Penyiksaan Demi Pengakuan: Praktik Usang Aparat yang Tak Kunjung Padam
Home > Detail

Penyiksaan Demi Pengakuan: Praktik Usang Aparat yang Tak Kunjung Padam

Erick Tanjung | Muhammad Yasir

Kamis, 26 Juni 2025 | 14:36 WIB

Suara.com - LAPORAN tahunan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) kembali memantik keprihatinan. Dalam laporan bertajuk: ‘Negara Tidak Berbenah, Penyiksaan Terus Berulang’ yang diluncurkan bertepatan dengan Hari Antipenyiksaan Sedunia 2025, KontraS mencatat praktik penyiksaan oleh aparat negara masih marak terjadi.

Sepanjang Juni 2024–Mei 2025, KontraS menemukan 66 peristiwa penyiksaan dengan korban mencapai 139 orang. Tragisnya, 23 di antaranya meninggal dunia dan 116 korban menderita luka-luka.

“Angka ini lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Ini bukti nyata bahwa negara belum menunjukkan perbaikan berarti,” kata Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya dikutip Suara.com, Kamis 26 Juni 2025.

Hasil pemantau yang dilakukan KontraS juga masih menunjukkan Polri sebagai lembaga negara yang aparat atau anggotanya paling banyak melakukan praktik penyiksaan. Di mana dari 66 peristiwa penyiksaan yang tercatat, KontraS menemukan 36 peristiwa di antaranya itu melibatkan anggota polisi.

Sementara TNI tercatat berada di posisi kedua dengan 23 peristiwa penyiksaan. Lalu petugas rutan dan lapas berada di posisi ketiga dengan tiga peristiwa.

Ilustrasi penganiayaan (Presisi.com)
Ilustrasi penyiksaan. (Presisi.com)

Sedangkan dari sisi korban, warga sipil merupakan korban penyiksaan yang paling banyak ditemukan. Angkanya mencapai 114 orang. Selain warga sipil, 25 korban lainnya merupakan tahanan atau terpidana di lembaga pemasyarakatan.

Berbagai peristiwa penyiksaan yang masih kerap dilakukan oleh aparat negara patut disayangkan. Dimas berharap pemerintah dapat benar-benar membuka mata. Sebab penyiksaan bukan sekadar kesalahan prosedur, tapi pelanggaran terhadap konstitusi dan HAM.

“Pemerintah harus serius berbenah dan menunjukkan komitmen untuk menghapus dan mencegah berulangnya tindak penyiksaan, khususnya dalam rangka penegakan hukum,” ungkapnya.

Kejar Pengakuan

Temuan serupa juga disampaikan Komnas HAM. Sepanjang 2020-2024 mereka mencatat ada 176 aduan penyiksaan yang melibatkan anggota polisi.

Ketua Komnas HAM Anis Hidayah menyebut dari 176 aduan, 58 penyiksaan di antaranya itu terjadi saat proses interogasi atau pemeriksaan.

Maka dari itu, ia menekankan pentingnya peran negara dalam mencegah terjadinya praktik penyiksaan, bukan sebatas bereaksi setelah ada kasus, tapi harus mengawasi secara ketat prosedur interogasi, pola penahanan, hingga regulasi teknis lain yang membuka celah kekerasan.

“Setiap tindak penyiksaan harus diberikan hukuman yang setimpal dan memberi jaminan ganti rugi terhadap korban serta kompensasi yang adil,” jelas Anis dalam konferensi pers Hari Anti-Penyiksaan 2025 di Ombudsman RI, Jakarta, Rabu, 25 Juni kemarin.

Selain itu Komnas HAM juga merekomendasikan adanya program komprehensif peningkatan pemahaman HAM kepada aparat penegak hukum. Program tersebut menurut Anis penting diberikan bukan hanya kepada aparat kepolisian, tetapi juga jaksa dan hakim.

Ilustrasi kekerasan seksual (Shutterstock).
Ilustrasi penyiksaan. (Shutterstock).

“Termasuk juga aparat yang berwenang menjaga tahanan atau serupa tahanan lainnya,” imbuhnya.

Sementara anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro menilai praktik penyiksaan yang dilakukan aparat penegak hukum demi mengejar ‘pengakuan’ tersangka merupakan 'peradaban masa lalu' yang merendahkan martabat institusi penegakan hukum. Apalagi secara hukum, kata dia, pengakuan tersangka lewat penyiksaan itu juga tidak bisa diandalkan dalam proses pembuktian.

“Ujung-ujungnya adalah ketidakadilan, atau lebih parah lagi: peradilan yang sesat,” ujar Johanes.

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto juga berpendapat demikian. Ia menyebut di beberapa negara modern yang memiliki penyidik kepolisian profesional, praktik mengejar pengakuan saksi atau tersangka semacam itu bahkan sudah lama ditinggalkan.

“Pengakuan saksi atau tersangka itu memiliki kualitas pembuktian yang paling rendah. Polisi harusnya mengejar alat bukti yang lebih konkret berupa alat bukti materiil bukan hanya sekadar pengakuan,” ungkap Bambang kepada Suara.com.

Bambang menilai penyiksaan dalam proses pemeriksaan atau interogasi acap kali terjadi karena lemahnya pengawasan internal. Selain juga disebabkan oleh tidak adanya penegakan hukum yang benar-benar dapat memberikan efek jera kepada anggota.

