Suara.com - Perairan Aceh di kawasan Selat Malaka yang tenang kerap menjadi jalur gelap penyelundupan. Pintu masuk narkoba dari luar negeri ke Indonesia.
BARANG haram itu tersimpan di rumah kosong kawasan perkebunan kelapa sawit Tanah Jambo Aye, Aceh Utara. Terpisah dalam 18 bungkus, sabu-sabu itu memiliki berat total 33 kilogram. Di tempat yang sama, anggota Badan Narkotika Nasional (BNN) Aceh juga menemukan 104 bungkus pil ekstasi berjumlah 262,5 ribu butir.
Kepala BNN Aceh Brigadir Jenderal Polisi Marzuki Ali Basyah menuturkan kasus itu bagian jaringan penyelundupan narkoba jalur Malaysia-Aceh. Pengendali narkoba itu seseorang berinisial Y, berada di Malaysia.
Kasus ini terkuak ketika BNN Aceh pada Kamis, 7 Februari lalu menangkap H (35), warga Kota Lhokseumawe. Atas suruhan Y, ia menjemput 15 bungkus ekstasi dan 1 bungkus sabu-sabu dari seseorang.
Setelah dibekuk, ia buka suara. Barang ilegal itu diambil di sebuah rumah dalam kebun sawit.
“Terbongkarnya kasus peredaran ini menambah panjang daftar jaringan internasional Aceh-Malaysia yang diungkap tim BNN,” kata Marzuki kepada jurnalis, Senin (10/2/2025).
Penyelundupan narkoba melalui jalur itu juga dibongkar BNN pada Minggu, 8 September 2024 lalu. Bersama Kepolisian Daerah Aceh dan Bea Cukai Aceh, mereka menangkap enam tersangka dan menyita 29,25 kilogram sabu-sabu.
Petugas awalnya menerima informasi ada 'kapal oskadon'—sebutan untuk perahu nelayan pembawa narkoba dari Malaysia. Ketika bertemu aparat gabungan, oskadon itu sedang mogok yang berjarak 20 mil dari Pantai Kuala Idi, Aceh Timur.
Tiga orang di perahu itu ditangkap, yaitu JP alias SU, SA alias BA, dan AL. Aparat menemukan 50 bungkus sabu-sabu dikemas dalam tiga karung putih. Barang itu sempat dilempar oleh para tersangka ke laut sehingga ditemukan dalam kondisi basah.
“Para tersangka mengaku mendapatkan narkotika jenis sabu-sabu dari seseorang berbahasa Thailand di sekitar perairan Pulau Adang, Thailand,” kata Komjen Marthinus Hukom, Kepala BNN dalam konferensi pers di Aceh, pada Selasa (17/9).
Pengembangan perkara di laut Idi menuntun petugas menangkap tiga orang lainnya. Mereka adalah PH alias PU, berperan sebagai koordinator kapal yang dibekuk di Pelabuhan Perikanan Idi Aceh Timur, serta MK dan MN alias NA di kawasan tambak Desa Kuta Lawah.
Modus Selundup di Selat Malaka
Diapit sejumlah negara, sejak dulu perairan Selat Malaka terkenal sebagai salah satu jalur laut terpadat di dunia. Kapal-kapal hilir mudik dari berbagai belahan dunia.
Di antara arus lalu lintas laut yang sibuk dan perairan yang tenang itu, mafia lintas negara menyelundupkan narkoba ke Aceh—daratan paling utara Pulau Sumatra. Kerap kali narkoba masuk dari Malaysia.
“Kejahatan narkoba ini mencari celah-celah pintu masuk sepanjang jalur yang ada,” kata Marzuki kepada Suara.com, Selasa (4/2/2025).
Menurut Marzuki, pintu masuk narkoba itu menyebar di sepanjang pesisir pantai utara dan timur Aceh yang menghadap Selat Malaka. Pelabuhan tikus bertebaran. Mulai dari Laweung di Kabupaten Pidie hingga jauh di bibir pantai Aceh Tamiang.
