Kampus Kelola Bisnis Tambang, Mercusuar Ilmu atau Menara Asap?
Home > Detail

Kampus Kelola Bisnis Tambang, Mercusuar Ilmu atau Menara Asap?

Chandra Iswinarno | Yaumal Asri Adi Hutasuhut

Rabu, 22 Januari 2025 | 08:10 WIB

Suara.com - Obral konsesi tambang kembali berlanjut. Setelah organisasi masyarakat keagamaan, kekinian perguruan tinggi diusulkan untuk mendapatkan lahan pertambangan.

Usulan ini dipertanyakan urgensinya, sebab akan membuat kampus semakin jauh dari misi Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.

Rencana itu tertuang dalam Pasal 51 huruf A pada revisi keempat Undang-undang Mineral dan Batubara (Minerba) yang menyebutkan wilayah izin usaha pertambangan bagi perguruan tinggi diberikan secara prioritas.

Sedangkan untuk mendapatkan izin pertambangan, ada sejumlah pertimbangan di antaranya terkait Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral logam, perguruan tinggi harus minimal harus terakreditasi B, dan mempertimbangkan peningkatan akses serta layanan pendidikan masyarakat.

Penyusunan RUU Minerba ini sudah disepakati seluruh fraksi menjadi usulan inisiatif DPR pada Senin (20/1/2025) lalu.

Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat atau Baleg DPR, Bob Hasan membeberkan alasan pemberian izin pertambangan kepada perguruan tinggi.

Ia mengemukakan, pemerintah berkeinginan agar sumber daya alam bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat, termasuk perguruan tinggi. Selain itu, pemberian izin pertambangan diharapkan dapat meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan.

Sementara Wakil Ketua Baleg DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengklaim pemberian izin tambang kepada perguruan tinggi sebagai bentuk keperpihakan negara kepada masyarakat.

Sekaligus katanya, bagian dari Pasal 33 dan UUD 1945 yang menyatakan pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat.

"Keterlibatan masyarakat untuk mendapatkan affirmative action dalam pengelolaan sumber daya alam itu melalui Ormas, melalui perguruan tinggi, melalui badan-badan usaha UKM dan segala macam. Itu yang sebetulnya titik tekan dari revisi undang-undang ini," kata Doli pada Senin (21/1/2024) lalu.

Wakil Ketua Baleg DPR RI Ahmad Doli Kurnia. (Suara.com/Bagaskara)
Wakil Ketua Baleg DPR RI Ahmad Doli Kurnia. (Suara.com/Bagaskara)

Meski disebut sebagai usulan inisiatif DPR, sejumlah anggota legislatif tetap mengkritik pemberian izin tambang tersebut.

Anggota Baleg DPR Fraksi PDIP Andreas Hugo Pariera, misalnya, mempertanyakan tujuan tersebut. Ditegaskannya fungsi dari perguruan tinggi adalah pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Ia khawatir, pemberian konsesi tambang bertentangan dengan peraturan terkait perguruan tinggi. Untuk itu dia meminta agar Baleg DPR segera membahasnya dengan perwakilan masyarakat sipil seperti ahli, dan akademisi.

Senada dengan Pariera, Anggota Baleg Fraksi Golkar, Umbu Kabunang turut mengkritisinya. Menurutnya, apabila pemerintah berkeinginan meningkatkan pendidikan masyarakat, bukan dengan memberikan perizinan tambang ke perguruan tinggi. Hal itu dapat dilakukan dengan memberikan bantuan dana langsung kepada universitas.

Bukan Ranah Kampus

Merespons wacana tersebut, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Prof Fathul Wahid menegaskan bahwa bukan ranah perguruan tinggi mengelola bisnis pertambangan.

"Kalau saya ditanya, UII ditanya, jawabannya termasuk yang tidak setuju, karena kampus wilayahnya tidak di situ," ujarnya seperti dilansir Antara.

Menurutnya, akan jauh lebih baik apabila perguruan tinggi tidak terlibat dalam pengelolaan tambang.

Sebab, perguruan tinggi harus tetap fokus pada misi utamanya yang tertuang dalam Tri Dharma Peguruaan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, tanpa cawe-cawe masuk dalam bisnis tambang.

"Hilirisasi bisa ditangani oleh pihak yang lain terkait dengan pertambangan," tegasnya.

Keterlibatan perguruan tinggi dalam bisnis tambang, menurut Fathul akan menggerus sensitivitas terhadap persoalan lingkungan dan peran kampus sebagai kekuatan moral.

