Saat BPJS Tidak Menanggung Semua Biaya Pengobatan, Asuransi Swasta Jadi Solusi?
Home > Detail

Saat BPJS Tidak Menanggung Semua Biaya Pengobatan, Asuransi Swasta Jadi Solusi?

Chandra Iswinarno | Lilis Varwati

Jum'at, 17 Januari 2025 | 22:46 WIB

Suara.com - Anggapan akses kesehatan hanya milik orang kaya kembali muncul ke permukaan, imbas Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyatakan bahwa BPJS Kesehatan tidak bisa menanggung lagi seluruh biaya pengobatan.

Alhasil, masyarakat diminta untuk juga punya asuransi swasta untuk menutupi selisih biaya pengobatan.

"Idealnya, jika BPJS tidak bisa menanggung semua, sisanya dapat di-cover oleh asuransi tambahan di atas BPJS," kata Budi di Jakarta, Kamis (16/1/2025).

Sebelumnya, Ketua Komisi VII DPR Saleh Partaonan Daulay meminta pemerintah mewaspadai defisit BPJS Kesehatan yang diperkirakan mengalami defisit sebesar Rp 20 triliun di 2024.

Saleh mengungkapkan bila tak segera diantisipasi, defisit bakal terus berlanjut pada waktu dan tahun berikutnya. Bahkan, ia mengatakan dalam kurun waktu tertentu, bahkan tidak tertutup kemungkinan terjadi gagal bayar.

"Semakin banyak pasien yang datang, maka semakin besar biaya yang harus dibayar ke fasilitas kesehatan. Sementara sumber pemasukan tidak bertambah," katanya.

Persoalan tersebut diakui Advokasi Jaminan Sosial BPJS Watch Timbul Siregar. Ia menilai bahwa rencana Menkes Budi agar kebijakan urun biaya pengobatan penyakit memang diatur dalam Pasal 22 Ayat 2 Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Namun, ia menekankan bahwa urun biaya hanya digunakan untuk pengobatan tambahan yang tidak fundamental, misalnya tambahan vitamin. Sementara pengobatan utama, tidak dibebankan kepada pasien.

Sebagaimana diatur pada Pasal 68 Perpres 82 tahun 2018 ayat 1 yang menyatakan kalau rumah sakit tidak boleh meminta biaya tambahan kepada pasien atas hak pengobatan.

"Jadi kalau dari sisi landas yuridisnya itu udah nggak tepat aja, urun biaya sampai sekarang nggak ada. Selisih biaya ada, tapi hanya untuk naik kelas, bukan masalah pelayanan medisnya," kata Timbul kepada Suara.com, Jumat (17/1/2025).

Sementara itu, Direktur Deputi Prakarsa Victoria Fanggidae menilai bahwa apabila pernyataan Menkes Budi direalisasikan menjadi kebijakan bakal berdampak pada meningkatnya beban tambahan bagi masyarakat maupun pemerintah sendiri.

Ia mencontohkan, dalam konteks Penerima Bantuan Iuran atau PBI yang iuran BPJS 100 persen ditanggung pemerintah, konsekuensinya pemerintah juga harus membayar selisih pengobatan.

"PBI hampir separuh dari seluruh peserta BPJS Kesehatan. Apakah pemerintah bersedia menanggung selisihnya dalam konteks anggaran negara sekarang? Untuk non PBI, peserta juga akan langsung terdampak karena beban selisih tanggungan biaya harus mereka tanggung," ujarnya kepada Suara.com, Jumat (17/1/2025) malam.

Ketimbang mengambil langakh tersebut, Victoria menilai akan lebih baik menaikkan biaya iuran atau memperketat screening kesehatan peserta sehingga tingkat risiko sejak awal sidah diperhitungkan.

Beban Berat Bagi Penerima PBI

Aturan tentang penerima PBI BPJS Kesehatan yang diatur dalam Permensos nomor 21 tahun 2019 menjelaskan salah satu kriterianya, yakni masyarakat yang tidak punya sumber pendapatan dan tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup dasarnya secara mandiri.

Atas dasar itu, menurut Victoria, peserta PBI tentu akan kesulitan jika dipaksa untuk memiliki asuransi swasta.

"Ini masyarakat 40 persen pendapatan terbawah, yang bisa dikatakan untuk hidup sehari-hari saja sulit. Jika pemerintah mau memaksa, perlu perhitungkan kelas pendapatan, atau ditalangi dengan dana alternatif lain," ucapnya.

Selain kesadaran berasuransi masih rendah, menurut Victoria yang seharusnya diperhatikan pemerintah ialah wacana CoB atau coordination of benefit dengan asuransi swasta.

