Jalur Gelap ke Negeri Jiran: Kisah Pilu dan Bahaya Mengintai PMI Ilegal di Malaysia
Home > Detail

Jalur Gelap ke Negeri Jiran: Kisah Pilu dan Bahaya Mengintai PMI Ilegal di Malaysia

Erick Tanjung

Jum'at, 07 Februari 2025 | 09:06 WIB

Suara.com - Warga Indonesia bertaruh nasib bekerja di Malaysia meski tanpa dokumen resmi. Dikenal dengan istilah pekerja kosong hingga pulang melalui jalur gelap.

LANGIT hampir gelap. Magrib sebentar lagi tiba ketika mesin perahu kayu itu mendadak mati di tengah perairan Selat Malaka.

“Daratan sama sekali tidak kelihatan,” kata R mengenang peristiwa 2019 lalu itu kepada Suara.com, Selasa, 4 Februari 2025.

“Awak perahu mengaku kehabisan bensin.”

Ada sekitar 30 orang dalam perahu; anak-anak, perempuan, dan laki-laki dewasa. Semuanya warga Indonesia yang bekerja tanpa dokumen resmi di Malaysia, dan memilih jalur gelap untuk pulang ke Indonesia.

Perahu itu tanpa atap. Penumpang dibakar terik matahari. Situasinya padat sehingga tak cukup tempat buat merebahkan badan. Untung tak hujan saat perjalanan itu.

Panik mulai melanda seisi perahu. Beberapa penumpang berzikir. Mereka terus menguras air yang masuk agar perahu tak karam.

Di tengah situasi genting itu, awak perahu minta Rp300 ribu kepada penumpang yang ingin pindah ke perahu kecil yang datang kemudian. Menurut R, belakangan tiga perahu kecil memang tiba, seakan mengantar bensin dan menjemput mereka yang bayar.

“Mati mesin itu berlangsung sekitar 2,5 jam. Sampai malam, kondisi sudah berubah jadi gelap, baru perahu kecil tiba,” kata R.

TNI AL dan Polair amankan satu kapal pengangkut TKI Ilegal di Tanjung Balai Asahan. [Medanheadlines.com]
Kapal mengangkut pekerja migran ilegal di Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara. [Dok. Medanheadlines.com]

Mereka yang membayar Rp300 ribu dipindahkan ke perahu kecil. Perjalanan berlanjut menuju Pulau Sumatra. Namun, penumpang yang lain juga diminta uang Rp150 ribu meski tak pindah.

“Alasan untuk beli bensin,” katanya. Karena itu, R tak percaya mesin perahu itu habis bensin.

Dari daratan Malaysia, perjalanan memakan waktu 12 jam hingga R mendarat di kawasan Batubara, Sumatra Utara.

“Kalau disuruh ulang, tidak mau lagi,” katanya.

Berpindah-pindah Perahu di Laut

R bekerja di Malaysia tanpa dokumen resmi selama tujuh tahun sejak 2013. Pada 2019, ia memutuskan pulang ke Indonesia melalui jalur gelap. Ia mengenal agen perjalanan dari temannya yang juga orang Indonesia.

Pertemuan pertama mereka di Kilang, Malaysia.

"Kami bicarakan ongkosnya, ketika itu 1.300 ringgit," ujar R.

Keesokan harinya, R kembali menemui agen tersebut. Dengan mobil, ia bersama beberapa orang dibawa ke dekat pantai di Perak. Mereka ditempatkan di penampungan berupa dua rumah yang jauh dari permukiman.

Di rumah itu, R tinggal selama lima hari. Penjaga menyediakan makanan. Namun, mereka tidak memberikan kepastian kapan berangkat. Setiap kali ditanyakan, alasannya selalu sama: menunggu perahu tiba.

"Selama belum cukup orang, mereka mencari berbagai alasan," katanya. Selama menanti, jumlah penumpang terus bertambah.

Akhirnya, malam keberangkatan pun tiba. Mereka berjalan kaki beberapa kilometer menuju pantai, dan berhenti di sebuah bangunan dekat laut.

Di sana, mereka dilarang menyalakan sesuatu yang menimbulkan cahaya, termasuk ponsel.