Apalagi, banyak laporan lembaga independen yang menunjukkan kontribusi besar usaha pertambangan terhadap kerusakan lingkungan.

"Saya khawatir juga bahwa ketika kampus masuk di sana, itu menjadi tidak sensitif karena logika bisnisnya menjadi dominan karena uang itu biasanya agak menghipnotis. Kalau itu sampai terjadi akan berbahaya," kata dia.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Sekjen Kemendiktisaintek) Togar M Simatupang menyatakan bahwa usulan tersebut harus dikaji lebih dalam.

"Apakah dampaknya positif negatif terhadap perguruan tinggi? Bagaimana visi-misi perguruan tinggi? Sampai kepada nanti persoalan-persoalan yang berkaitan dengan sumber daya," ujarnya kepada awak media, Selasa (21/1/2025).

"Dosennya mau dikemanakan, apakah nanti akan terjadi model bisnis yang baru dan sebagainya," ujarnya.

Dalam menyikapi hal tersebut, Togar meyakini bahwa pemerintah akan bijaksana dalam mengambil keputusan akhir revisi RUU Minerba.

"Kalau nanti terjadi sesuatu yang manfaatnya lebih banyak daripada mudaratnya, tentu akan didukung oleh masyarakat termasuk oleh anggota dewan. Tapi kalau itu nanti lebih banyak mudaratnya, saya rasa pemerintah juga bijaksana dalam hal ini," katanya.

 Sekjen Kemendiktisaintek Togar M Simatupang. [Suara.com/Lilis Varwati]
Sekjen Kemendiktisaintek Togar M Simatupang. [Suara.com/Lilis Varwati]

Sementara itu, Jaringan Advokasi Tambang atau Jatam dengan tegas menolak pemberian perizinan tambang kepada perguruan tinggi.

Juru kampanye Jatam Alfarhat Kasman menyatakan, usulan merupakan upaya untuk melegitimasi bahwa pertambangan tidak memberikan dampak yang buruk.

Apalagi dalam catatan Jatam, 34 dari 48 menteri di kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran terafiliasi dengan bisnis baik langsung atau tidak langsung. Dari 34 menteri, 15 orang di antaranya terafiliasi dengan bisnis ekstraktif.

Mereka di antaranya, Airlangga Hartarto, Bahlil Lahadalia, Roslan Roeslani, Erick Thohir, hingga Widiyanti Putri Wardhana yang merupakan istri dari Wisnu Wardhana. Selain itu, ada juga nama Sjafrie Sjamsoeddin sebagai Menteri Pertahanan yang adiknya pernah menjabat sebagai Presiden Direktur Freeport Indonesia.

Tak hanya itu, Alfarhat menilai, apabila perguruan tinggi mendapat konsesi tersebut akan membuat kampus menjadi tidak kritis terhadap kekuasaan dan Kajian-kajian terkait pertambangan akan mudah dikendalikan untuk kepentingan tambang.

"Secara tidak langsung mereka akan menegasikan perlawanan-perlawanan warga yang selama ini berjuang untuk melawan pertambangan di Indonesia," kata Farhat kepada Suara.com, Selasa (21/1/2024).

Sementara dari sudut pandang sosial kemasyarakatan, potensi benturan antara kampus dengan masyarakat bakal terjadi. Hal tersebut berkaca pada banyaknya kasus konflik antara masyarakat dengan perusahaan tambang, karena lahan yang diklaim, atau karena dampak pertambangan mengganggu aktivis sosial.

Berdasarkan data yang dimiliki Jatam, konflik antara masyarakat dengan perusahaan tambang sepanjang 2014-2019 mencapai 116 konflik.

Kemudian di tahun 2020 tercatat ada 45 kasus konflik pertambangan, dengan rincian perusakan lingkungan 22 kasus, perampasan lahan 13 kasus, kriminalisasi warga penolak tambang 8 kasus, dan pemutusan hubungan kerja 2 kasus. Dari sejumlah konflik yang terjadi, 13 di antaranya melibatkan TNI dan Polisi.

"Itu yang menjadi soal kenapa kampus itu harus menolak pemberian konsesi yang diberikan oleh negara," tegasnya.


Terkait

Membongkar Nama-nama Besar di Balik Skandal Pagar Laut: Mengapa Pemerintah Terkesan Lambat?
Selasa, 21 Januari 2025 | 20:05 WIB

Membongkar Nama-nama Besar di Balik Skandal Pagar Laut: Mengapa Pemerintah Terkesan Lambat?

