Suara.com - Dinas Pendidikan Jakarta berencana menambah syarat bagi penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus: nilai rapor rata-rata minimal 70. Kebijakan ini menuai kritik. Mengapa demikian?
Plt Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Sarjoko, mengungkap rencana penambahan syarat bagi penerima KJP Plus dalam rapat kerja dengan Komisi E DPRD Jakarta, Senin, Januari 2025. Dengan aturan baru ini, siswa yang nilai rapornya di bawah 70 tidak lagi bisa menerima bantuan pendidikan tersebut.
"Syarat lainnya tetap sama. Namun, perubahan ini memerlukan revisi Pergub Nomor 110 Tahun 2021 yang menjadi dasar program KJP Plus," kata Sarjoko.
Sejumlah syarat KJP Plus tidak berubah. Penerima harus berusia 6 hingga 21 tahun, bersekolah di Jakarta (negeri atau swasta), memiliki NIK Jakarta, dan terdaftar dalam data terpadu kesejahteraan sosial atau anak panti sosial.
Namun, aturan baru itu bisa meningkatkan angka putus sekolah. Data Sistem Pendataan Nilai Rapor (Sidanira) Jakarta 2024 mencatat 3.507 siswa penerima KJP Plus memiliki nilai di bawah 70. Mereka terancam kehilangan bantuan pendidikan. Jika itu terjadi, ribuan anak dari keluarga kurang mampu mungkin tak bisa melanjutkan sekolah.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, mencatat ada 99.761 kasus putus sekolah di Jakarta sepanjang 2024. Angka ini bisa bertambah jika syarat baru diterapkan.
Menurut Ubaid, siswa tak seharusnya menjadi korban nilai akademik yang rendah. Ada banyak faktor di baliknya—dari kualitas guru hingga fasilitas sekolah yang tidak memadai.
“Banyak faktor yang berpengaruh, tapi kenapa justru peserta didik yang harus menanggung akibatnya?” ujar Ubaid kepada Suara.com, Selasa (4/2/2025).
Di sisi lain, Sarjoko mengklaim kebijakan ini telah dibahas dengan tim transisi Gubernur-Wakil Gubernur terpilih, Pramono Anung dan Rano Karno. Alasannya, pencairan KJP Plus tahap 1 tahun 2025 akan dilakukan setelah mereka resmi menjabat.
Namun, Pramono justru mengaku tidak tahu-menahu soal penambahan syarat ini.
"Saya belum mendapat informasi," ujarnya usai berkunjung ke Balai Kota Jakarta, Selasa (4/2/2025).
"Saya baru dengar," kata Pramono.
Namun, Gubernur Jakarta terpilih itu berjanji akan mempermudah syarat penerima KJP Plus bagi mereka yang benar-benar berhak.
Ia mengaku, selama kampanye Pilkada Jakarta 2024, banyak warga menyampaikan aspirasi agar anak mereka tetap bisa menerima bantuan pendidikan karena berasal dari keluarga kurang mampu.
Dikritik DPRD
Rencana Disdik Jakarta menambah syarat penerima KJP Plus mendapat kritik tajam. Anggota Komisi E DPRD Jakarta, Jhonny Simanjuntak, menilai nilai rapor tidak bisa dijadikan indikator kelayakan bantuan.
Menurutnya, sejak awal KJP Plus dirancang untuk membantu siswa dari keluarga kurang mampu. Jika nilai rapor dijadikan syarat, kebijakan ini justru melenceng dari tujuan awalnya.
"KJP ini soal ekonomi, bukan prestasi," tegas Jhonny.
Ia mengakui bahwa nilai akademik penting. Tapi bukan segalanya. Banyak faktor memengaruhi prestasi siswa, mulai dari kualitas guru hingga fasilitas sekolah.
"Jangan sampai seolah-olah ini cuma kesalahan anak atau orang tua, sementara gurunya lepas tangan," tambahnya.
Sekretaris Komisi E DPRD Jakarta, Justin Adrian, juga menyoroti dampak jangka panjang kebijakan ini. Ia khawatir aturan baru ini akan meningkatkan angka putus sekolah dan menghambat visi Indonesia Emas 2045.
"Jangan sampai di 2045 anak-anak ini justru berebut jadi tukang parkir karena mereka tidak bisa sekolah," pungkasnya.
Kesetaran dalam pendidikan
OECD merilis laporan Education at a Glance yang menyoroti pentingnya kesetaraan dalam pendidikan. Setiap siswa seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk meraih keberhasilan akademik.
Sosiolog feminis asal Australia dan Profesor Emerita di Universitas Sydney, R. W. Connell, menyoroti bahaya ketimpangan dalam pendidikan. Baginya, ketika pendidikan hanya mengutamakan segelintir anak dan mengabaikan yang lain, sistem itu sebenarnya telah gagal.
Reza Aditia, PhD student di Eötvös Loránd University, dalam tulisannya Pendidikan sebagai Barang Publik: Kunci Kesetaraan untuk Semua di The Conversation, menekankan peran negara dalam memastikan akses pendidikan yang adil.
Menurutnya, pendidikan harus menjadi barang publik yang bisa diakses semua orang, bukan hak istimewa segelintir kelompok. Jika dibiarkan tanpa intervensi, sekolah yang seharusnya menjadi alat penyamarataan (social equalizer) justru bisa berubah menjadi alat pemisah sosial (social divider).
Oleh karena itu, menurut Ubaid, rencana menaikkan syarat nilai rapor KJP Plus seharusnya dibatalkan. Alasannya, kebijakan ini bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 31 Ayat 1 dan 2 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan pemerintah wajib membiayainya.
"Jadi, yang berhak dibiayai pemerintah adalah semua anak Indonesia. Bukan hanya yang nilai rapornya 70 atau yang berprestasi," tegasnya.
Kebijakan ini menuai kritik. Mengapa demikian?
Diakui Mu'ti bahwa dalam sistem online tersebut tidak menutup kemungkinan terjadinya unforced error.
Abidzar Al Ghifari kini menuai kontroversi usai blunder soal film terbarunya, Business Proposal.
Kabar mengejutkan datang dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait pembatalan program beasiswa bergengsi, Ministerial Scholarship, untuk tahun 2025.
Kebijakan ini menuai kritik. Mengapa demikian?
Dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2025, pemerintah menargetkan penghematan anggaran sebesar Rp306,6 triliun.
DPR dan MPR dikecualikan.
Kematian gajah di Aceh Timur itu bukan kasus pertama di tahun 2025. Pada 1 Januari lalu, satu gajah ditemukan mati di Kawasan Perkebunan Panton Reu, Aceh Barat.
Pembunuhan ini terungkap setelah warga mencium bau busuk dari kamar kontrakan korban. Saat memeriksa, mereka terkejut menemukan tubuh NS yang sudah membusuk.
Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, menyebut ini bukan sekadar kejahatan jalanan.
Lantaran kuatnya politik uang, pemilih menjadi terlena. Mereka tak peduli dengan siapa yang mereka pilih.