“Kalau mau merokok pun harus bersembunyi, agar terhindar dari patroli,” ujarnya.

Sekitar pukul 02.00 dini hari, mereka satu per satu dinaikkan ke speedboat yang memuat sekitar 10 orang. Dalam perjalanan, mereka harus tiarap saat melihat cahaya lampu seperti kapal patroli maritim Malaysia.

Setelah hampir sejam perjalanan mengarah ke tengah laut, mereka bertemu perahu kayu. Menurut R, bentuknya seperti perahu yang kerap dipakai nelayan melaut. Ukurannya hanya dapat menampung sekitar 30-an orang. Mereka pun pindah ke perahu itu.

Dengan perahu itu, mereka semakin jauh ke tengah laut. Setelah sejam mengarungi Selat Malaka, saat matahari hampir terbit, mereka dialihkan lagi ke perahu lain. Bentuk dan ukurannya sama.

Lantaran terus terombang-ambing ombak, posisi dua perahu itu terpisah sekitar satu meter. Tanpa penghubung, penumpang melompat untuk berpindah perahu.

“Tunggu tenang air, lalu lompat. Ada yang tasnya jatuh ke laut,” kata R.

Tiba di Batubara

Pukul sebelas malam, perahu mendekati daratan Batubara, Provinsi Sumatra Utara. Lampu perahu dimatikan. Penumpang diminta turun meski perahu belum merapat ke pantai.

“Kami disuruh turun ke laut, tinggi air sekitar dada orang dewasa. Boat tidak bisa mendekat ke pantai,” kata R.

Dalam perjalanan menuju pantai, R turut membantu seorang perempuan tua yang sulit melangkah di air. Ia menggendongnya, tapi mereka sampai dua kali terjatuh sebelum dibantu penumpang lain.

Daratan yang mereka tuju adalah rawa-rawa. Ditumbuhi semak belukar. Sejumlah orang sudah menunggu di sana.

“Kami disuruh kumpul,” katanya.

Mereka lantas dibawa ke sebuah bangunan dekat pantai, dan kembali diminta uang dengan alasan jatah penjaga.

“Katanya bayar seikhlasnya,” kata R.

Suasana Unit Perdagangan Orang Ditreskrimum Polda Kepri, Minggu (6/6/2021) malam, saat petugas memintai keterangan salah satu TKI asal Lombok [Suarabatam.id/Nando]
Ilustrasi pekerja migran Indonesia yang masuk ke Malaysia secara ilegal. [Suarabatam.id/Nando]

Bangunan itu disebut R seperti kerap menampung mereka yang pulang melalui jalur gelap. Di dalamnya bahkan terdapat pedagang.

“Pukul satu malam, kami kabur dari tempat itu dengan alasan mau mandi. Sekitar 10 menit jalan kaki, baru bertemu jalan yang ada angkot. Kami kemudian naik angkot,” katanya.

Pekerja Kosong di Negeri Jiran

M lebih dari dua tahun bekerja di Malaysia. Ia semula pergi ke negeri jiran itu melalui jalur resmi sebagai wisatawan.

Tapi setiba di sana, ia langsung mencari kerja. Menjadi pelayan di toko kelontong hingga warung makan. Paspornya telah disita petugas Malaysia dalam sebuah razia. M beruntung karena ia tidak turut ditangkap karena sedang tidak berada di tempat.

Di kalangan WNI di Malaysia, pekerja tanpa dokumen resmi disebut sebagai "pekerja kosong." Istilah ini mencakup pekerja yang memiliki paspor tanpa izin kerja dan mereka yang tidak punya dokumen sama sekali.

Menurutnya, perlindungan bagi pekerja kosong hampir tidak ada.

“Kalau tidak ada dokumen, ketika ada masalah baru dapat perhatian kalau viral. Kalau tidak viral, tidak ada yang peduli,” kata M kepada Suara.com, Selasa, 4 Februari 2025.

Mereka yang menghadapi masalah juga takut mencari perlindungan karena status ilegal.

“Takut meluas ke masalah yang lain, karena kami sendiri di sini ilegal,” katanya.

