Suara.com - Populasi gajah sumatra makin menipis di Aceh. Kematian tak terbendung meski nasibnya berisiko tinggi menuju punah.
TIBA di Dusun Emplasemen, Desa Julok Rayeuk Selatan, Indra Makmur, Aceh Timur, Aceh, Inspektur Satu Muhammad Alfata menemukan satwa liar bertubuh besar itu tumbang menyentuh tanah pada Jumat (31/1/2025) sore.
“Diduga kuat sudah tidak sanggup berdiri karena sakit,” kata Kepala Kepolisian Sektor Indra Makmur itu, Senin (3/2/2025).
Hari itu, Alfata memutuskan ke Dusun Emplasemen, Desa Julok Rayeuk Selatan tak lama setelah mendengar kabar dari masyarakat bahwa seekor gajah mendekati permukiman. Satwa lindung tersebut tampak kurus dan sakit, belakangan nasibnya berujung maut.
"Pukul 17.40 WIB, gajah jenis betina yang berumur lebih kurang 6,5 tahun itu mati," kata Alfata.
Bangkainya dikubur di area perkebunan sawit PTPN III Kebun Julok Rayeuk Selatan.
Menurut Alfata, gajah yang sama semula ditemukan warga Desa Seuneubok Bayu, Indra Makmur, pada saat memasuki area perkebunan. Ia terlihat menderita karena ada penyakit di bagian mulut.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh mengobati gajah tersebut dengan menginfus dan memberikan vitamin.
"Karena mulai ada perubahan maka gajah tersebut dibiarkan lepas kembali ke habitatnya,” kata Alfata.
Namun malang, kondisinya kembali memburuk hingga tak bisa terselamatkan.
Dugaan Keracunan
Kepala BKSDA Aceh Ujang Wisnu Barata menyebut, keberadaan gajah itu telah diketahui sejak Selasa (21/1/2025) di Desa Seuneubok Bayu. Timnya kemudian mengecek kondisinya dan memberikan bantuan medis pada Rabu, keesokan harinya.
“Dari hasil pemeriksaan teridentifikasi gajah liar berjenis kelamin betina, berumur kurang lebih 7-8 tahun dan berat badan sekitar 1 ton,” kata Ujang kepada Suara.com, Senin (3/2/2025).
Dari hasil pemeriksaan fisik gajah tersebut, tim medis menemukan kondisi mulut dan lidahnya mengalami infeksi hingga berwarna merah dan bernanah serta feses berwarna hitam dan berukuran kecil.
Hasil diagnosa sementara, organ pencernaan mengalami kerusakan/infeksi dan bagian alat kelamin mengalami pendarahan.
“Diduga akibat mengkonsumsi yang mengandung racun atau sejenisnya yang berdampak terhadap kerusakan pencernaan bagian dalam,” katanya.
Tim menanganinya dengan menginfus antibiotik dan vitamin untuk waktu 48 jam. Selain itu, mereka mengambil sampel darah dan feses untuk pengujian di laboratorium.
Pengobatan lanjutan dilakukan pada Jumat (24/1/2025). Tim medis memeriksa perkembangan kondisi gajah, serta memberikan cairan tambahan, obat dan vitamin.
Menurut Ujang, kondisinya saat itu belum pulih, karena diduga bagian organ ginjal dan metabolisme pencernaan telah terganggu.
Gajah mengeluarkan urine dan feses warna hitam serta berbau busuk. Hal itu, kata Ujang, mengindikasikan metabolismenya pencernaan mulai bereaksi. Tim kembali mengambil sampel darah kedua untuk diuji di laboratorium.
Tiga hari berselang, pengobatan ketiga dilakukan tim medis. Kondisi gajah terlihat lebih baik. Ia mulai bergerak mengarah jauh ke dalam hutan. Namun, pada Jumat pekan lalu, gajah ditemukan dengan kondisi lemas.
"Upaya penanganan sudah tidak banyak menolong," kata Ujang.