Dua bulan belakangan, ia gencar mengawasi garis pantai itu. Meski narkoba selundupan jaringan Malaysia-Aceh, tapi asal barang tersebut bukan dari negeri jiran. Jenis narkoba yang kerap ditangkap adalah sabu-sabu.
Menurut Marzuki, sabu-sabu diproduksi di negara lain, seperti Thailand dan Cina. Malaysia lantas menjadi salah satu negara lintasan sebelum jauh sampai ke Indonesia melalui perairan Aceh. Penyelundup narkoba kucing-kucingan dengan aparat keamanan.
“Begitu kami lengah, dia masuk. Pintu-pintunya banyak di Aceh,” ungkap Marzuki.
Dalam beberapa kasus, para penyelundup bahkan membuang barang bukti ke laut begitu mereka mengetahui ada petugas yang mendekat. Meskipun petugas mengendus aktivitas ilegal, tapi barang bukti seringkali tidak ditemukan.
“Seperti Desember lalu, kami menangkap 58 kilogram (sabu-sabu) sisa. Itu sudah setengah basah. Telat sedikit, mungkin 58 kilogram itu sudah tidak bisa diamankan,” kata Marzuki.
Di laut, para penyelundup memiliki banyak waktu untuk membuang barang bukti. Sebab, jika jarak kapal setengah kilometer saja dengan target akan memakan waktu sekitar 15 menit untuk sampai di lokasi.
“Dia sudah bisa buang. Bisa ditenggelamkan. Makanya kesulitan ditangkap di laut,” ucapnya.
Adapun modus lain penyelundupan, lanjut Marzuki, para kurir berpura-pura menjadi nelayan untuk menjemput narkoba di tengah laut.
“Kurir yang mengambil jalan pintas merusak citra nelayan,” ujarnya.
Temuan BNN Aceh, kurir itu dikenali karena pergi melaut tidak membawa jaring dan pancing sebagaimana nelayan umumnya. Mereka hanya bermodal bensin.
“Tapi pulang dari laut senang-senang,” tuturnya.
Adapun komunikasi di antara sindikat penyelundup narkoba memakai telepon satelit. Antara pemasok dari luar negeri dan kurir di Aceh tidak bertemu. Pemasok meletakkan narkoba yang dipasangi GPS di laut dan memberikan titik koordinatnya ke kurir.
“Mereka teknologinya canggih menggunakan telepon satelit. Makanya nelayan-nelayan yang canggih bukan nelayan sebenarnya, tapi kurir,” katanya.
“Mungkin juga ada nelayan asli, tapi yang sudah malas jadi nelayan.”
Karena itu, BNN Aceh melibatkan Panglima Laot, lembaga adat yang menaungi nelayan Aceh, untuk melaporkan jika ada yang mencurigakan di laut.
“Panglima Laot sudah mulai memberikan informasi-informasi kepada kami,” katanya.
Pengawasan Laut Lemah
Ketua Panglima Laôt Aceh Miftachhuddin Tjut Adek mengatakan, selama ini sudah membantu pemerintah dalam memberikan informasi.
“Jika ada yang mencurigakan, kami akan melapor,” katanya kepada Suara.com pada Kamis (6/2).
Penyelundupan narkoba, menurut Miftach, tidak diatur dalam hukum adat laôt Aceh. Karena itu, siapa pun yang terlibat dalam jaringan itu, meskipun nelayan, tidak berurusan dengan hukum adat.
“Itu harus ditindak secara hukum negara,” ujarnya.
Perairan Aceh kerap dipakai penyelundup karena menjadi laut paling depan, strategis, dan berhubungan dengan negara-negara luar seperti Thailand, Malaysia, India, dan Myanmar. Di kawasan yang luas dan hilir mudik kapal yang padat, menurut Miftach, sangat sulit menebak kapal mana yang melakukan aktivitas yang benar.
Ia menilai pengawasan perairan Aceh oleh pemerintah masih kurang ketat dibanding negara lain, seperti India atau Thailand. Selama ini nelayan Aceh yang melintasi batas negara lain langsung ditangkap. Sebaliknya, Miftach menyebut, langkah serupa tidak terjadi jika ada yang masuk perairan Indonesia secara ilegal.