Dalam situasi itu, kata dia, komunitas pekerja migran memainkan peran penting dalam mengatasi berbagai masalah yang mereka hadapi. Pengurus komunitas itu kemudian yang melobi kedutaan untuk pemulangan atau penyelesaian masalahnya.

“Biayanya donasi dari anggota komunitas. Di sini ada komunitas masing-masing daerah,” tuturnya.

Membawa masalah yang dihadapi pekerja kosong ke ranah hukum di Malaysia, bukan perkara mudah karena status mereka yang tidak memiliki dokumen.

“Orang kosong ini sudah takut sendiri,” katanya.

Meski demikian, menurut M, pengusaha Malaysia sering mempekerjakan warga Indonesia meski tanpa dokumen karena bayaran murah dan jam kerja tidak dibatasi.

Sebab, mempekerjakan warga setempat, mereka harus bayar gaji pokok minimal 1.500 ringgit sebulan dan waktu kerja 8 jam per hari.

“Lebih untung mempekerjakan warga asing,” katanya.

M menyadari menghadapi risiko besar jadi pekerja migran tanpa dokumen di Malaysia. Tapi menurutnya, risiko itu kecil kemungkinan terjadi. Selain itu, pekerjaan dan jumlah gaji yang diperoleh lebih baik dibanding di Indonesia.

Risiko itu misalnya dialami lima pekerja migran Indonesia nonprosedural yang ditembak anggota Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) di perairan Tanjung Rhu, Selangor, Malaysia, Jumat, 24 Januari 2025. Akibat insiden itu, empat orang terluka dan seorang meninggal.

Mereka ditembak diduga saat hendak keluar dari Malaysia secara ilegal. Wakil Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (Wamen P2MI) Christina Aryani mengecam dugaan penggunaan kekuatan berlebihan oleh APMM.

"KemenP2MI mendesak pemerintah Malaysia untuk segera mengusut peristiwa ini," katanya, Minggu (26/1).

Christina menyebut akan mendorong pertemuan dengan pemerintah Malaysia untuk membahas langkah pencegahan agar insiden serupa tidak terulang. Selain itu, juga akan dibahas mekanisme penanganan PMI nonprosedural secara manusiawi sesuai standar hak asasi manusia.

Presiden Prabowo Subianto membicarakan insiden ini saat bertemu Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim di Kuala Lumpur, pada Senin (27/1).

"Itu secara garis besar kita bicarakan," kata Prabowo, Kamis (30/1).

Prabowo berharap ada investigasi mengenai insiden itu. Dia mengingatkan masyarakat untuk tidak terlibat dalam kegiatan ilegal.

"Kalau nyelundup ke negara asing, risikonya negara asing akan bertindak. Jadi rakyat kita jangan mau dibohongi oleh sindikat-sindikat yang berjanji ini, berjanji itu," katanya.

“Ya kita waspada, kita ingatkan tapi kita juga yakin pihak Malaysia akan melaksanakan penyelidikan.”

Direktorat Jenderal Imigrasi Indonesia dalam siaran pers di laman resminya pada 8 Juni 2023 menyebut bahwa Pemerintah Malaysia mencatat 450.000 Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang terdata di Malaysia. Jumlah itu disebut berbeda dengan data 1,5 juta Pekerja Migran Indonesia yang dimiliki Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur.

Sementara laman Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) Indonesia pada 2023 menyebutkan bahwa di antara 2,7 juta PMI di Malaysia (Kementerian Luar Negeri/MOFA, 2020), hanya 1,6 juta pekerja yang melalui jalur reguler (Bank Indonesia dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia/BP2MI, 2020).

Adapun data Bank Indonesia dan BNP2TKI menyebut, 1,7 juta pekerja Indonesia berada di Malaysia pada 2024.

100 PMI Dibunuh di Malaysia

Koordinator Pengelolaan Pengetahuan, Data, dan Publikasi Migrant CARE Trisna Dwi Yuni Aresta mengatakan, penembakan di Tanjung Rhu adalah extra judicial killing atau pembunuhan yang tanpa proses peradilan yang dilakukan oleh Polisi Diraja Malaysia.