"Gajah liar tersebut mati."
BKSDA Aceh membedah bangkai gajah, mengambil beberapa sampel organ dalam untuk diteliti di laboratorium. Setelahnya, gajah dikubur pada pukul 22.30 WIB.
Sisa 600 Ekor
Kematian gajah di Aceh Timur itu bukan kasus pertama di tahun 2025. Pada 1 Januari lalu, satu gajah ditemukan mati di Kawasan Perkebunan Panton Reu, Aceh Barat.
Kaki depan sebelah kanan pincang, lalu terperosok di lokasi berlumpur. Tak ada bekas luka luar atau jerat di gajah itu.
Mirisnya, kematian gajah terus terjadi setiap tahun di Aceh.
"Dalam 3 tahun terakhir setidaknya 20 ekor," kata Ujang.
Menurut perhitungannya, populasi gajah sumatra yang tersisa di Hutan Aceh berkisar 600 individu. Padahal, gajah sumatra saat ini menjadi salah satu satwa lindung di Indonesia yang nasibnya sangat terancam.
Berdasarkan The IUCN Red List of Threatened Species atau daftar merah spesies terancam, gajah sumatra berstatus terancam kritis, berisiko tinggi untuk punah di alam liar.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah Indonesia 2019-2029 (2019) menyebut, persebaran populasi gajah sumatra sebagian besar berada di luar kawasan konservasi (85 persen) bahkan di luar kawasan hutan (6 persen).
Gajah sumatra berada di 22 kantong habitat di tujuh provinsi, yakni Aceh, Sumatra Utara, Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu, dan Lampung.
Pada 1980-an, populasi gajah sumatra diperkirakan 2.800-4.800 ekor. Kemudian pada 2007 sekitar 2.400-2.800 ekor. Jumlah ini menurun menjadi 1.724 ekor pada 2014. Namun pada 2019, estimasi jumlah populasi gajah sumatra berkisar antara 924-1.359 ekor.
Menurut KLHK, setidaknya ada enam kantong populasi gajah sumatra di Aceh, yakni pertama Lamno-Krueng Sabee-Teunom-Woyla Barat, kedua Seulawah-Jantho-Keumala-Tangse, dan ketiga Woyla Timur-Sungai Emas-Pante Cermin-Beutong,
Kemudian keempat Alue Buloh-Cot Girek-Geureudong-Paya Bakong, kelima Jambo Aye-Langkahan-Samar Kilang-Lokop-Pinding-Kappi, dan keenam Kluet-Trumon-Bengkung-Subulussalam-Sultan Daulat.
Hilangnya lahan atau deforestasi di Sumatra disebut menjadi permasalahan utama konflik gajah-manusia, perburuan, dan penurunan kualitas hidup gajah sumatera. Imbasnya, kematian gajah melebihi angka kelahirannya.
KLHK beberapa tahun terakhir mencatat deforestasi di Aceh dalam dan luar kawasan hutan mengalami naik turun. Pada periode 2017-2018, deforestasi tercatat sebesar 7.502,2 hektare.
Angka ini meningkat pada periode 2018-2019, mencapai 11.608 hektare. Namun, pada periode berikutnya, 2019-2020, terjadi penurunan menjadi 1.917,9 hektare. Tren penurunan ini berlanjut pada periode 2020-2021, dengan angka deforestasi sebesar 2.998,8 hektare.
Namun, pada periode 2021-2022, angka deforestasi kembali meningkat menjadi 5.367,1 hektare.
Hibah Lahan 20 Ribu Hektare
Pertengahan Desember 2024, Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni menapaki Conservation Response Unit (CRU) Daerah Aliran Sungai (DAS) Peusangan di Pintu Rime Gayo, Bener Meriah, Aceh. Kunjungannya itu untuk meninjau lahan 20 ribu hektare yang akan dihibahkan Presiden Prabowo Subianto untuk konservasi gajah sumatra.