"Kalau menyuruh masyarakat ikut asuransi swasta tapi tetap diwajibkan BPJS tanpa mendapatkan manfaat lain selain bayar dobel, tentunya masyarakat akan merasa tidak adil dan kalau bisa memilih, akan cabut dari BPJS," tuturnya.

Perbaiki Daftar Penerima PBI

Meski BPJS Kesehatan defisit anggaran, pemerintah seharusnya tidak menurunkan fasilitas. Lantaran masih banyak celah yang bisa dilakukan oleh Kemenkes untuk meningkatkan pendapatan anggaran BPJS.

Salah satunya yang bisa dilakukan segera dengan membenahi jumlah Penerima Bantuan Iuran atau PBI jaminan kesehatan.

Menurutnya, anggaran BPJS Kesehatan bisa saja tercukup dengan membenahi PBI tersebut tanpa menurunkan layanan fasilitas untuk masyarakat.

Merujuk pada Survei Kesehatan Indonesia tahun 2023 dari Kemenkes tercatat kalau 35 persen peserta PBI jaminan kesehatan ialah pegawai swasta. Padahal, kelompok tersebut sebenarnya tidak patut sebagai peserta PBI.

"Pemerintah harusnya tegas, 'pegawai swasta nggak boleh jadi peserta PBI, apalagi kasusnya Harvey Moeis dan sebagainya. Itu hanya untuk orang miskin dan tidak mampu," kata Timbul.

Dalam catatannya, apabila pekerja swasta diminta untuk bayar iuran secara mandiri, maka akan menghasilkan anggaran untuk BPJS sebanyak Rp 90 triliun.

Nominal itu hampir tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan bila sektor swasta jadi peserta PBI karena BPJS hanya mendapat 34 triliun rupiah.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. [Suara.com/Lilis Varwati]
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. [Suara.com/Lilis Varwati]

Manfaatkan Cukai Rokok

Selain dari iuran, pemerintah juga dinilai belum optimal memanfaatkan anggaran cukai. Terutama salah satunya ialah cukai rokok yang termasuk pendapat terbesar bagi negara. Sayangnya, pendapatan BPjS Kesehatan dari pajak rokok sampai saat ini baru Rp1,24 triliun pada 2020.

"Kalau saya hitung, itu bisa mencapai 7-8 triliun setiap tahun. Tapi kan faktanya, yang dikasih Rp1 triliun," ucapnya.

Menurut Timbul, perlu kesadaran serta peran dari setiap daerah menerima cukai rokok agar mau melibi Kementerian Keuangan untuk mengubah aturan terkait pajak rokok supaya pendapatan untuk BPJS kesehatan bisa ditambah.

"Harusnya dikembalikan ke Pasal 99, sehingga untuk meningkatkan pendapatan. Namanya cukai rokok adalah usaha untuk membiayai korban rokok. Tapi nggak diseriusin oleh pemerintah daerah," kritiknya.

Menkes Endorse Asuransi Swasta

Menkes Budi dituding telah lakukan promosi atau endorse secara tidak langsung terhadap asuransi swasta.

Budi pun dikritik karena dituding tidak mengenal karakter masyarakat Indonesia yang belum terlalu 'melek' dengan asuransi kesehatan swasta.

Belum lagi persoalan, premi asuransi swasta yang memang tidak murah.

"ekarang asuransi kesehatan swasta yang paling murah itu paling Rp 500 ribu per bulan. Artinya, kita bicara satu keluarga, satu keluarga tiga orang aja sudah Rp 1,5 juta, belum lagi biaya premi ada Rp 1 juta, ada Rp 5 juta dan sebagainya, itu tidak akan mungkin," katanya.

Melihat karakter tersebut, asuransi kesehatan swasta sebenarnya masih lebih cocok bagi masyarakat yang memang sudah ingin naik kelas untuk layanan kesehatan. Akan tetapi, tidak perlu sampai masuk dalam skema pembayaran BPJS dengan sistem urun biaya.

"Kalaupun ada urun biaya, itu untuk kelompok menengah atas, orang-orang kaya lah. Tapi tidak untuk yang masyarakat. Kalau yang disampaikan Pak Menteri ini menjeneralisir. Kesannya, orang yang setengah kaya, disuruh ikut asuransi," kritiknya.

Dalam kondisi ekonomi yang sulit, Timbul mengemukakan, seharusnya Menkes Budi bisa memberikan suatu wacana yang memberikan optimisme kepada masyarakat bahwa layanan akses kesehatan memang bisa didapatkan siapa saja.


