Suara.com - Obral konsesi tambang kembali berlanjut. Setelah organisasi masyarakat keagamaan, kekinian perguruan tinggi diusulkan untuk mendapatkan lahan pertambangan.
Usulan ini dipertanyakan urgensinya, sebab akan membuat kampus semakin jauh dari misi Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Rencana itu tertuang dalam Pasal 51 huruf A pada revisi keempat Undang-undang Mineral dan Batubara (Minerba) yang menyebutkan wilayah izin usaha pertambangan bagi perguruan tinggi diberikan secara prioritas.
Sedangkan untuk mendapatkan izin pertambangan, ada sejumlah pertimbangan di antaranya terkait Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral logam, perguruan tinggi harus minimal harus terakreditasi B, dan mempertimbangkan peningkatan akses serta layanan pendidikan masyarakat.
Penyusunan RUU Minerba ini sudah disepakati seluruh fraksi menjadi usulan inisiatif DPR pada Senin (20/1/2025) lalu.
Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat atau Baleg DPR, Bob Hasan membeberkan alasan pemberian izin pertambangan kepada perguruan tinggi.
Ia mengemukakan, pemerintah berkeinginan agar sumber daya alam bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat, termasuk perguruan tinggi. Selain itu, pemberian izin pertambangan diharapkan dapat meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan.
Sementara Wakil Ketua Baleg DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengklaim pemberian izin tambang kepada perguruan tinggi sebagai bentuk keperpihakan negara kepada masyarakat.
Sekaligus katanya, bagian dari Pasal 33 dan UUD 1945 yang menyatakan pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat.
"Keterlibatan masyarakat untuk mendapatkan affirmative action dalam pengelolaan sumber daya alam itu melalui Ormas, melalui perguruan tinggi, melalui badan-badan usaha UKM dan segala macam. Itu yang sebetulnya titik tekan dari revisi undang-undang ini," kata Doli pada Senin (21/1/2024) lalu.
Meski disebut sebagai usulan inisiatif DPR, sejumlah anggota legislatif tetap mengkritik pemberian izin tambang tersebut.
Anggota Baleg DPR Fraksi PDIP Andreas Hugo Pariera, misalnya, mempertanyakan tujuan tersebut. Ditegaskannya fungsi dari perguruan tinggi adalah pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Ia khawatir, pemberian konsesi tambang bertentangan dengan peraturan terkait perguruan tinggi. Untuk itu dia meminta agar Baleg DPR segera membahasnya dengan perwakilan masyarakat sipil seperti ahli, dan akademisi.
Senada dengan Pariera, Anggota Baleg Fraksi Golkar, Umbu Kabunang turut mengkritisinya. Menurutnya, apabila pemerintah berkeinginan meningkatkan pendidikan masyarakat, bukan dengan memberikan perizinan tambang ke perguruan tinggi. Hal itu dapat dilakukan dengan memberikan bantuan dana langsung kepada universitas.
Bukan Ranah Kampus
Merespons wacana tersebut, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Prof Fathul Wahid menegaskan bahwa bukan ranah perguruan tinggi mengelola bisnis pertambangan.
"Kalau saya ditanya, UII ditanya, jawabannya termasuk yang tidak setuju, karena kampus wilayahnya tidak di situ," ujarnya seperti dilansir Antara.
Menurutnya, akan jauh lebih baik apabila perguruan tinggi tidak terlibat dalam pengelolaan tambang.
Sebab, perguruan tinggi harus tetap fokus pada misi utamanya yang tertuang dalam Tri Dharma Peguruaan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, tanpa cawe-cawe masuk dalam bisnis tambang.
"Hilirisasi bisa ditangani oleh pihak yang lain terkait dengan pertambangan," tegasnya.
Keterlibatan perguruan tinggi dalam bisnis tambang, menurut Fathul akan menggerus sensitivitas terhadap persoalan lingkungan dan peran kampus sebagai kekuatan moral.
Apalagi, banyak laporan lembaga independen yang menunjukkan kontribusi besar usaha pertambangan terhadap kerusakan lingkungan.
"Saya khawatir juga bahwa ketika kampus masuk di sana, itu menjadi tidak sensitif karena logika bisnisnya menjadi dominan karena uang itu biasanya agak menghipnotis. Kalau itu sampai terjadi akan berbahaya," kata dia.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Sekjen Kemendiktisaintek) Togar M Simatupang menyatakan bahwa usulan tersebut harus dikaji lebih dalam.
"Apakah dampaknya positif negatif terhadap perguruan tinggi? Bagaimana visi-misi perguruan tinggi? Sampai kepada nanti persoalan-persoalan yang berkaitan dengan sumber daya," ujarnya kepada awak media, Selasa (21/1/2025).
