masuk sepanjang jalur yang ada, kata Marzuki.

Pasal Gelap UU BUMN Baru: KPK Tak Bisa Usut Korupsi di Perusahaan Negara?
Selasa, 11 Februari 2025 | 09:42 WIB

Pasal Gelap UU BUMN Baru: KPK Tak Bisa Usut Korupsi di Perusahaan Negara?

"Lalu siapa yang berhak menangani kasus tindak pidana korupsi jika terjadi di BUMN," kata Lakso.

Terbaru
Isu Fatherless Makin Marak, Film Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah Tayang di saat yang Tepat!
nonfiksi

Isu Fatherless Makin Marak, Film Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah Tayang di saat yang Tepat!

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah berhasil meraih 420 ribu penonton meski berhadapan dengan film The Conjuring.

Pengalaman Tiga Hari di Pestapora 2025, Festival Musik yang Penuh Warna dan Kejutan nonfiksi

Pengalaman Tiga Hari di Pestapora 2025, Festival Musik yang Penuh Warna dan Kejutan

Selasa, 09 September 2025 | 20:27 WIB

Catatan tiga hari Pestapora 2025, pesta musik lintas generasi.

Review Film The Conjuring: Last Rites, Penutup Saga Horor yang Kehilangan Taring nonfiksi

Review Film The Conjuring: Last Rites, Penutup Saga Horor yang Kehilangan Taring

Sabtu, 06 September 2025 | 08:00 WIB

Plot yang lemah, jumpscare yang klise, serta kurangnya ide segar membuat film terasa datar.

Review Panji Tengkorak, Tetap Worth It Ditonton Meski Meski Penuh Cacat nonfiksi

Review Panji Tengkorak, Tetap Worth It Ditonton Meski Meski Penuh Cacat

Sabtu, 30 Agustus 2025 | 08:00 WIB

Film ini justru hadir dengan nuansa kelam, penuh darah, dan sarat pertarungan.

'Sudahlah Tertindas, Dilindas Pula', Kesaksian Teman Affan Kurniawan yang Dilindas Rantis Brimob polemik

'Sudahlah Tertindas, Dilindas Pula', Kesaksian Teman Affan Kurniawan yang Dilindas Rantis Brimob

Jum'at, 29 Agustus 2025 | 13:04 WIB

Affa Kurniawan, driver ojol yang baru berusia 21 tahun tewas dilindas rantis Brimob Polda Jaya yang menghalau demonstran, Kamis (28/8) malam. Semua bermula dari arogansi DPR.

Review Film Tinggal Meninggal: Bukan Adaptasi Kisah Nyata tapi Nyata di Sekitar Kita nonfiksi

Review Film Tinggal Meninggal: Bukan Adaptasi Kisah Nyata tapi Nyata di Sekitar Kita

Sabtu, 23 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Film Tinggal Meninggal lebih banyak mengajak penonton merenungi hidup ketimbang tertawa?

80 Tahun Indonesia Merdeka; Ironi Kemerdekaan Jurnalis di Antara Intimidasi dan Teror polemik

80 Tahun Indonesia Merdeka; Ironi Kemerdekaan Jurnalis di Antara Intimidasi dan Teror

Minggu, 17 Agustus 2025 | 15:38 WIB

Di usia 80 tahun kemerdekaan Indonesia, jurnalis masih menghadapi intimidasi, teror, hingga kekerasan.