Suara.com - Seorang pria, berinisial C menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT yang diduga dilakukan istrinya. Kejadian ini pun terungkap setelah korban yang merupakan aparatur sipil negara (ASN) salah satu instansi pemerintah di Bandung Barat tidak masuk kerja.
Pegawai negeri itu tidak masuk kerja sejak 8 Desember 2024, tanpa ada kabar. Rekan kerjanya yang khawatir akhirnya berinisiatif membuka file dalam komputer yang biasa digunakan korban. Di sana ditemukan pesan yang mengindikasikan kondisi C dalam kondisi terintimidasi.
Berangkat dari temuan itu, sejumlah rekan kerja dan keluarga korban menemui C dikediamannya. Saat dijumpai wajah korban dipenuhi luka lebam.
Pada 15 Januari 2025, atas dukungan keluarga, C akhirnya membuat laporan ke Polsek Ciparay, Jawa Barat. Namun tiga setelah itu C mencabut laporannya. Dia mengaku berbuat salah terhadap istrinya sehingga terjadi kekerasan. Kekinian C telah mulai kembali masuk kerja.
Kesaksian dari saudara korban yang diunggah di media sosial, sebelum terjadi kasus KDRT mereka menemukan sejumlah kejanggalan. Disebutkan korban memutus komunikasi dengan keluarganya setelah menikah. Korban pun merahasiakan tempat tinggalnya dari keluarga besarnya.
Kasus yang menimpa C ini viral media sosial. Banyak yang mempertanyakan bagaimana pria bisa menjadi korban KDRT.
Komisioner Komnas Perempuan Veryanto Sitohang mengatakan bahwa semua orang bisa menjadi korban KDRT tanpa memandang jenis kelaminnya.
Berdasarkan laporan Komnas Perempuan, pada 2020 setidaknya 10 persen korban KDRT adalah laki-laki. Korban tidak hanya suami, melainkan ada paman, kakek, dan anak laki-laki dalam keluarga. Sedangkan 90 persen sisanya adalah korban perempuan.
Munculnya pertanyaan masyarakat soal pria yang menjadi korban KDRT karena budaya patriarki yang masih kental di Indonesia. Dalam budaya patriarki, pria dalam rumah tangga atau lingkungan sosial memiliki posisi yang tidak setara dengan perempuan. Posisi laki-laki pada umumnya lebih dominan dan berpengaruh ketimbang perempuan.
"Laki-laki dianggap sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab atas keluarga maka (dianggap) tidak mungkin jadi korban," kata Veryanto kepada Suara.com, Selasa (28/1/2024).
Terkait kasus yang menimpa C, Veryanto menekankan penting untuk mendalami penyebab yang melatar belakangi kekerasan terjadi. Berdasarkan data pengaduan yang diterima Komnas Perempuan, rata-rata penyebab kekerasan yang dilakukan seorang istri terhadap suami adalah sebagai bentuk perlawanan atas kekerasan yang yang dialami secara terus menerus.
Karena itu, dalam penanganan kasus ini Komnas Perempuan meminta agar pihak kepolisian menggunakan pendekatan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
"Termasuk apakah menggunakan delik aduan atau atau delik biasa. Sehingga ketika korban mencabut laporan, kepolisian dapat menentukan proses penanganan kasus tersebut," ujar Veryanto.
Pemicu Pria Menjadi Korban KDRT?
Terlepas dari apa penyebab pasti KDRT yang dialami C, sebuah penelitian dari Universitas Airlangga mengungkap pemicu pria bisa menjadi korban KDRT. Penelitian berjudul "Laki-laki korban kekerasan dalam rumah tangga di kalangan keluarga profesional: Terbelenggu dalam maskulinitas" ini ditulis oleh Siti Mas'udah pada 2024.
Penelitian dilaksanakan menggunakan metode kualitatif dengan mewawancarai 53 informan, termasuk pria yang diidentifikasi sebagai korban, dan perempuan sebagai pelaku.
Terungkap beberapa pemicu, di antaranya karena ingin mendapatkan rasa aman. Dalam penelitian ini ditemukan istri melakukan kekerasan kepada suaminya karena rasa takut kehilangan atau ditinggalkan. Kekerasan menjadi alat agar pasangannya tetap berada dalam genggamannya sehingga menciptakan rasa aman.
Pemicu lainnya, karena ketimpangan status sosial ekonomi. Pendidikan dan pekerjaan suami yang lebih tinggi dapat menjadi ancaman bagi istri. Sebab, istri tidak mampu melampaui pasangannya, hingga kecemburuan muncul yang berujung dengan kekerasan.
Pemicu selanjutnya, karena kecemburuan dengan status pendidikan tinggi dan posisi yang lebih mapan, muncul kecemburuan istri. Suami dikhawatirkan berselingkuh dengan perempuan lain atau rekan kerjanya. Kekerasan kemudian dianggap sebagai alat mengontrol dengan harapan suami tunduk kepada istri.
Saat suami mengalami KDRT, pada umumnya korban lebih memilih untuk diam. Sebab dalam penelitian ini disebutkan, maskulinitas membuat pria korban kekerasan mengalami penindasan beberapa kali. Pertama menjadi korban kekerasan. Kedua, ada perasaan malu dengan stigma negatif dari masyarakat karena dianggap gagal dan tidak mampu memimpin keluarga. Kemudian, mendapatkan stigma karena dianggap 'tidak normal' bagi pria yang menjadi korban kekerasan.
Kabar Jonathan Frizzy sudah melamar Ririn Dwi Ariyanti mendadak menyeruak di media sosial.
Peristiwa ini memicu emosi masyarakat, terutama karena pelaku adalah anak ASN Kementerian Pertahanan
Pria kelahiran 5 Maret 1964 ini memiliki rekam jejak mumpuni sebagai seorang pemain dan pelatih.
Yoni Dores dan Ahmad Dhani sama-sama memperjuangkan hak cipta, tetapi kasus Lesti Kejora lebih mirip Via Vallen di masa lalu.
Israel tak hanya harus mengakui kemerdekaan Palestina secara penuh, tetapi juga harus bertanggung jawab atas genosida yang selama ini dilakukan terhadap rakyat Palestina.
Presiden adalah satu-satunya otoritas yang dapat melakukan reformasi menyeluruh dalam tata kelola anggaran pendidikan, kata Ubaid.
"Kriminalisasi terhadap pelapor dugaan korupsi di Baznas menunjukkan kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Wana.
"Kebijakan jam malam bagi pelajar perlu manajemen pengawasan yang baik. Tanpa itu, kebijakan tersebut hanya akan terdengar baik di atas kertas," ujar Rakhmat.
"Rumah susun itu adalah cara yang paling prinsip untuk merubah Jakarta menjadi lebih tertata terkait dengan penduduk dan pemukiman," kata Yayat.
No free lunch. Pasti akan ada yang dikorbankan untuk mendapatkan bantuan tersebut, mulai dari politik hingga sumber daya alam, ungkap Huda.