Raja Juli Antoni mengatakan hibah lahan itu merupakan bagian dari permintaan World Wildlife Fund (WWF) saat pertemuan Presiden Prabowo dengan Raja Inggris, Charles III, pada November 2024.
“WWF awalnya meminta lahan seluas 10.000 hektare, namun Bapak Presiden Prabowo justru berinisiatif memberikan 20.000 hektare lahan pribadinya untuk mendukung upaya konservasi gajah,” kata Raja Juli, Kamis (19/12/2024).
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh menilai langkah Prabowo itu dapat memperkuat upaya pelestarian empat satwa kunci yang semakin terancam akibat degradasi hutan di Aceh, yaitu gajah, orang utan, harimau, dan badak.
Namun, WALHI mempertanyakan lahan yang dihibahkan tersebut, apakah lahan pribadi atau lahan konsesi di PT Tusam Hutani Lestari yang memiliki Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK).
Menurut WALHI Aceh, Prabowo Subianto memiliki IUPHHK berdasarkan SK.556/KptsII/1997 dengan luas areal kerja 97.300 hektare dan izin tersebut akan berakhir pada tanggal 14 Mei 2035.
Lahan itu tersebar di Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Bireuen dan Aceh Utara. Sebagian besar lahan itu banyak terbengkalai dan ada juga yang sudah digarap warga setempat.
“Menurut kami itu lahan negara yang dipinjamkan ke Prabowo melalui IUPHHK, jadi hal wajar bila hendak dilepaskan,” kata Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin, beberapa waktu lalu.
Shalihin menyebut, Aceh dalam 10 tahun terakhir termasuk provinsi dengan populasi gajah sumatra terbesar di Indonesia dengan tingkat konflik dengan manusia yang masih tinggi, terutama di Kabupaten Aceh Tengah, Bener dan Bireuen.
Intensitas konflik satwa dengan manusia yang berakibat adanya korban jiwa dan satwa gajah mati akibat hilangnya habitat alami, baik itu akibat perambahan hutan maupun adanya perluasan penguasaan lahan oleh korporasi.
Berdasarkan data dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, total konflik gajah dan manusia di Aceh alam rentang 2019-2023 sebanyak 583 kali.
Shalihin menuturkan bahwa wilayah konservasi itu sangat dibutuhkan mengingat habitat gajah sumatra terus menyusut akibat deforestasi dan alih fungsi lahan.
“Ini angin segar untuk untuk dunia konservasi bila benar-benar terealisasikan,” katanya.
Kontributor Aceh: Habil Razali
Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, menyebut ini bukan sekadar kejahatan jalanan.
Lantaran kuatnya politik uang, pemilih menjadi terlena. Mereka tak peduli dengan siapa yang mereka pilih.
Petugas Maritim Malaysia itu melepas tembakan membabi buta ke arah boat WNI yang berjarak antara 20 meter hingga 25 meter di tengah malam gelap.
Presiden adalah satu-satunya otoritas yang dapat melakukan reformasi menyeluruh dalam tata kelola anggaran pendidikan, kata Ubaid.
"Kriminalisasi terhadap pelapor dugaan korupsi di Baznas menunjukkan kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Wana.
"Kebijakan jam malam bagi pelajar perlu manajemen pengawasan yang baik. Tanpa itu, kebijakan tersebut hanya akan terdengar baik di atas kertas," ujar Rakhmat.
"Rumah susun itu adalah cara yang paling prinsip untuk merubah Jakarta menjadi lebih tertata terkait dengan penduduk dan pemukiman," kata Yayat.
No free lunch. Pasti akan ada yang dikorbankan untuk mendapatkan bantuan tersebut, mulai dari politik hingga sumber daya alam, ungkap Huda.
Sanksi itu tak lebih dari seremonial saja. Seolah-olah diberi sanksi, tapi sebenarnya tidak memberi efek jera apapun, ujar Bambang.
"Pernikahan anak tak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada kemajuan ekonomi negara untuk mencapai cita-cita Indonesia Emas 2045," ujar Lily.