Suara.com - Menggemanya tagar #KaburAjaDulu tidak dapat dipandang sebelah mata. Karena merupakan bentuk ekspresi keresahan masyarakat atas berbagai kebijakan kontroversi pemerintah yang berdampak nyata bagi kehidupan warga.
Jika tidak tidak direspons dengan baik akan mengakibatnya individu berpendidikan tinggi dan terampil meninggalkan Indonesia, demi kehidupan yang lebih layak di luar negeri. Dampak lebih serius, tidak tercapainya target Indonesia Emas 2045.
Tagar #KaburAjaDulu ramai diperbincangkan di media sosial. Ini bukan sekadar tren. Tagar ini mencerminkan keresahan dan keinginan sebagian orang untuk meninggalkan Indonesia demi kehidupan yang lebih baik di luar negeri.
Menurut Drone Emprit, tagar ini pertama kali muncul di X (Twitter) pada September 2023. Namun, baru benar-benar viral pada 14 Januari 2025. Mayoritas penggunanya adalah anak muda berusia 19–29 tahun, mencapai 50,81 persen dari total percakapan.
Fenomena ini lahir dari rasa frustrasi terhadap kondisi ekonomi dan kualitas hidup di Indonesia. Sulitnya mencari pekerjaan, rendahnya upah, dan ketimpangan sosial menjadi pemicu utama.
Banyak yang merasa sudah bekerja keras, tetapi hasilnya tidak sebanding dengan usaha yang dikeluarkan. Kualitas hidup yang semakin menurun juga menjadi alasan. Polusi makin parah, infrastruktur buruk, dan ruang publik semakin terbatas.
Di sisi lain, persepsi ketidakadilan sosial memperkuat keinginan untuk pergi. Kesuksesan dianggap hanya milik segelintir orang. Sementara itu, sebagian besar masyarakat terus berjuang dalam kondisi yang tidak menentu.
Kebijakan pemerintah yang tidak efektif menambah rasa frustrasi. Banyak yang merasa suara mereka tidak didengar. Masalah ekonomi dan sosial terus berlarut tanpa solusi nyata.
Percakapan di media sosial menunjukkan bahwa tagar ini tidak hanya sekadar keluhan. Ada diskusi aktif tentang peluang kerja di luar negeri. Jepang, Malaysia, dan Qatar menjadi destinasi yang sering disebut. Tips mencari pekerjaan, strategi relokasi, hingga pengalaman mereka yang sudah berhasil, turut meramaikan pembahasan.
Bentuk Protes Masyarakat
Dosen Sosiologi Universitas Jenderal Soedirman, Hariyadi, melihat fenomena #KaburAjaDulu sebagai bentuk protes masyarakat. Ini adalah bukti ketidakpuasan terhadap kondisi Indonesia saat ini. Menurutnya, berbagai kebijakan pemerintah yang kontroversial menjadi pemicu utama.
Beberapa kebijakan yang memicu keresahan antara lain distribusi gas subsidi LPG 3 kg yang tidak dikaji matang hingga menyebabkan kelangkaan. Lalu, program makan bergizi gratis yang memotong anggaran kementerian dan lembaga tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap pelayanan publik. Kebijakan lain yang juga menekan masyarakat kelas menengah adalah kenaikan PPN 12 persen untuk barang dan jasa yang dianggap mewah.
Hariyadi menuturkan bahwa ketidakpuasan ini bukan fenomena baru. Gelombang kekecewaan semakin besar sejak disahkannya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020. Kebijakan ini mengubah banyak aspek kehidupan masyarakat, terutama pekerja.
"Ini ironis. Beberapa tahun terakhir, pemerintah dan DPR secara ‘ugal-ugalan’ memunculkan Omnibus Law Cipta Kerja dengan harapan menciptakan banyak lapangan kerja," ujar Hariyadi kepada Suara.com.
Namun kenyataan berbicara lain. Bukannya membuka lebih banyak peluang kerja dan melindungi pekerja, UU ini justru memperburuk situasi. PHK tanpa pesangon semakin marak. Upah tetap rendah. Sistem kontrak kerja menjadi lebih tidak menentu.