"Temuan data Migrant CARE mengungkapkan, dalam kurun waktu 2004-2025, ada sekitar 100 Pekerja Migran Indonesia dibunuh oleh otoritas Polisi Diraja Malaysia," kata Trisna kepada Suara.com, Rabu, 5 Februari 2025.

Jumlah kasus, kata dia, sebenarnya bisa jadi lebih banyak dari jumlah kasus yang berhasil dihimpun oleh Migrant CARE.

"Hampir keseluruhan pembunuhan ini tidak diselesaikan secara tuntas oleh Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia," katanya.

Banyaknya kasus pembunuhan ini, menurut Trisna, mengindikasikan Pemerintah Indonesia maupun Pemerintah Malaysia menormalisasi peristiwa itu. Migrant CARE menemukan satu pola pembunuhan yang dilakukan dengan memanfaatkan tempat-tempat yang sepi.

"Ini patut diduga sebagai pola yang digunakan agar tidak ada saksi yang melihat peristiwa pembunuhan yang dilakukan Polisi Diraja Malaysia," ujarnya.

Beberapa tempat yang kerap digunakan untuk membunuh PMI adalah di lepas pantai, sungai, maupun perkebunan. Temuan Migrant CARE, beberapa kasus pembunuhan terhadap PMI perempuan disertai pemerkosaan.

"Beberapa kasus lain juga memperlihatkan perempuan pekerja migran diperkosa secara brutal dan bergilir oleh Polisi Diraja Malaysia yang bejat," katanya.

Diskriminasi Perlindungan PMI Nonprosedural

Trisna menyebut pemerintah tak melakukan perlindungan yang memadai pada PMI nonprosedural, dan ada diskriminasi perlindungan berdasarkan jenis imigrasinya.

Kasus yang berulang sampai pada angka 100 orang meninggal ditembak, menurut Trisna, menunjukkan adanya normalisasi, ketidakpedulian sekaligus mencederai marwah Indonesia di muka Internasional yang tidak mampu memberikan perlindungan bagi warga negaranya.

Insiden di Tanjung Rhu, menurut Trisna, menjadi momentum pemerintah untuk berbenah diri, khususnya Kementerian Pelindungan Pekerja Migran.

"Melalui adanya kasus ini dan rentetan kasus perlindungan PMI yang masih kabur, KP2MI harus segera membatalkan targetnya mengirimkan 425.000 PMI," ujarnya.

Lalu mengapa masih banyak warga Indonesia bekerja di Malaysia meski tanpa dokumen resmi, seperti yang dilakukan M dan R?

Trisna melihat hal itu sebagai masalah struktural tata kelola migrasi Indonesia. Selain itu, Indonesia juga mengalami kegagalan mengelola wilayah perbatasan.

"Sehingga banyak dimanfaatkan oleh oknum untuk melakukan perdagangan orang ke wilayah Malaysia ataupun negara lainnya," katanya.

Trisna menambahkan bahwa Malaysia juga mempunyai standar ganda dalam memperlakukan PMI. Satu sisi PMI nonprosedural angkanya masih banyak karena masyarakat Malaysia membutuhkan kerja murah yang berasal dari Indonesia. Di sisi lain, hal itu dampak dari ketiadaan lapangan kerja dan kerja layak di Indonesia.

"Memaksa warga kita memilih bermigrasi untuk bekerja dengan jalur nonprosedural yang cepat dan mudah," kata Trisna.

__________________________________

Kontributor Aceh: Habil Razali


Terkait

Murka Gegara Gas LPG 3 Kg, Publik Minta Netizen Malaysia Klaim Bahlil Lahadalia: Gibran Bonusnya..
Rabu, 05 Februari 2025 | 10:46 WIB

Murka Gegara Gas LPG 3 Kg, Publik Minta Netizen Malaysia Klaim Bahlil Lahadalia: Gibran Bonusnya..

Karena kebijakannya ini, publik dengan candaan meminta netizen Malaysia untuk mengklaim Menteri ESDM tersebut.