“Orang lewat tapi tidak ada tindakan. Itu mungkin karena pengawasan laut kita sedikit lemah,” kata Miftach.
“Kami meminta pemerintah agar meningkatkan pengawasan, itu yang sangat urgen sekali.”
Dari Perairan Aceh ke Seluruh Indonesia
Marzuki mengatakan, perairan Aceh hanya menjadi pintu masuk narkoba ke Indonesia. Menurutnya, pemodal bisnis gelap itu bukan saja di Aceh.
“Ada orang India, Malaysia, dan Thailand. Jadi, variasi kalau mafianya,” katanya.
Narkoba yang berhasil masuk melalui perairan Aceh langsung dikirim ke Medan, Sumatra Utara lewat jalur darat.
“Dari Medan lah distribusi. Nanti orang Aceh juga belinya dari Medan. Fakta beberapa kegiatan kami tangkap, (mereka) belinya di Medan,” kata Marzuki.
Ia menyebutkan pemakaian narkoba di Aceh tidak sebanding dengan jumlah yang diselundupkan ke Aceh.
“Jadi kalau di sini dijual segitu banyaknya, siapa yang beli? Nanti jadi tidak laku. Jadi Aceh tetap beli dari Medan,” ucapnya.
Setelah di Medan, menurut Marzuki, narkoba dipasok ke berbagai daerah di Indonesia, termasuk Pulau Jawa, Sulawesi, hingga Kalimantan. BNN Aceh pernah menangkap penyelundup sabu-sabu yang dikirim ke Sulawesi Tengah dan Kalimantan Selatan.
Lantas mengapa narkoba tersebut disuplai dari perairan Aceh?
Menurut Marzuki, perairan Aceh sebelah timur berbatasan dengan negara lain, seperti Malaysia. Kawasan itu juga jalur perlintasan kapal dengan situasi laut yang tenang. Berbeda dengan Sulawesi dan Kalimantan yang butuh perjalanan jauh.
Selain itu, penyelundupan jarang menggunakan perairan pantai barat Aceh, seperti Aceh Barat dan Aceh Singkil, karena situasi laut yang jauh berbeda.
“Itu laut Andaman, tidak nyaman untuk pakai perairan kapal-kapal kecil. Makanya kapal yang paling nyaman Selat Malaka,” katanya.
______________________________
Kontributor Aceh: Habil Razali
Temuan Migrant CARE, beberapa kasus pembunuhan terhadap PMI perempuan disertai dengan pemerkosaan yang brutal oleh Polisi Diraja Malaysia.
Ada razia PMI jadi PSK di Malaysia, itu juga kami tindak lanjuti sejauh mana proses penanganan dari KBRI maupun pemerintah Malaysia,
Fuji sebut senyum aisar 'rancak', namun berakhir pilih pria ini.
Mahkamah Syariat Islam Kabupaten Aceh Barat menjatuhkan hukuman cambuk kepada lima terpidana karena terbukti melakukan pelanggaran syariat islam dalam kasus judi online.
Penunjukkan Mayjen Novi juga bertentangan dengan Undang-Undang (UU) TNI, dan bentuk ancaman bagi negara demokrasi.
"Lalu siapa yang berhak menangani kasus tindak pidana korupsi jika terjadi di BUMN," kata Lakso.
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menegaskan bahwa subsidi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk PBPU sebesar Rp2,5 triliun seharusnya tidak dipotong.
Pasal dalam KUHAP belum memadai untuk mengakomodir hak-hak tersangka/terdakwa, saksi, korban, maupun pihak ketiga yang terdampak khususnya dari tindakan penegakan hukum.
Max mempertanyakan sikap sastrawan dan intelektual Indonesia terhadap karya sastra.
Pria yang pernah menjadi jurnalis di Ibukota ini menceritakan momen ketika tas Gunagoni diborong ibu-ibu pejabat.
Melunasi hutang, membangun kembali bisnis lele warisan orang tua, itu plot cerita Hidup Peternak Lele.