Suara.com - Lembaga Administrasi Negara (LAN) baru-baru ini jadi sorotan. Sebuah surat edaran terkait instruksi Presiden Prabowo Subianto tentang efisiensi anggaran kementerian dan lembaga tersebar.
Seperti diketahui, pemangkasan anggaran sendiri diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, yang menekankan penghematan belanja negara dalam APBN dan APBD 2025. Aturan ini mulai berlaku pada Senin, 3 Februari 2025.
Dalam surat itu, LAN melarang ASN di internalnya mengeluh di media sosial terkait kebijakan ini. Larangan tersebut tercantum dalam surat edaran LAN yang menyatakan: "Seluruh pegawai ASN wajib mendukung kebijakan efisiensi anggaran pemerintah dan dilarang memberikan pernyataan di media sosial atau platform digital lain yang kontra produktif dengan kebijakan ini."
Setelah surat edaran tersebut viral, LAN memberikan klarifikasi lewat akun X resminya, @LAN_RI, pada Rabu (5/2/2025). LAN menegaskan ASN wajib menjalankan kebijakan pemerintah.
"Namanya juga ASN," tulis akun tersebut, dikutip Suara.com, Jumat (7/2/2025).
LAN mengklaim tidak melarang ASN menyuarakan pendapat, asalkan disampaikan secara bijak di media sosial. Mereka juga menegaskan dukungan terhadap kebebasan berpendapat, yang dijamin konstitusi.
"Maaf ya, kalau sudah bikin ramai. Kritik dan saran dari Kawan LAN selalu kami nanti," tulis LAN di X.
Pembatasan Kebebasan Berekspresi
Wakil Ketua YLBHI, Arif Maulana, mengkritik kebijakan ini. Ia menilai Surat Edaran tersebut ialah bentuk pembatasan kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi.
Ia menegaskan bahwa meskipun berstatus ASN, pegawai LAN tetap memiliki hak demokratis untuk menyampaikan pendapat, termasuk di media sosial.
ASN berhak memberikan masukan, kritik, dan saran terhadap kebijakan pemerintah. Menurut Arif Maulana, hal ini penting agar kebijakan efisiensi benar-benar tepat guna dan kontekstual.
Namun, Arif menyoroti frasa dalam surat edaran LAN yang berbunyi "...yang kontra produktif dengan upaya mendukung kebijakan efisiensi." Baginya, frasa ini multitafsir dan berpotensi disalahgunakan.
Ia khawatir aturan ini mengembalikan pola era Orde Baru, di mana ASN hanya tunduk tanpa hak berpendapat. Jika itu terjadi, menurutnya, auto kritik dan koreksi di internal birokrasi akan hilang.
"Aturan ini justru membatasi dialog dan diskusi di pemerintahan. Dampaknya buruk bagi birokrasi kita," kata Arif.
Bukan Hal Baru
Larangan bagi PNS untuk mengkritik pemerintah di media sosial sebenarnya bukan hal baru. Aturan ini telah diterbitkan sejak Mei 2018.
Saat itu, Menteri PAN-RB melalui Badan Kepegawaian Negara (BKN) merilis Surat Edaran Nomor 137 Tahun 2018 tentang pedoman penggunaan media sosial bagi ASN.
Menteri PAN-RB kala itu, Syafruddin, menegaskan bahwa ASN dilarang mengkritik pemerintah di ruang publik.
"UU-nya begitu. Memberikan masukan, saran yang progresif, oke-oke saja. Tapi bukan di ruang publik," kata Syafruddin, mantan Wakapolri, pada Selasa (15/10). Pernyataan ini merespons kasus ASN yang ditangkap karena unggahannya terkait penusukan Menko Polhukam Wiranto.
Paradoks Netralitas Hingga Apolitis
Di Indonesia sendiri, ASN kerap dituntut untuk bersikap netral hingga menjauhkan mereka dari sikap politik.
Dalam Pemilu 2024, netralitas ASN kembali menjadi sorotan. Assistant Professor in Organisation Studies, Universitas Indonesia, Kanti Pertiwi, dalam tulisannya di The Conversation, menyoroti dilema ASN yang kerap menjadi kambing hitam, mesin suara, dan korban netralitas politikus toksik.
ASN terikat aturan ketat. Bukan hanya dilarang mengikuti kampanye, sekadar memberi tanda jempol di media sosial pun bisa berujung sanksi.
Sekilas, aturan ini masuk akal. Netralitas diperlukan agar birokrasi tetap rasional dan administrasi pemerintahan berjalan optimal. ASN hanya boleh bertindak sesuai tujuan institusi. Sikap keberpihakan dianggap tidak rasional, tidak efisien, dan tidak relevan.
Namun, konsep rasionalitas ini dikritik oleh para pakar administrasi publik, seperti Ralph Hummel dan Robert Denhardt. Mereka menilai birokrasi seharusnya tidak memisahkan rasionalitas ekonomi dari politik.
Cornelis Lay, guru besar FISIP UGM, juga menyoroti dampaknya. Jargon netralitas sering kali membuat ASN apolitis. Dalam jangka panjang, ini justru menumbuhkan sikap apatis dan mengurangi kepedulian terhadap politik, padahal politik berdampak langsung pada nilai publik.
Pada akhirnya, posisi ASN menjadi rapuh. Kanti mencatat, bahwa situasi ini membuat ASN mudah dimanipulasi oleh jaringan kekuasaan. ASN yang dianggap tak sejalan dengan kepentingan politik pimpinan bisa saja ditelantarkan begitu saja.
Kalau sebuah negara ingin merdeka sesungguhnya, sebuah negara ingin sejahtera maka harus punya kekuatan untuk melindungi diri,"
Mereka bahkan sampai menyanyikan mars TNI diringi tepukan tangan dari para komandan satuan.
Instruksi efisiensi anggaran yang diberikan Presiden RI Prabowo Subianto ternyata sudah dilakukan PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk.
Kritik terhadap beberapa kebijakan, respons publik yang beragam, serta dinamika politik di dalam negeri menjadi ujian awal bagi duet kepemimpinan ini.
Tak jarang Prabowo kerap tampil bak pahlawan dalam menganulir keputusan para pembantunya dalam penerapan kebijakan yang dinilai memberatkan masyarakat.
Ketegasan Prabowo dalam menyampaikan reshuffle kabinet tidak cukup, sejumlah pihak mendesak pemangkasan kementerian/lembaga.
Temuan Migrant CARE, beberapa kasus pembunuhan terhadap PMI perempuan disertai dengan pemerkosaan yang brutal oleh Polisi Diraja Malaysia.
Maraknya kasus pembunuhan berbasis gender bukanlah suatu hal yang baru.
Hukuman mati tidak membuat Indonesia menjadi lebih aman dan mewujudkan penegakan hukum karena tidak melindungi siapa pun, kata Usman.
Tahun 2025, BRIN seharusnya menerima anggaran Rp5,842 triliun.
Politik semakin menjadi panglima di segala bidang, kata Jimly.