Suara.com - Manuver Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menarik perhatian publik. Ia merekrut Rudi Sutanto, atau yang dikenal sebagai Rudi Valinka, sebagai Staf Khusus bidang Strategis Komunikasi. Rudi diduga adalah Kurawa, sosok pendengung aktif di media sosial.
Langkah ini menuai sorotan, terutama di era Presiden Prabowo Subianto. Sejumlah pakar menilai keputusan tersebut mirip dengan strategi Presiden ke-7, Joko Widodo, yang memanfaatkan media sosial untuk membangun persepsi publik terhadap pemerintah.
Kabinet Presiden Prabowo, menurut Pengamat Media Sosial Drone Emprit, Nova Mujahid, tak jauh berbeda dengan era Jokowi.
“Bedanya, sekarang influencernya lebih sedikit. Sebagian besar di presidential chamber, kantor yang dipimpin Pak Hasan Nasbi, diisi orang-orang terkenal, dari media, atau influencer,” ujarnya kepada Suara.com, Jumat (17/1/2025).
Nova mengungkapkan kekhawatiran terkait efektivitas posisi yang diisi oleh influencer. Ia menyoroti pengalaman era Jokowi. Kala itu sebagian staf khusus dinilai tidak memiliki kontribusi yang jelas. Publik juga sulit melihat hasil kerja mereka secara transparan.
Sebagai contoh, Nova menyebut staf khusus milenial yang diangkat Jokowi.
"Kita nggak ngerti kerjaan mereka apaan. Sampai sekarang nggak jelas apa yang mereka lakukan," tegasnya.
Ia juga menilai pengangkatan mereka sering kali bukan karena kemampuan, melainkan hasil lobi politik atau titipan tertentu.
"Itu buang-buang anggaran," pungkasnya.
Masifnya Peran Buzzer era Jokowi
Pemerintahan Jokowi dikenal dengan penggunaan buzzer yang masif di media sosial. Strategi ini berkembang pesat, menjadikan buzzer sebagai alat utama untuk membentuk opini publik, baik mendukung maupun mengkritik kebijakan pemerintah.
Namun, Nova menilai bahwa penggiringan opini sebenarnya bisa dilakukan tanpa melibatkan mereka secara langsung dalam pemerintahan.
“Tidak ada urgensi untuk itu,” tegasnya.
Meski begitu, pemerintahan Jokowi tetap memilih menggandeng buzzer ke dalam lingkar kekuasaan.
Kehadiran buzzer di era Jokowi tidak hanya terlihat di permukaan media sosial. Menurut Nova, ada pola-pola kompleks yang muncul, seperti penggunaan aparat untuk menekan akun-akun kritis terhadap pemerintah.
Pemilik akun tersebut kerap dipanggil oleh polisi atau kejaksaan. Beberapa menjadi korban doxing, troll, atau bahkan serangan fisik.
“Banyak yang diserang dengan cara-cara keras. Ada diskusi yang dibubarkan, orang yang dipersekusi, mobil diintimidasi, hingga ada yang dipukuli,” ungkapnya.
Situasi ini menunjukkan bahwa di era Jokowi, buzzer dan pendukung pemerintah tidak hanya mendominasi ruang digital, tetapi juga menekan oposisi melalui cara fisik dan sosial.
Dinamika Buzzer era Prabowo
Di bawah pemerintahan Prabowo, Nova menganggap, masih terlalu dini untuk memberikan penilaian menyeluruh karena masa pemerintahannya belum mencapai 100 hari.
Namun, Nova Mujahid mencatat bahwa pengaruh media sosial terhadap kebijakan terlihat lebih terkendali dibandingkan era sebelumnya.
“Sejauh ini, saya belum melihat kebijakan yang dipengaruhi oleh diskusi ramai di media sosial,” ujarnya.
Meski begitu, Nova menyebut protes publik melalui media sosial sempat memengaruhi keputusan pemerintah terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen.
Peran buzzer juga tampak berkurang di era Prabowo, meskipun wacana di media sosial tetap memengaruhi kebijakan pemerintah.
Di era Jokowi, respons terhadap tekanan publik di media sosial sering memicu kebijakan yang, menurut Nova, tidak selalu berbasis data atau riset objektif.
“Saat ini, fokus pemerintah tampaknya berbeda. Tapi beberapa bulan ke depan, kita lihat apakah media sosial akan menjadi perhatian utama lagi,” tambahnya.
Nova juga menyoroti tantangan yang dihadapi Prabowo, termasuk program makan bergizi gratis yang membebani anggaran.
“Dengan anggaran triliunan dan APBN yang defisit, belum lagi program prioritas lainnya, tentu itu jadi masalah besar,” jelasnya.
Meski tekanan fisik atau intimidasi keras belum terlihat selama tiga bulan pemerintahan Prabowo, Nova mengingatkan adanya potensi polarisasi yang meningkat, baik di dunia maya maupun nyata.
Mengalihkan Kritik Terhadap Kebijakan
Salah satu pola yang muncul adalah trolling untuk mengalihkan kritik terhadap kebijakan, seperti yang terjadi pada program makan bergizi gratis. Trolling tersebut meredam diskusi tanpa berujung pada intimidasi fisik seperti di era Jokowi.
Peneliti dari Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, Wawan Kurniawan, mengingatkan bahwa dalam politik, kepercayaan dan verifikasi fakta menjadi sangat penting. Penyebaran informasi yang salah melalui influencer atau bahkan buzzer dapat terjadi dengan cepat dan berdampak luas.
Ketergantungan pada influencer dalam politik berpotensi merusak kualitas diskusi demokratis.
“Alih-alih membahas isu substantif, narasi sering kali berfokus pada citra dan popularitas,” kata Wawan.
Risiko lainnya adalah meningkatnya polarisasi di masyarakat, yang dapat melemahkan hubungan antarwarga negara.
Disebutkan bahwa bayaran buzzer di Indonesia berkisar antara Rp 1 juta hingga Rp 50 juta untuk sekali kontrak
Pasalnya Rudi Valinka ini disebut buzzer alias pendengung karena diduga kuat pemilik akun X @/kurawa.
Rudi Valinka ditengarai merupakan sosok di balik akun X (dulu Twitter) bernama @kurawa. Ia dikenal sebagai buzzer Jokowi
Putranto menegaskan bahwa setiap kementerian dan lembaga memiliki kewenangan untuk menunjuk calon staf khusus mereka masing-masing.
Disebutkan bahwa bayaran buzzer di Indonesia berkisar antara Rp 1 juta hingga Rp 50 juta untuk sekali kontrak
Rudi Valinka ditengarai merupakan sosok di balik akun X (dulu Twitter) bernama @kurawa. Ia dikenal sebagai buzzer Jokowi
Dana ini belum mampu mencakup seluruh anak sekolah di Indonesia.
Ide penggunaan dana zakat tersebut merupakan lontaran Najamuddin dalam pendanaan makan bergizi gratis yang membuka tabir program Pemerintahan Prabowo-Gibran.
Bersatunya Megawati dan Prabowo menjadi tanda pengaruh Jokowi sudah luntur
Selain dinilai semakin mempertebal kesenjangan dan diskriminasi pendidikan, ide tersebut juga dianggap sebagai langkah mundur ke era kolonial.
Lantas, apa sebenarnya yang ada dipikiran pelaku sehingga ia tega melakukan pemerkosaan kepada anak di bawah umur?