Di era teknologi saat ini, Bambang menyebut upaya mencegah terhadap praktik penyiksaan dalam proses interogasi sebenarnya bisa dilakukan dengan mudah. Salah satunya melalui pemasangan CCTV atau bodycam pada anggota selaku penyelidik dan penyidik.

“Cuma problemnya, saya melihat selama ini Polri lebih memilih sekadar membangun citra daripada menggunakan teknologi itu untuk melakukan pencegahan dan memperbaiki kinerja penyidikan,” pungkasnya.


Terkait

Viral Oknum Polisi Diduga Lakukan Pungli, Publik Sindir Video AI 'Pahlawan Masa Kini'
Kamis, 26 Juni 2025 | 13:14 WIB

Viral Oknum Polisi Diduga Lakukan Pungli, Publik Sindir Video AI 'Pahlawan Masa Kini'

Oknum polisi yang masih terlihat berada di atas motor itu langsung mengambil uang dari pengendara wanita tersebut.

Surat Pemakzulan Gibran Tak Dibacakan, Analis: DPR Tahu jika Bahas Ini Akan Timbulkan Kegaduhan
Kamis, 26 Juni 2025 | 12:44 WIB

Surat Pemakzulan Gibran Tak Dibacakan, Analis: DPR Tahu jika Bahas Ini Akan Timbulkan Kegaduhan

Hendri mengatakan para purnawirawan TNI itu juga boleh mempertanyakan nasib dari suratnya.

Polri Sebut Kawasan Mandiri yang Terkoneksi Bisa Minimalisir Kasus Kriminal
Kamis, 26 Juni 2025 | 09:20 WIB

Polri Sebut Kawasan Mandiri yang Terkoneksi Bisa Minimalisir Kasus Kriminal

"...Ketika ruang publik nyaman, ekonomi bergerak, dan masyarakat merasa aman, maka fungsi kota bisa berjalan dengan optimal..."

Terbaru
Dari Tambang ke Dapur Bergizi: Gerakan NU Bergeser, Kritik Pemerintah Jadi Tabu?
polemik

Dari Tambang ke Dapur Bergizi: Gerakan NU Bergeser, Kritik Pemerintah Jadi Tabu?

Kamis, 26 Juni 2025 | 08:41 WIB

Kerja sama tersebut menghilangkan daya kritis ormas keagamaan terhadap kebijakan atau keputusan pemerintah yang tidak pro rakyat.

2 Juta Lapangan Kerja dari Koperasi Prabowo: Ambisius atau Realistis? polemik

2 Juta Lapangan Kerja dari Koperasi Prabowo: Ambisius atau Realistis?

Rabu, 25 Juni 2025 | 21:34 WIB

Angka ini sangat ambisius apabila dilihat dari track record koperasi kita, kata Jaya.

Marcella Mengaku, Marcella Membantah; Upaya Membelokan Nalar Kritis di Ruang Publik polemik

Marcella Mengaku, Marcella Membantah; Upaya Membelokan Nalar Kritis di Ruang Publik

Rabu, 25 Juni 2025 | 18:34 WIB

Pengakuan Marcella Soal Biaya Narasi Penolakan RUU TNI dan "Indonesia Gelap" Dinilai Berbahaya: Membuat Kelompok Masyarakat Sipil Semakin Rentan

Suara Profetik Lintas Iman Menolak PSN Merauke: Penjarahan Berkedok Pembangunan polemik

Suara Profetik Lintas Iman Menolak PSN Merauke: Penjarahan Berkedok Pembangunan

Rabu, 25 Juni 2025 | 14:10 WIB

Proyek tersebut tidak berdasarkan pada prinsip-prinsip kemanusian dan adab," kata Busyro.

Reformasi Kebijakan Narkotika Mendesak: Saat Perempuan Terus Dieksploitasi polemik

Reformasi Kebijakan Narkotika Mendesak: Saat Perempuan Terus Dieksploitasi

Rabu, 25 Juni 2025 | 08:19 WIB

Negara tidak bisa terus mempertahankan kebijakan yang terbukti gagal yang justru memperluas pasar gelap dan menjerat kelompok rentan, termasuk perempuan, ujar Girlie.

UU TNI Digugat: Ketika Kekuasaan Meremehkan Suara Mahasiswa Hingga Ibu Rumah Tangga polemik

UU TNI Digugat: Ketika Kekuasaan Meremehkan Suara Mahasiswa Hingga Ibu Rumah Tangga

Selasa, 24 Juni 2025 | 21:41 WIB

Setiap undang-undang bersifat umum, artinya mengikat siapa saja. Sehingga, setiap warga negara tanpa memandang latar berhak mengajukan gugatan ke MK.

Polemik Perintah Presiden: Akankah Jokowi Bersaksi di Sidang Korupsi Impor Gula? polemik

Polemik Perintah Presiden: Akankah Jokowi Bersaksi di Sidang Korupsi Impor Gula?

Selasa, 24 Juni 2025 | 19:48 WIB

Upaya untuk menghadirkan Jokowi dalam persidangan sangat memungkinkan, meskipun belum pernah diperiksa di Kejaksaan sebagai saksi.