#KaburAjaDulu, Brain Drain, dan Bentuk Frustasi Masyarakat ke Pemerintah: Mengapa Ini Jadi Ancaman di Tahun 2045?
Home > Detail

#KaburAjaDulu, Brain Drain, dan Bentuk Frustasi Masyarakat ke Pemerintah: Mengapa Ini Jadi Ancaman di Tahun 2045?

Bimo Aria Fundrika | Yaumal Asri Adi Hutasuhut

Rabu, 12 Februari 2025 | 08:55 WIB

Suara.com - Menggemanya tagar #KaburAjaDulu tidak dapat dipandang sebelah mata. Karena merupakan bentuk ekspresi keresahan masyarakat atas berbagai kebijakan kontroversi pemerintah yang berdampak nyata bagi kehidupan warga. 

Jika tidak tidak direspons dengan baik akan mengakibatnya individu berpendidikan tinggi dan terampil meninggalkan Indonesia, demi kehidupan yang lebih layak di luar negeri. Dampak lebih serius, tidak tercapainya target Indonesia Emas 2045. 

Tagar #KaburAjaDulu ramai diperbincangkan di media sosial. Ini bukan sekadar tren. Tagar ini mencerminkan keresahan dan keinginan sebagian orang untuk meninggalkan Indonesia demi kehidupan yang lebih baik di luar negeri.

Menurut Drone Emprit, tagar ini pertama kali muncul di X (Twitter) pada September 2023. Namun, baru benar-benar viral pada 14 Januari 2025. Mayoritas penggunanya adalah anak muda berusia 19–29 tahun, mencapai 50,81 persen dari total percakapan.

Fenomena ini lahir dari rasa frustrasi terhadap kondisi ekonomi dan kualitas hidup di Indonesia. Sulitnya mencari pekerjaan, rendahnya upah, dan ketimpangan sosial menjadi pemicu utama.

"Jadi kami menemukan tagar ini muncul sebagai reaksi atas situasi iklim pencarian lapangan pekerja di Indonesia dan diskusi hal-hal  yang dipertimbangkan ketika tinggal di luar negeri," kata peneliti Drone Emprit, Slovenia kepada Suara.com, Selasa (11/2/2025).

Banyak yang merasa sudah bekerja keras, tetapi hasilnya tidak sebanding dengan usaha yang dikeluarkan. Kualitas hidup yang semakin menurun juga menjadi alasan. Polusi makin parah, infrastruktur buruk, dan ruang publik semakin terbatas.

Di sisi lain, persepsi ketidakadilan sosial memperkuat keinginan untuk pergi. Kesuksesan dianggap hanya milik segelintir orang. Sementara itu, sebagian besar masyarakat terus berjuang dalam kondisi yang tidak menentu.

Kebijakan pemerintah yang tidak efektif menambah rasa frustrasi. Banyak yang merasa suara mereka tidak didengar. Masalah ekonomi dan sosial terus berlarut tanpa solusi nyata.

Percakapan di media sosial menunjukkan bahwa tagar ini tidak hanya sekadar keluhan. Ada diskusi aktif tentang peluang kerja di luar negeri. Jepang, Malaysia, dan Qatar menjadi destinasi yang sering disebut. Tips mencari pekerjaan, strategi relokasi, hingga pengalaman mereka yang sudah berhasil, turut meramaikan pembahasan.

Bentuk Protes Masyarakat

Dosen Sosiologi Universitas Jenderal Soedirman, Hariyadi, melihat fenomena #KaburAjaDulu sebagai bentuk protes masyarakat. Ini adalah bukti ketidakpuasan terhadap kondisi Indonesia saat ini. Menurutnya, berbagai kebijakan pemerintah yang kontroversial menjadi pemicu utama.

Beberapa kebijakan yang memicu keresahan antara lain distribusi gas subsidi LPG 3 kg yang tidak dikaji matang hingga menyebabkan kelangkaan. Lalu, program makan bergizi gratis yang memotong anggaran kementerian dan lembaga tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap pelayanan publik. Kebijakan lain yang juga menekan masyarakat kelas menengah adalah kenaikan PPN 12 persen untuk barang dan jasa yang dianggap mewah.