Trenggono melaporkan kepada Prabowo bahwa pemasangan pagar laut tersebut dilakukan tanpa izin resmi.

Polemik Pembongkaran Pagar Laut di Tangerang: Tumpang Tindih Koordinasi Demi Selamatkan Muka Pemerintah
Selasa, 21 Januari 2025 | 16:00 WIB

Polemik Pembongkaran Pagar Laut di Tangerang: Tumpang Tindih Koordinasi Demi Selamatkan Muka Pemerintah

Pembongkaran melibatkan 600 personel, termasuk anggota TNI AL dan nelayan. Menurut TNI AL, aksi ini dilakukan atas perintah Presiden Prabowo Subianto.

Membongkar Sesat Pikir Warganet Memandang Kasus Guru Perempuan Perkosa Siswa di Grobogan: Mengapa Korban Bungkam?
Rabu, 15 Januari 2025 | 08:00 WIB

Membongkar Sesat Pikir Warganet Memandang Kasus Guru Perempuan Perkosa Siswa di Grobogan: Mengapa Korban Bungkam?

Di Indonesia, kekerasan seksual terhadap laki-laki masih dianggap remeh. Reaksi warganet terhadap kasus YS mencerminkan budaya toxic masculinity yang masih kuat.

Terbaru
Beda Gugatan Yoni Dores dan Ahmad Dhani, Kasus Via Vallen Bisa Jadi Pelajaran?
nonfiksi

Beda Gugatan Yoni Dores dan Ahmad Dhani, Kasus Via Vallen Bisa Jadi Pelajaran?

Sabtu, 31 Mei 2025 | 11:43 WIB

Yoni Dores dan Ahmad Dhani sama-sama memperjuangkan hak cipta, tetapi kasus Lesti Kejora lebih mirip Via Vallen di masa lalu.

Prabowo Buka Pintu untuk Israel Jika Akui Kemerdekaan Palestina: Diplomasi Realistis? polemik

Prabowo Buka Pintu untuk Israel Jika Akui Kemerdekaan Palestina: Diplomasi Realistis?

Jum'at, 30 Mei 2025 | 18:55 WIB

Israel tak hanya harus mengakui kemerdekaan Palestina secara penuh, tetapi juga harus bertanggung jawab atas genosida yang selama ini dilakukan terhadap rakyat Palestina.

Reformasi Anggaran: Tantangan di Balik Putusan Sekolah Gratis polemik

Reformasi Anggaran: Tantangan di Balik Putusan Sekolah Gratis

Jum'at, 30 Mei 2025 | 16:20 WIB

Presiden adalah satu-satunya otoritas yang dapat melakukan reformasi menyeluruh dalam tata kelola anggaran pendidikan, kata Ubaid.

Bongkar Korupsi Dana Zakat di Baznas Jabar, Whistleblower Malah Dikriminalisasi polemik

Bongkar Korupsi Dana Zakat di Baznas Jabar, Whistleblower Malah Dikriminalisasi

Rabu, 28 Mei 2025 | 20:51 WIB

"Kriminalisasi terhadap pelapor dugaan korupsi di Baznas menunjukkan kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Wana.

Kebijakan Jam Malam Pelajar di Jabar: Solusi atau Sekadar Simbolik? polemik

Kebijakan Jam Malam Pelajar di Jabar: Solusi atau Sekadar Simbolik?

Rabu, 28 Mei 2025 | 18:23 WIB

"Kebijakan jam malam bagi pelajar perlu manajemen pengawasan yang baik. Tanpa itu, kebijakan tersebut hanya akan terdengar baik di atas kertas," ujar Rakhmat.

Hunian Vertikal: Mimpi atau Bumerang Bagi Warga Jakarta? polemik

Hunian Vertikal: Mimpi atau Bumerang Bagi Warga Jakarta?

Rabu, 28 Mei 2025 | 15:35 WIB

"Rumah susun itu adalah cara yang paling prinsip untuk merubah Jakarta menjadi lebih tertata terkait dengan penduduk dan pemukiman," kata Yayat.

Bantuan China untuk MBG: Kadin Senang, Ekonom Khawatir 'No Free Lunch'! polemik

Bantuan China untuk MBG: Kadin Senang, Ekonom Khawatir 'No Free Lunch'!

Rabu, 28 Mei 2025 | 07:56 WIB

No free lunch. Pasti akan ada yang dikorbankan untuk mendapatkan bantuan tersebut, mulai dari politik hingga sumber daya alam, ungkap Huda.