Uang, Patronase, dan Suara yang Terjual: Mengapa DPR Tidak Lagi Dipercaya?
Home > Detail

Uang, Patronase, dan Suara yang Terjual: Mengapa DPR Tidak Lagi Dipercaya?

Chandra Iswinarno | Yaumal Asri Adi Hutasuhut

Senin, 03 Februari 2025 | 12:03 WIB

Suara.com - Baru-baru ini, Indikator Politik Indonesia merilis hasil survei yang mengenai tingkat kepercayaan publik terhadap Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR. Hasilnya, lembaga kumpulan wakil rakyat tersebut berada di peringkat 10 dari 11 lembaga yang disurvei.

Berdasarkan peringkat penilaian publik yang dirilis Indikator pada 27 Januari 2025 silam, DPR hanya mendapatkan kepercayaan publik sebanyak 69 persen.

Angka tersebut sedikit lebih baik di atas tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik yang mendapatkan 62 persen.

Padahal, survei tersebut dilaksanakan pada periode 16-21 Januari 2025 dengan melibatkan 1.220 responden yang sudah memiliki hak pilih pada Pemilu lalu, yakni mereka yang sudah berusia 17 tahun ke atas.

Bila dibandingkan dengan tingkat kepercayaan publik terhadap presiden, justru malah menunjukan perbedaan yang signifikan. Kepercayaan masyarakat terhadap Presiden 97 persen, kemudian disusul TNI 94 persen, dan Kejaksaan Agung 79 persen.

Kondisi tersebut justru menimbulkan anomali. Suara publik yang dititipkan melalui wakil rakyat di DPR disia-siakan, karena tidak diperjuangkan wakilnya di lembaga tersebut.

Menilai fenomena tersebut, Guru Besar Politik Universitas Andalas Asrinaldi menilai menjadi hal yang wajar apabila DPR memperoleh tingkat kepercayaan rendah di antara 11 lembaga.

Ia mencontohkan saat pemilihan legislatif, ketika rakyat sebagai pemilih ternyata banyak tidak mengenal siapa yang sebenarnya mereka pilih menjadi perwakilannya di parlemen.

"Nah, ini yang membuat demokrasi bangsa kita ini belum maju," kata Asrinaldi kepada Suara.com pada Sabtu (3/2/2025).

Persoalan itu sebenarnya terletak pada partai politik. Dalam beberapa kasus, ia mengemukakan, ada calon legislatif yang sebenarnya tidak berasal dari wilayah pemilihannya.

Pertimbangan penempatan calon tersebut hanya karena pada suatu wilayah tertentu, merupakan daerah basis partainya.

Padahal, calon yang bersangkutan tidak mengetahui persoalan di daerah pemilihannya, dan bahkan masyarakat setempat tidak mengenal calonnya. Namun anehnya, kata, Asrinaldi calon tersebut tetap terpilih.

Patron Client

"Nah, apa yang jadi masalah dalam konteks ini? Patron client itu kuat, uang begitu dominan bicara, sehingga mereka bisa mengarahkan pilihan," jelasnya.

Lantaran kuatnya politik uang, pemilih menjadi terlena. Mereka tak peduli dengan siapa yang mereka pilih, karena yang terpenting pada kontestasi Pemilu lima tahunan, pemilih mendapatkan uang. Belum lagi dalam konteks patron client, caleg mendapatkan endorsement atau dukungan dari tokoh masyarakat setempat.

Sayangnya, kata Asrinaldi, masyarakat tidak mengetahui konsekuensi dari tindakannya yang memilih hanya karena uang.

Konsekuensi nyatanya, dapat dilihat dari produk undang-undang yang tidak promasyarakat dan lebih menguntungkan para oligarki, seperti Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), Revisi UU KPK, kemudian terbaru RUU Mineral dan Batubara (Minerba) yang memberikan konsesi tambang kepada perguruan tinggi.

Sementara undang-undang yang promasyarakat dan penegakan hukum, terkesan lambat untuk disahkan dan bahkan bergulir bertahun-tahun hingga puluh tahunan di DPR. Sebut saja RUU Perampasan Aset, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, dan RUU Masyarkat Adat.

Sebab itu, Asrinaldi menilai pentingnya pendidikan politik bagi masyarakat agar mengetahui politik, dan tanggung jawabnya sebagai pemilih.

Harapannya, ketika rakyat dihadapkan ketika politik uang, mereka bisa memberikan hukum politik dengan tidak memilihnya. Namun melihat situasi saat ini, kata Asrinaldi, masyarakat seolah dibiarkan tidak paham politik, agar mudah untuk dikendalikan.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia selama tiga tahun terakhir, DPR kerap menjadi lembaga yang berada di posisi rendah.

Pada Januari 2023, Survei Nasional Indikator Politik merilis, tingkat kepercayaan publik terhadap DPR hanya 66,5 persen. Posisi DPR lebih baik dibandingkan Polri dan partai politik.

Kemudian setahun berikutnya, Januari 2024, Indikator merilis. DPR hanya mendapat kepercayaan publik 65 persen. Berdasarkan pemeringkatan, hanya satu tingkat lebih baik daripada partai politik yang berada di urutan paling buncit.