Mendagri Malaysia: 5 WNI yang Ditembak Diduga Terlibat Jaringan Narkoba dan Senjata
Selasa, 04 Februari 2025 | 21:21 WIB

Mendagri Malaysia: 5 WNI yang Ditembak Diduga Terlibat Jaringan Narkoba dan Senjata

"Investigasi awal menemukan bahwa pria tersebut memiliki keterkaitan dengan kapal yang dikejar oleh APMM," jelas Saifuddin.

Adu Gaji PNS Indonesia vs Malaysia, Mana yang Lebih Besar?
Selasa, 04 Februari 2025 | 19:20 WIB

Adu Gaji PNS Indonesia vs Malaysia, Mana yang Lebih Besar?

PNS Malaysia mengalami kenaikan gaji 13 persen sejak Desember 2024. Keputusan itu diumumkan langsung oleh Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim.

Ole Romeny 4 Hari Lagi Sumpah WNI, Kapan Jairo Riedewald Menyusul?
Selasa, 04 Februari 2025 | 16:59 WIB

Ole Romeny 4 Hari Lagi Sumpah WNI, Kapan Jairo Riedewald Menyusul?

Selain itu bersama Ole Romeny ikut juga Dion Markx dan Tim Geypens buat ambil sumpah.

Terbaru
Femisida di Indonesia, Budaya Patriarki dan Negara yang Abai?
polemik

Femisida di Indonesia, Budaya Patriarki dan Negara yang Abai?

Kamis, 06 Februari 2025 | 21:08 WIB

Maraknya kasus pembunuhan berbasis gender bukanlah suatu hal yang baru.

Hukuman Mati Tak Beri Efek Jera, Pemerintah Didesak Hapus Eksekusi polemik

Hukuman Mati Tak Beri Efek Jera, Pemerintah Didesak Hapus Eksekusi

Kamis, 06 Februari 2025 | 16:39 WIB

Hukuman mati tidak membuat Indonesia menjadi lebih aman dan mewujudkan penegakan hukum karena tidak melindungi siapa pun, kata Usman.

Efisiensi Anggaran di BRIN Sasar Gaji Hingga Tukin Pegawai: Bagaimana Dampaknya Bagi ASN Hingga Iklim Riset? polemik

Efisiensi Anggaran di BRIN Sasar Gaji Hingga Tukin Pegawai: Bagaimana Dampaknya Bagi ASN Hingga Iklim Riset?

Kamis, 06 Februari 2025 | 13:43 WIB

Tahun 2025, BRIN seharusnya menerima anggaran Rp5,842 triliun.

Kebablasan! DPR Tambah Wewenang Copot Pejabat Negara, Politik Makin Jadi Panglima polemik

Kebablasan! DPR Tambah Wewenang Copot Pejabat Negara, Politik Makin Jadi Panglima

Kamis, 06 Februari 2025 | 08:26 WIB

Politik semakin menjadi panglima di segala bidang, kata Jimly.

Efisiensi Anggaran Prabowo Hambat Pelayanan Keadilan dan Pemenuhan Hak Masyarakat polemik

Efisiensi Anggaran Prabowo Hambat Pelayanan Keadilan dan Pemenuhan Hak Masyarakat

Rabu, 05 Februari 2025 | 20:21 WIB

"Dengan pemotongan ini Ombudsman otomatis tidak bisa lagi melayani masyarakat dalam konteks penyelesaian laporan masyarakat, maupun pencegahan maladministrasi," kata Najih.

Sengkarut Distribusi LPG Bersubsidi: Mengapa Menghilangkan Pengecer Tak Selesaikan Masalah? polemik

Sengkarut Distribusi LPG Bersubsidi: Mengapa Menghilangkan Pengecer Tak Selesaikan Masalah?

Rabu, 05 Februari 2025 | 14:37 WIB

Dampaknya nyata. Antrean panjang terjadi di banyak pangkalan resmi.

Bayang Ancaman Putus Sekolah di Balik Syarat Baru Penerima KJP Plus: Mengapa Merugikan Kelompok Miskin? polemik

Bayang Ancaman Putus Sekolah di Balik Syarat Baru Penerima KJP Plus: Mengapa Merugikan Kelompok Miskin?

Rabu, 05 Februari 2025 | 08:11 WIB

Kebijakan ini menuai kritik. Mengapa demikian?