Tagar #KaburAjaDulu, kata Hariyadi, bukan hanya digaungkan oleh masyarakat umum. Akademisi dan dosen pun ikut bersuara. Mereka menyoroti isu kesejahteraan yang semakin terabaikan. Salah satu contoh nyata adalah tunjangan kinerja dosen di bawah Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi yang tidak dibayarkan selama lima tahun terakhir. Padahal, ini adalah hak yang diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen.
Pemerintah Perlu Bertindak
Fenomena #KaburAjaDulu bukan sekadar tagar. Ini adalah potret nyata pergeseran warga negara Indonesia ke luar negeri.
Data Kementerian Hukum dan HAM mencatat 3.912 WNI berpindah kewarganegaraan ke Singapura sepanjang 2019–2022. Artinya, setiap tahun rata-rata 1.000 orang memilih menjadi warga negara lain.
Alasan utamanya? Meningkatkan kesejahteraan. Menurut Hariyadi, sebagian dari mereka berasal dari industri kreatif.
"Para profesional industri kreatif di kota besar banyak yang pindah ke Singapura. Di sana, kebutuhan akan tenaga grafis, animasi, dan video sangat tinggi," ujarnya.
Fenomena ini bukan sekadar migrasi. Jika dibiarkan, akan semakin memperparah brain drain—ketika individu terdidik dan terampil memilih bekerja di luar negeri.
Hariyadi mengingatkan, kekhawatiran soal brain drain bukan hal baru. Salah satu faktornya adalah program beasiswa luar negeri yang tidak diimbangi dengan strategi pemulangan talenta. Jika terus diabaikan, dampaknya serius. Target Indonesia Emas 2045 bisa gagal tercapai.
Indonesia Emas 2045 adalah visi jangka panjang. Saat itu, Indonesia genap berusia 100 tahun, dengan populasi usia produktif yang dominan. Targetnya: negara berdaulat, maju, dan berkelanjutan di berbagai sektor, dari SDM hingga teknologi.
Namun, semua ini butuh perubahan. Pemerintah harus segera bertindak. Tagar #KaburAjaDulu adalah sinyal yang tidak boleh diabaikan.
Solusinya? Revitalisasi sistem politik. Selama oligarki masih mengendalikan kebijakan, anak muda tidak punya ruang untuk berkontribusi.
"Siapa yang dapat karpet merah? Mereka yang sejak awal punya akses ke kekuasaan. Karena keturunan, kekerabatan, atau kepentingan bisnis," kata Hariyadi.
Jika tidak ada reformasi, lebih banyak talenta muda akan memilih pergi. Dan Indonesia hanya akan menjadi tempat lahir, bukan tempat berkembang.
Ini lima negara yang mau bayar tiap orang yang mau pindah ke wilayahnya, di mana saja?
Publik soroti kehadiran Anies Baswedan di acara keagamaan bersama mantan Wapres KH Ma'ruf Amin.
Warganet mencoba menyuarakan sesuatu yang berkaitan dengan tekanan kehidupan di era saat ini.
Warganet bandingkan kegiatan Anies Baswedan dan Jokowi.
Kejahatan narkoba ini mencari celah-celah pintu masuk sepanjang jalur yang ada, kata Marzuki.
Penunjukkan Mayjen Novi juga bertentangan dengan Undang-Undang (UU) TNI, dan bentuk ancaman bagi negara demokrasi.
"Lalu siapa yang berhak menangani kasus tindak pidana korupsi jika terjadi di BUMN," kata Lakso.
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menegaskan bahwa subsidi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk PBPU sebesar Rp2,5 triliun seharusnya tidak dipotong.
Pasal dalam KUHAP belum memadai untuk mengakomodir hak-hak tersangka/terdakwa, saksi, korban, maupun pihak ketiga yang terdampak khususnya dari tindakan penegakan hukum.
Max mempertanyakan sikap sastrawan dan intelektual Indonesia terhadap karya sastra.
Pria yang pernah menjadi jurnalis di Ibukota ini menceritakan momen ketika tas Gunagoni diborong ibu-ibu pejabat.