Made with Flourish

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus mengaku tidak heran dengan fenomena tersebut. Ia menilai rendahnya tingkat kepercayaan terhadap kepada DPR RI, karena sudah tidak lagi diperhitungkan oleh masyarakat.

Bahkan, meski naik prosentasenya menjadi 69 persen, masih menunjukkan bahwa DPR periode 2024-2029 belum menjadi perhatian publik.

Sebab, hal tersebut tak bisa dipisahkan dari komposisi DPR yang didominasi partai politik pendukung pemerintah.

"Ketika DPR justru memilih untuk mendukung pemerintah begitu saja, maka gongnya ada di pemerintah," ujar Lucius.

Alhasil pembicaraan publik lebih banyak soal program dan kebijakan pemerintah. Sementara DPR sejauh ini dianggap belum memiliki gebrakan untuk dijadikan publik sebagai penilaian.

Meski begitu, Karus menyebut prosentase 69 persen yang diberikan masyarakat, harus menjadi momentum bagi DPR untuk menunjukkan prestasinya pada masa mendatang.

"Jadi DPR jangan 'GR' dengan 69 persen atau juga jangan ciut duluan," ujarnya.


Terkait

Survei Indikator: Polri, DPR dan Parpol Jadi Lembaga Paling Tidak Dipercaya
Senin, 27 Januari 2025 | 18:14 WIB

Survei Indikator: Polri, DPR dan Parpol Jadi Lembaga Paling Tidak Dipercaya

Institusi Bhayangkara yakni Polri menduduki posisi 9 dengan perolehan angka 69 persen masyarakat percaya

Survei Indikator Politik: Mayor Teddy hingga AHY Keok! Kinerja Erick Thohir Paling Teratas di Kabinet Prabowo
Senin, 27 Januari 2025 | 17:47 WIB

Survei Indikator Politik: Mayor Teddy hingga AHY Keok! Kinerja Erick Thohir Paling Teratas di Kabinet Prabowo

Posisi kedua di bawah Erick Thohir diisi oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani yang meriah angka13,2 persen.

Terbaru
Isu Fatherless Makin Marak, Film Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah Tayang di saat yang Tepat!
nonfiksi

Isu Fatherless Makin Marak, Film Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah Tayang di saat yang Tepat!

Sabtu, 13 September 2025 | 09:00 WIB

Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah berhasil meraih 420 ribu penonton meski berhadapan dengan film The Conjuring.

Pengalaman Tiga Hari di Pestapora 2025, Festival Musik yang Penuh Warna dan Kejutan nonfiksi

Pengalaman Tiga Hari di Pestapora 2025, Festival Musik yang Penuh Warna dan Kejutan

Selasa, 09 September 2025 | 20:27 WIB

Catatan tiga hari Pestapora 2025, pesta musik lintas generasi.

Review Film The Conjuring: Last Rites, Penutup Saga Horor yang Kehilangan Taring nonfiksi

Review Film The Conjuring: Last Rites, Penutup Saga Horor yang Kehilangan Taring

Sabtu, 06 September 2025 | 08:00 WIB

Plot yang lemah, jumpscare yang klise, serta kurangnya ide segar membuat film terasa datar.

Review Panji Tengkorak, Tetap Worth It Ditonton Meski Meski Penuh Cacat nonfiksi

Review Panji Tengkorak, Tetap Worth It Ditonton Meski Meski Penuh Cacat

Sabtu, 30 Agustus 2025 | 08:00 WIB

Film ini justru hadir dengan nuansa kelam, penuh darah, dan sarat pertarungan.

'Sudahlah Tertindas, Dilindas Pula', Kesaksian Teman Affan Kurniawan yang Dilindas Rantis Brimob polemik

'Sudahlah Tertindas, Dilindas Pula', Kesaksian Teman Affan Kurniawan yang Dilindas Rantis Brimob

Jum'at, 29 Agustus 2025 | 13:04 WIB

Affa Kurniawan, driver ojol yang baru berusia 21 tahun tewas dilindas rantis Brimob Polda Jaya yang menghalau demonstran, Kamis (28/8) malam. Semua bermula dari arogansi DPR.

Review Film Tinggal Meninggal: Bukan Adaptasi Kisah Nyata tapi Nyata di Sekitar Kita nonfiksi

Review Film Tinggal Meninggal: Bukan Adaptasi Kisah Nyata tapi Nyata di Sekitar Kita

Sabtu, 23 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Film Tinggal Meninggal lebih banyak mengajak penonton merenungi hidup ketimbang tertawa?

80 Tahun Indonesia Merdeka; Ironi Kemerdekaan Jurnalis di Antara Intimidasi dan Teror polemik

80 Tahun Indonesia Merdeka; Ironi Kemerdekaan Jurnalis di Antara Intimidasi dan Teror

Minggu, 17 Agustus 2025 | 15:38 WIB

Di usia 80 tahun kemerdekaan Indonesia, jurnalis masih menghadapi intimidasi, teror, hingga kekerasan.