Hariyadi menuturkan bahwa ketidakpuasan ini bukan fenomena baru. Gelombang kekecewaan semakin besar sejak disahkannya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020. Kebijakan ini mengubah banyak aspek kehidupan masyarakat, terutama pekerja.

"Ini ironis. Beberapa tahun terakhir, pemerintah dan DPR secara ‘ugal-ugalan’ memunculkan Omnibus Law Cipta Kerja dengan harapan menciptakan banyak lapangan kerja," ujar Hariyadi kepada Suara.com.

Ilustrasi pengangguran di Indonesia. [Istimewa]
Ilustrasi pengangguran di Indonesia. [Istimewa]

Namun kenyataan berbicara lain. Bukannya membuka lebih banyak peluang kerja dan melindungi pekerja, UU ini justru memperburuk situasi. PHK tanpa pesangon semakin marak. Upah tetap rendah. Sistem kontrak kerja menjadi lebih tidak menentu.

Tagar #KaburAjaDulu, kata Hariyadi, bukan hanya digaungkan oleh masyarakat umum. Akademisi dan dosen pun ikut bersuara. Mereka menyoroti isu kesejahteraan yang semakin terabaikan. Salah satu contoh nyata adalah tunjangan kinerja dosen di bawah Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi yang tidak dibayarkan selama lima tahun terakhir. Padahal, ini adalah hak yang diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen.

Pemerintah Perlu Bertindak

Fenomena #KaburAjaDulu bukan sekadar tagar. Ini adalah potret nyata pergeseran warga negara Indonesia ke luar negeri.

Data Kementerian Hukum dan HAM mencatat 3.912 WNI berpindah kewarganegaraan ke Singapura sepanjang 2019–2022. Artinya, setiap tahun rata-rata 1.000 orang memilih menjadi warga negara lain.

Alasan utamanya? Meningkatkan kesejahteraan. Menurut Hariyadi, sebagian dari mereka berasal dari industri kreatif.

"Para profesional industri kreatif di kota besar banyak yang pindah ke Singapura. Di sana, kebutuhan akan tenaga grafis, animasi, dan video sangat tinggi," ujarnya.

Fenomena ini bukan sekadar migrasi. Jika dibiarkan, akan semakin memperparah brain drain—ketika individu terdidik dan terampil memilih bekerja di luar negeri.

Hariyadi mengingatkan, kekhawatiran soal brain drain bukan hal baru. Salah satu faktornya adalah program beasiswa luar negeri yang tidak diimbangi dengan strategi pemulangan talenta. Jika terus diabaikan, dampaknya serius. Target Indonesia Emas 2045 bisa gagal tercapai.

Indonesia Emas 2045 adalah visi jangka panjang. Saat itu, Indonesia genap berusia 100 tahun, dengan populasi usia produktif yang dominan. Targetnya: negara berdaulat, maju, dan berkelanjutan di berbagai sektor, dari SDM hingga teknologi.

Namun, semua ini butuh perubahan. Pemerintah harus segera bertindak. Tagar #KaburAjaDulu adalah sinyal yang tidak boleh diabaikan.

Solusinya? Revitalisasi sistem politik. Selama oligarki masih mengendalikan kebijakan, anak muda tidak punya ruang untuk berkontribusi.

"Siapa yang dapat karpet merah? Mereka yang sejak awal punya akses ke kekuasaan. Karena keturunan, kekerabatan, atau kepentingan bisnis," kata Hariyadi.

Jika tidak ada reformasi, lebih banyak talenta muda akan memilih pergi. Dan Indonesia hanya akan menjadi tempat lahir, bukan tempat berkembang.


Terkait

Brain Drain Mengintai: Benarkah #KaburAjaDulu Jadi Alarm Bagi Pemerintah?
Minggu, 09 Maret 2025 | 10:00 WIB

Brain Drain Mengintai: Benarkah #KaburAjaDulu Jadi Alarm Bagi Pemerintah?

Gejala sosial ketika pekerja produktif memilih pergi dari negara sendiri. Apakah pergi adalah satu-satunya solusi?

Gus Miftah Sentil Fenomena 'Kabur Aja Dulu': Mencintai Negara Itu Bagian dari Iman
Jum'at, 07 Maret 2025 | 09:18 WIB

Gus Miftah Sentil Fenomena 'Kabur Aja Dulu': Mencintai Negara Itu Bagian dari Iman

Gus Miftah menanyakan tanggung jawab para anak bangsa jika memilih 'kabur aja dulu'.

