Suara.com - Sejumlah kasus tragis pembunuhan terhadap perempuan mewarnai awal tahun 2025. Beberapa di antaranya mengarah pada femisida atau kejahatan berbasis gender.
Sebut saja kasus mutilasi yang menggegerkan publik pada 23 Januari 2024 lalu. Potongan tubuh seorang perempuan ditemukan dalam koper di tempat pembuangan sampa di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Belakangan diketahui korban adalah seorang perempuan bernama Uswatun Khasanah berusia 29 tahun.
Sementara pelaku, Rohmat Tri Hartanto alias Antok (32) yang tak lain adalah kekasih korban. Antok tega memutilasi tubuh korban menjadi tiga bagian dilatarbelakangi rasa cemburu.
Ayuni Sarah seorang perempuan berusia 35 tahun ditemukan dalam kondisi tak bernyawa di dalam drum terkubur di Bener Meriah, Aceh pada 30 Januari lalu.
Pelakunya, Edi Andani (31) suami dari korban. Pembunuhan terjadi usai antara pelaku dan korban terlibat cekcok di sebuah kebun kopi. Pelaku membunuh korban dengan menghantam bagian kepala hingga meninggal dunia.
Kasus lainnya, A, seorang bocah perempuan berusia 4 tahun ditemukan meninggal dunia di kawasan hutan yang berada di Kampung Intu Lingau, Kabupaten Kutai Barat pada 30 Januari.
Sebelum ditemukan dalam kondisi tak bernyawa korban sempat dikabarkan hilang. Belakangan diketahui korban diperkosa, sebelum dibunuh. Pelaku merupakan seorang pria bernama Maliki. Dia mengiming-imingi korban membeli es.
Maraknya kasus pembunuhan berbasis gender bukanlah suatu hal yang baru.
Berdasarkan pemantauan pemberitaan yang dilakukan Komnas Perempuan pada periode 1 Oktober 2023 hingga 31 Oktober 2024 menjaring 33.225 berita dan menemukan 290 kasus dengan indikasi femisida.
Dari sejumlah kasus itu di antaranya jenis femisida intim masih menempati posisi tertinggi.
Data Komnas HAM pada 2023 setidaknya menunjukkan terdapat 71 kasus femisida intim atau pembunuhan yang dilakukan oleh suami terhadap istri.
Kemudian 47 kasus femisida yang dilakukan oleh pacar, oleh anggota keluarga 29 kasus, dan penggunaan layanan seksual 16 kasus.
Para korban biasanya dianiaya atau dibunuh dengan menggunakan benda-benda seperti seperti batu, bambu, palu,balok, kain, sabuk atau tali.
Komnas Perempuan mengemukakan ciri khas femisida, yakni tubuh atau organ seksual yang dirusak, penelanjangan, mutilasi, kekerasan seksual sebelum,selama dan sesudah kematian, disembunyikan sampai dengan dibakar.
Tinggi Secara Global
Tingginya kasus femisida bukan hanya terjadi di Indonesia. Pegiat Hak Perempuan Anindya Joediono menyebut secara global angkanya pun masih tinggi.
Di Indonesia, berulangnya kasus kejahatan berbasis gender disebut Vivi-sapaan akrab Anindya-karena masih kentalnya budaya patriarki.
"Maka dari itu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang didasari rasa benci terhadap perempuan seperti seksisme dan misogini, serta kekerasan-kekerasan lainnya, ini dianggap hal yang biasa atau normal atau bahasanya diwajarkan," kata Vivi kepada Suara.com.
Dia mencontohkan bentuk pelecehan seksual yang masih dinormalisasi, seperti cat calling terhadap perempuan.
Perbuatan-perbuatan itu secara umum dianggap biasa saja, tetapi jika terus menurus dibiarkan, maka akan mengarah pada tindakan yang lebih para, yakni femisida.
Dalam konteks femisida hubungan intim juga disebabkan normalisasi kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT.
Normalisasi ini semakin diperparah lagi jika pelaku memiliki latar belakang pernah melakukan kekerasan dan pelecahan seksual atau merendahkan perempuan.
"Jadi mindset patriarki, seksis dan misoginis inilah yang masih sangat kuat yang menyebabkan kekerasan ini masih marak terjadi. Jadi ada pattern eskalasi itu sendiri," ungkap Vivi.
