Suara.com - Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat atau Baleg DPR Bob Hasan mengklaim alasan perguruan tinggi diusulkan mendapat wilayah izin usaha pertambangan atau WIUP, seperti organisasi keagamaan, lantaran pemerintah berkeinginan agar seluruh elemen masyarakat bisa mendapat hak yang sama untuk mengelola sumber daya alam.
Bob merujuk pada Pasal 33 Ayat 3 Undang-undang Dasar 1945 yang mengamanatkan; bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Namun, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Herlambang Perdana Wiratraman menilai bahwa dasar pertimbangan memberikan izin pengelolaan tambang kepada perguruan tinggi termasuk organisasi keagamaan dengan dalih Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 merupakan kekeliruan.
Sebab, praktik pertambangan yang memiliki daya rusak luar biasa terhadap lingkungan dan pada kenyataannya telah terbukti banyak merugikan masyarakat.
Sementara yang memperoleh keuntungan di balik wacana tersebut bila terrealisasikan, justru adalah para penguasa dan pengusaha.
"Saya kira ini membajak Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 untuk kepentingan kekuasaan terutama kuasa tambang yang sebenarnya mereka hanya berpikir soal eksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan sekelompok orang," jelas Herlambang kepada Suara.com, Rabu (22/1/2025).
Menurut Herlambang pemberian izin bisnis tambang kepada perguruan tinggi juga tidak tepat alias sesat pikir.
Apalagi hal itu didasari atas pertimbangan untuk meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan karena kerap terkendala persoalan anggaran.
Alih-alih meningkatkan mutu dan kualitas, Herlambang menilai yang terjadi justru akan merusak dan mengacaukan dunia pendidikan.
“Kita ini menentang komersialisasi pendidikan, kok malah dikasih umpan komersialisasi dalam bentuk tambang. Itu sudah sesat pikir terhadap upaya membangun pendidikan. Pendidikan ya pendidikan fungsinya, bukan bisnis," ungkapnya.
Pemberian WIUP untuk perguruan tinggi ini juga mendapat penolakan dari Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Fathul Wahid.
"Kalau saya ditanya, UII ditanya, jawabannya termasuk yang tidak setuju, karena kampus wilayahnya tidak di situ," tegas Fathul.
Menurut Fathul keterlibatan perguruan tinggi dalam bisnis tambang juga berpotensi menggerus sensitifitas terhadap persoalan lingkungan dan peran kampus sebagai kekuatan moral.
"Saya khawatir juga bahwa ketika kampus masuk di sana, itu menjadi tidak sensitif karena logika bisnisnya menjadi dominan karena uang itu biasanya agak menghipnotis. Kalau itu sampai terjadi akan berbahaya," katanya.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Hibnu Nugroho memiliki pendapat berbeda.
Menurutnya, kekhawatiran potensi konflik kepentingan kampus mengenai tujuan Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan urusan bisnis tambang, sebenarnya tergantung dari cara pandang masing-masing pihak.
"Kalau saya tidak (khawatir), tergantung prespektifnya," kata Hibnu.
Hibnu justru menilai bahwa salah satu dampak positif keterlibatan perguruan tinggi dalam pengelolaan bisnis tambang itu bisa menjadi sumber pendapatan tambahan yang membantu finansial perguruan tinggi, terutama bagi Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum atau PTN BLU.
"Karena PTN apalagi dengan BLU wajib mencari pendanaan," katanya.
Sedangkan, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira justru khawatir perguruan tinggi dan ormas nantinya hanya sebatas menjadi broker.
Pasalnya, selain memerlukan kompetensi khusus, pengelolaannya tambang juga memerlukan modal awal yang besar.
"Jadi nanti yang mengelola tambangnya bukan kampus, mereka hanya dapat IUP, tapi pengelolanya tetap diberikan kepada swasta," kata Bhima.
"Jadi memang seharusnya ada pansus. Karena ini kejahatan yang telanjang di depan publik."
"...konsesi pertambangan untuk ormas keagamaan itu maslahatnya lebih besar daripada mafsadahnya," pungkasnya.
"Kami melihat tidak semua perguruan tinggi memiliki kemampuan dan memiliki prodi pertambangan dan geologi,"
Titiek menegaskan laut milik semua pihak.
Dia juga membandingkan anak tersebut dengan putranya, yang menurutnya tidak pernah mengeluh soal makanan sederhana seperti nasi kotak.
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), Nenden Sekar Arum, menegaskan pentingnya kajian komprehensif.
Keterlibatan perguruan tinggi dalam bisnis tambang akan menggerus sensitivitas terhadap persoalan lingkungan dan peran kampus sebagai kekuatan moral.
Trenggono melaporkan kepada Prabowo bahwa pemasangan pagar laut tersebut dilakukan tanpa izin resmi.
Pembongkaran melibatkan 600 personel, termasuk anggota TNI AL dan nelayan. Menurut TNI AL, aksi ini dilakukan atas perintah Presiden Prabowo Subianto.
Jamiluddin menilai dari kasus Menteri Satryo yang didemo pegawainya sendiri menunjukan bahwa yang bersangkutan tidak mampu untuk memimpin lembaganya.
Saya diusir layaknya penghuni kost yang tidak membayar sewa?