Ogah Disebut Pengangguran, Anies Baswedan Mulai Ikut Wawancara Kerja: Overqualified Ini Mah!
Rabu, 05 Maret 2025 | 15:36 WIB

Ogah Disebut Pengangguran, Anies Baswedan Mulai Ikut Wawancara Kerja: Overqualified Ini Mah!

Baru-baru ini, seolah membantah tudingan publik, video wawancara kerja Anies beredar di laman TikTok dan menuai berbagai reaksi.

Dakwah Soal #KaburAjaDulu, Gus Miftah Malah Dituding Buzzer Pemerintah
Rabu, 05 Maret 2025 | 08:30 WIB

Dakwah Soal #KaburAjaDulu, Gus Miftah Malah Dituding Buzzer Pemerintah

Program acara dakwah Gus Miftah menuai cibiran, terlebih ceramahnya soal #KaburAjaDulu.

Terbaru
Warisan Puing-Puing: Nasib PFN di Tangan Ifan Seventeen, Mampukah Bangkit?
polemik

Warisan Puing-Puing: Nasib PFN di Tangan Ifan Seventeen, Mampukah Bangkit?

Selasa, 18 Maret 2025 | 08:06 WIB

"Ifan Seventeen punya beberapa kredit terlibat di beberapa film, tapi it's not enough (itu tidak cukup)," ujar Joko.

Gugatan di MK Gegerkan Wacana Redenominasi Rupiah: Bagaimana Dampaknya? polemik

Gugatan di MK Gegerkan Wacana Redenominasi Rupiah: Bagaimana Dampaknya?

Senin, 17 Maret 2025 | 12:44 WIB

Hanya indikator inflasi yang bisa dijadikan salah satu penguat. Tapi sebagian besar indikator tidak mengarah kesiapan untuk melakukan redenominasi secara makro, kata Eko.

Omon-Omon Pemberantasan Korupsi di Rezim Prabowo: Dari Ampuni Koruptor hingga Bikin Penjara Khusus di Pulau Terpencil polemik

Omon-Omon Pemberantasan Korupsi di Rezim Prabowo: Dari Ampuni Koruptor hingga Bikin Penjara Khusus di Pulau Terpencil

Senin, 17 Maret 2025 | 10:20 WIB

Prabowo sempat menyatakan akan mengampuni koruptor jika mereka mengembalikan uangnya secara diam-diam.

Review Film Mickey 17, Reuni Bong Joon Ho dan Robert Pattinson yang Memikat nonfiksi

Review Film Mickey 17, Reuni Bong Joon Ho dan Robert Pattinson yang Memikat

Sabtu, 15 Maret 2025 | 08:00 WIB

Film ini mengisahkan Mickey Barnes (Robert Pattinson), seorang pria yang meninggalkan bumi untuk ikut serta dalam misi kolonisasi ke planet es, Nilfheim.

Sinyal Bahaya di Balik Defisit APBN Awal Tahun 2025, Benarkah Bisa Berujung Impeachment? polemik

Sinyal Bahaya di Balik Defisit APBN Awal Tahun 2025, Benarkah Bisa Berujung Impeachment?

Jum'at, 14 Maret 2025 | 12:05 WIB

Dalam paparannya, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa hingga akhir Februari 2025, APBN mengalami defisit Rp31,3 triliun atau 0,13 persen dari PDB.

Ancaman di Balik Krisis Hakim di Indonesia, Sulitnya Warga Dapat Keadilan polemik

Ancaman di Balik Krisis Hakim di Indonesia, Sulitnya Warga Dapat Keadilan

Jum'at, 14 Maret 2025 | 08:19 WIB

Tapi, benarkah problemnya karena jumlah hakim yang kurang? Atau justru sebarannya yang tidak merata?

Antara Deflasi dan Pahala: Kotak Amal Masjid di Aceh Menyusut? polemik

Antara Deflasi dan Pahala: Kotak Amal Masjid di Aceh Menyusut?

Kamis, 13 Maret 2025 | 19:23 WIB

Jika melihat dari celengan atau kotak amal, memang ada penurunan sejak tahun lalu," ujar Ustaz Mauliza.