"Dosennya mau dikemanakan, apakah nanti akan terjadi model bisnis yang baru dan sebagainya," ujarnya.
Dalam menyikapi hal tersebut, Togar meyakini bahwa pemerintah akan bijaksana dalam mengambil keputusan akhir revisi RUU Minerba.
"Kalau nanti terjadi sesuatu yang manfaatnya lebih banyak daripada mudaratnya, tentu akan didukung oleh masyarakat termasuk oleh anggota dewan. Tapi kalau itu nanti lebih banyak mudaratnya, saya rasa pemerintah juga bijaksana dalam hal ini," katanya.
Sementara itu, Jaringan Advokasi Tambang atau Jatam dengan tegas menolak pemberian perizinan tambang kepada perguruan tinggi.
Juru kampanye Jatam Alfarhat Kasman menyatakan, usulan merupakan upaya untuk melegitimasi bahwa pertambangan tidak memberikan dampak yang buruk.
Apalagi dalam catatan Jatam, 34 dari 48 menteri di kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran terafiliasi dengan bisnis baik langsung atau tidak langsung. Dari 34 menteri, 15 orang di antaranya terafiliasi dengan bisnis ekstraktif.
Mereka di antaranya, Airlangga Hartarto, Bahlil Lahadalia, Roslan Roeslani, Erick Thohir, hingga Widiyanti Putri Wardhana yang merupakan istri dari Wisnu Wardhana. Selain itu, ada juga nama Sjafrie Sjamsoeddin sebagai Menteri Pertahanan yang adiknya pernah menjabat sebagai Presiden Direktur Freeport Indonesia.
Tak hanya itu, Alfarhat menilai, apabila perguruan tinggi mendapat konsesi tersebut akan membuat kampus menjadi tidak kritis terhadap kekuasaan dan Kajian-kajian terkait pertambangan akan mudah dikendalikan untuk kepentingan tambang.
"Secara tidak langsung mereka akan menegasikan perlawanan-perlawanan warga yang selama ini berjuang untuk melawan pertambangan di Indonesia," kata Farhat kepada Suara.com, Selasa (21/1/2024).
Sementara dari sudut pandang sosial kemasyarakatan, potensi benturan antara kampus dengan masyarakat bakal terjadi. Hal tersebut berkaca pada banyaknya kasus konflik antara masyarakat dengan perusahaan tambang, karena lahan yang diklaim, atau karena dampak pertambangan mengganggu aktivis sosial.
Berdasarkan data yang dimiliki Jatam, konflik antara masyarakat dengan perusahaan tambang sepanjang 2014-2019 mencapai 116 konflik.
Kemudian di tahun 2020 tercatat ada 45 kasus konflik pertambangan, dengan rincian perusakan lingkungan 22 kasus, perampasan lahan 13 kasus, kriminalisasi warga penolak tambang 8 kasus, dan pemutusan hubungan kerja 2 kasus. Dari sejumlah konflik yang terjadi, 13 di antaranya melibatkan TNI dan Polisi.
"Itu yang menjadi soal kenapa kampus itu harus menolak pemberian konsesi yang diberikan oleh negara," tegasnya.
Bingung memilih jurusan dan kampus untuk SNBP 2025? Cek dulu daya tampungnya di sini.
The Rival karya Emma Lord menghadirkan kisah romansa dengan latar persaingan akademik yang ketat.Dua rival yang selalu bersaing kembali dipertemukan di kampus dan bersaing.
"Laut, darat dan udara dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat" kata Bahlil.
"...Jadi jangan belum apa-apa kita saling curiga..."
Sudah tidak ada alasan bagi pejabat untuk tidak menggunakan transportasi umum.
Presiden Prabowo instruksikan efisiensi APBN 2025 hingga Rp306,6 triliun untuk program prioritas, terutama Makan Bergizi Gratis (MBG) yang ditargetkan 82,9 juta penerima.
Agra menilai penerbitan sertifikat di atas laut adalah skandal terstruktur yang melibatkan pejabat di level bawah, kementerian hingga presiden Jokowi.
Karena tidak ada kepastian penempatan, tak sedikit guru swasta yang lulus PPP akhirnya beralih profesi menjadi pengemudi ojek online hingga pedagang es teh keliling.
Jika memang Presiden berani harusnya Perpres ini diarahkan untuk menindak korporasi skala besar yang selama ini merusak lingkungan dan merugikan negara," ujar Uli.
Menggeser awan di atas Jakarta padahal kini sedang banyak awan rendah yang bergerak cepat, bukan tindakan tepat, kata Erma.
Sejumlah orang yang membantu di Vihara Dharma Bakti dalam perayaan malam Imlek adalah warga Aceh yang beragama Islam.