Terkait

Pejabat Jalur Buzzer: Strategi Meredam Kritik atau Upaya Orkestrasi Pencitraan Publik?
Jum'at, 17 Januari 2025 | 14:21 WIB

Pejabat Jalur Buzzer: Strategi Meredam Kritik atau Upaya Orkestrasi Pencitraan Publik?

Kabinet Presiden Prabowo, menurut Pengamat Media Sosial Drone Emprit, Nova Mujahid, tak jauh berbeda dengan era Jokowi.

Buzzer Jadi Pejabat: Dulu Dibayar, Sekarang Digaji
Jum'at, 17 Januari 2025 | 08:05 WIB

Buzzer Jadi Pejabat: Dulu Dibayar, Sekarang Digaji

Disebutkan bahwa bayaran buzzer di Indonesia berkisar antara Rp 1 juta hingga Rp 50 juta untuk sekali kontrak

Pendengung Berdasi: Kala Buzzer Naik Pangkat Jadi Pejabat
Kamis, 16 Januari 2025 | 20:35 WIB

Pendengung Berdasi: Kala Buzzer Naik Pangkat Jadi Pejabat

Rudi Valinka ditengarai merupakan sosok di balik akun X (dulu Twitter) bernama @kurawa. Ia dikenal sebagai buzzer Jokowi

Terbaru
Review Film The Toxic Avenger, Superhero 'Menjijikkan' yang Anehnya Cukup Menghibur
nonfiksi

Review Film The Toxic Avenger, Superhero 'Menjijikkan' yang Anehnya Cukup Menghibur

Sabtu, 25 Oktober 2025 | 08:00 WIB

Film ini rilis perdana di festival pada 2023, sebelum akhirnya dirilis global dua tahun kemudian.

Tentang Waktu yang Berjalan Pelan dan Aroma Kopi yang Menenangkan nonfiksi

Tentang Waktu yang Berjalan Pelan dan Aroma Kopi yang Menenangkan

Jum'at, 24 Oktober 2025 | 13:06 WIB

Di sebuah kafe kecil, waktu seolah berhenti di antara aroma kopi dan tawa hangat, tersimpan pelajaran sederhana. Bagaimana caranya benar-benar di Buaian Coffee & Service.

Review Film No Other Choice yang Dibayang-bayangi Kemenangan Parasite di Oscar, Lebih Lucu? nonfiksi

Review Film No Other Choice yang Dibayang-bayangi Kemenangan Parasite di Oscar, Lebih Lucu?

Sabtu, 18 Oktober 2025 | 09:05 WIB

No Other Choice memiliki kesamaan cerita dengan Parasite, serta sama-sama dinominasikan untuk Oscar.

Kuku Kecil Mimpi Besar: Cerita Vio, Mahasiswa yang Menyulap Hobi Jadi Harapan nonfiksi

Kuku Kecil Mimpi Besar: Cerita Vio, Mahasiswa yang Menyulap Hobi Jadi Harapan

Jum'at, 17 Oktober 2025 | 13:12 WIB

Di tengah padatnya kuliah, mahasiswa Jogja bernama Vio menyulap hobi nail art menjadi bisnis. Bagaimana ia mengukir kesuksesan dengan kuku, kreativitas, dan tekad baja?

Review Film Rangga & Cinta: Bikin Nostalgia Masa Remaja, Tapi Agak Nanggung nonfiksi

Review Film Rangga & Cinta: Bikin Nostalgia Masa Remaja, Tapi Agak Nanggung

Sabtu, 11 Oktober 2025 | 09:00 WIB

Rangga & Cinta tak bisa menghindar untuk dibandingkan dengan film pendahulunya, Ada Apa Dengan Cinta? alias AADC.

Review Tukar Takdir, Bukan Film yang Bikin Penonton Trauma Naik Pesawat! nonfiksi

Review Tukar Takdir, Bukan Film yang Bikin Penonton Trauma Naik Pesawat!

Sabtu, 04 Oktober 2025 | 12:33 WIB

Mouly Surya dan Marsha Timothy kembali menunjukkan kerja sama yang memukau di film Tukar Takdir.

Arsitektur Sunyi 'Kremlin', Ruang Siksa Rahasia Orba yang Sengaja Dilupakan nonfiksi

Arsitektur Sunyi 'Kremlin', Ruang Siksa Rahasia Orba yang Sengaja Dilupakan

Selasa, 30 September 2025 | 19:26 WIB

Ada alamat di Jakarta yang tak tercatat di peta teror, namun denyutnya adalah neraka. Menelusuri 'Kremlin', ruang-ruang interogasi Orde Baru, dan persahabatan aneh di Cipinang

×
Zoomed