Selain karena kentalnya budaya patriarki, negara masih abai menanggapi kejahatan berbasis gender. Sebab, kata Vivi, tidak terdapat bentuk-bentuk pencegahan yang komperhensif.
Padahal dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan tegas mengamanatkan pentingnya pencegahan.
Berdasarkan pemantauan Jakarta Feminist pada 2023, terdapat 180 kasus kekerasan terhadap perempuan, dan 37 persen kasusnya pembunuhnya adalah pasangan intim dari korban.
Sayangnya dari sejumlah kasus tersebut, dalam putusan pengadilan tidak ada yang menggunakan pasal dalam UU TPKS. Padahal jika UU TPKS diimplementasikan dengan baik, terdapat upaya pencegahan yang dapat dilakukan.
"Kan itu ada konteks pencegahan, yang memberikan edukasi kepada masyarakat termasuk aparat penegak hukum sehingga mindset yang patriarki itu bisa diluruskan," jelas Vivi.
Masih terabaikannya kasus femisida, juga tergambar dalam pendataan kasus kejahatan atau pembunuhan di pengadilan.
Dari seluruh putusan yang ada, pengadilan tidak memisahkan kasus kejahatan terhadap perempuan dan laki-laki.
Pendataan kasus femisida umumnya hanya dilakukan oleh Komnas Perempuan dan kelompok masyarakat seperti Jakarta Feminist.
Pendataan Kasus
Vivi mengemukakan pendataan oleh negara mengenai kasus-kasus femisida sangat penting. Sebab, berangkat dari data bisa dilakukan upaya pencegahan.
Selain itu, dari data juga, setidaknya bisa mengetahui motif dan jenis kekerasan terhadap perempuan. Dengan demikian dapat dipetakan upaya pencegahan femisida agar tidak terus berulang.
Sejatinya Indonesia sudah meratifikasi The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Dalam konvensi tersebut negara peserta diwajibkan mendata jenis-jenis kekerasan terhadap perempuan.
Maka langkah yang pertama yang penting dilakukan oleh pemerintah agar kasus femisida dapat dicegah, yakni dengan melakukan pendataan.
Selain itu, harus ada danger assessment tool atau alat yang digunakan untuk menilai risiko seorang perempuan dalam bahaya.
Sistem itu harus bisa diakses dengan mudah oleh setiap perempuan. Misalnya, ketika perempuan melapor menjadi korban KDRT dapat ditangani secara komperhensif, dengan tidak meminta pulang atau mala mendamaikannya.
Tak kalah penting, ditegaskan Vivi, femisida harus dipandang sebagai kejahatan luar biasa. Tidak bisa disamakan dengan kejahatan lainnya.
"Sebab ada unsur kebencian berbasis gender dan seksual, yang membuat nature dari femisida ini memang lebih berat daripada pembunuhan lainnya," kata Vivi.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan, dari puluhan ribu kasus ini, 12.374 kasus atau sekitar 52,2 persen telah diselesaikan.
Seorang istri dibakar suami yang berstatus anggota TNI di depan anak mereka yang masih berusia empat tahun.
Perempuan sebagai ibu dan istri kerap menghadapi tantangan. Di tengah kondisi ekonomi atau aktualisasi diri, mereka harus memilih hingga menyeimbangkan keluarga & rumah tangga
"Yg jelas sih kedatangan kami di sini meminta atensi," timpal Teh Novi dalam kesempatan yang sama.
Hukuman mati tidak membuat Indonesia menjadi lebih aman dan mewujudkan penegakan hukum karena tidak melindungi siapa pun, kata Usman.
Tahun 2025, BRIN seharusnya menerima anggaran Rp5,842 triliun.
Politik semakin menjadi panglima di segala bidang, kata Jimly.
"Dengan pemotongan ini Ombudsman otomatis tidak bisa lagi melayani masyarakat dalam konteks penyelesaian laporan masyarakat, maupun pencegahan maladministrasi," kata Najih.
Dampaknya nyata. Antrean panjang terjadi di banyak pangkalan resmi.
Kebijakan ini menuai kritik. Mengapa demikian?
Kebijakan ini menuai kritik. Mengapa demikian?