Suara.com - Dalam suasana penuh canda saat berpidato di HUT PDI Perjuangan (PDIP) ke-52, Megawati Soekarnoputri mengungkit permintaan kader yang memintanya kembali menjadi ketua umum.
Presiden RI kelima itu sempat menyatakan, selama masih kuat dan sehat, siap meneruskan perjuangan partai sesuai amanat kader. Namun, ia ragu ketika melihat kader-kadernya yang justru tampak tak bersemangat.
"Ayo tepuk tangan yang hebat ngono loh! Katanya minta saya ketum lagi, ketum lagi, tapi anak buahku nek ngene kabeh, emoh!" ucap Megawati dalam acara HUT PDIP ke-52 di Sekolah Partai PDIP, Lenteng, Agung, Jakarta Selatan, Jumat (10/1/2025).
Dalam Rapat Kerja Nasional atau Rakernas V PDIP yang digelar pada Mei 2024 lalu, seluruh kader telah mengamanatkan Megawati untuk kembali menjadikan Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum periode 2025-2030.
Rekomendasi itu selanjutnya akan dibawa dalam Kongres VI PDIP yang dijadwalkan digelar pada April 2025.
Dalam pidatonya di HUT PDIP ke-52, Megawati juga sempat mengungkap adanya berbagai ujian yang dihadapi partainya menjelang kongres.
Ia sempat menyinggung sebuah istilah atau frasa Italia, vivere pericoloso, yang memiliki arti tahun menyerempet bahaya.
Salah satu ujian yang dimaksud Megawati adalah adanya upaya pihak —tidak disebutkan nama— yang ingin merebut kursi ketua umum.
“Mau nggak sama yang kepengin itu?” tanya Megawati. Kader yang hadir lalu serentak menjawab “nggak!”
Megawati juga menegaskan PDIP partai yang telah teruji mampu melewati gangguan-gangguan semacam itu sejak Orde Baru.
Bagaimana PDIP Tanpa Megawati?
Kursi ketua umum di partai banteng moncong putih kembali memanas. Cerita ini dimulai saat mantan kader PDIP Effendi Simbolon merespons kasus yang menimpa Hasto Kristiyanto.
Ia menilai kasus yang menyeret Hasto menjadi malapetaka besar bagi PDIP dan harus ada pihak bertanggung jawab.
"Harus ada pertanggungjawaban dari ketua umum juga bahwa ini kan ada pelanggaran hukum," katanya, beberapa waktu lalu
Terkait bentuk pertanggungjawaban, Effendi secara tidak langsung menyebut Megawati sebagai Ketua Umum PDIP harus mundur dari jabatan.
"Dia harus mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban atas, ini kan masalah serius, masalah hukum, bukan masalah sebatas etika yang digembar-gemborkan ini hukum," katanya.
Pernyataan Effendi Simbolon tersebut memancing Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Bidang Politik Puan Maharani menyampaikan pernyataan tegas.
Puan menyatakan, partainya tetap solid menghadapi berbagai dinamika. Lantaran itu, ia meminta semua pihak menghormati mekanisme internal PDIP menyusul adanya dorongan soal pergantian Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri.
“Kami solid, kami yakin insyaallah bahwa Kongres adalah proses tertinggi dari proses internal suatu partai, bukan hanya PDI Perjuangan,” kata Puan kepada awak media, beberapa waktu lalu.
Tak hanya itu, ia pun mengingatkan kepada semua pihak untuk saling menghargai dan menghormati.
"Kita jangan berandai-andai. Kita saling menghargai dan menghormati proses internal yang ada di suatu partai. Jadi, kita ikuti proses yang ada di Partai PDI Perjuangan. Prosesnya itu untuk internal adanya di kongres," ujarnya.
Respons lebih tegas lagi diwujudkan di kalangan akarrumput. Sejumlah wilayah basis PDIP di berbagai daerah melakukan aksi cap jempol darah untuk mendukung kembali Megawati menjadi ketua umum.
Sejumlah DPC PDIP, seperti di Tangerang Selatan, Surabaya hingga Solo, kader partai banteng melakukan aksi cap jempol darah untuk menunjukan kesetiannya terhadap Megawati Soekarnoputri.
Ketua DPC PDIP Solo FX Hadi Rudyatmo menegaskan bahwa aksi cap jempol darah ditengarai karena ada yang ingin mengganggu PDIP.
"Ini untuk menunjukan militansi, loyalitas, dan kedisplinan kader partai Solo ini serta memberikan dukungan Mbak Mega sebagai ketua umum," tegasnya.
Pengamat dinasti politik Yoes Kenawas menilai bahwa dinamika politik yang terjadi saat ini memang belum ada figur bisa menggantikan Megawati sebagai ketua umum.
Adanya upaya pihak eksternal yang ingin mengawut-awut PDIP, salah satu faktor pendorong Megawati untuk kembali menjadi patron.
Belum lagi persoalan di internal partai yang masih terbelah dengan adanya faksi Puan Maharani dan Prananda Prabowo.
“Apakah ini waktu yang tepat untuk Megawati memberikan estafet kepada salah satu anaknya Puan atau Prananda? Karena yang kita tahu bahwa keduanya ini punya posisi yang cukup berseberangan,” kata Yoes kepada Suara.com, Jumat (10/1/2025).
Walau begitu, peneliti dari Institute for Advanced Research (IFAR) Atma Jaya itu mengatakan, regenerasi memang sudah semestinya dilakukan PDIP.
Potensi terjadinya konflik di internal yang lebih besar, kata Yoes, justru bisa terjadi jika regenerasi terlambat dilakukan.
“Kalau misalkan kita berandai-andai Megawati memilih Puan atau Prananda saat ini, kalaupun ada konflik itu masih bisa di-resolve oleh Megawati sebagai final arbiter,” ungkapnya.
Segendang sepenarian dengan itu, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Andalas (Unand) Asrinaldi mengatakan, regenerasi kepemimpinan partai politik sangat penting.
Sebab demokrasi dalam sistem politik, kata dia, juga bergantung pada demokrasi di internal partai politik.
Sebagai gantinya, Asrinaldi menyebut, Megawati dapat mengisi jabatan Ketua Dewan Pembina PDIP. Sehingga, ia pun masih bisa memberi komando kepada ketua umum selanjutnya.
Sementara terkait siapa suksesi Megawati, kata dia, PDIP saat ini memang masih membutuhkan figur trah Soekarno. Pasalnya, jika itu tidak dikedepankan akan berpengaruh terhadap ‘nilai jual’ PDIP.
“Karena nilai nasionalismenya dan marhaen,” ungkap Asrinaldi kepada Suara.com, Jumat (10/1/2025). “Basis-basis politik tradisional juga masih ada yang menganggap bahwa trah Soekarno itu sebagai panutan bagi mereka.”
Walau begitu, Asrinaldi menilai PDIP juga patut mempertimbangkan figur-figur di luar trah Soekarno. Bisa jadi, kepemimpinan figur di luar trah Soekarno itu justru bisa mengurangi faksi-faksi yang ada selama ini.
Oposisi atau Koalisi
PDIP hingga kekinian secara resmi belum memutuskan sikap politiknya untuk bergabung mendukung pemerintah Prabowo-Gibran atau di luar pemerintah sebagai oposisi.
Pada Oktober 2024 lalu, Ketua DPP PDIP Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul mengungkap tiga kubu beda pendapat di internal partainya. Ada yang ingin segera bergabung atau koalisi, menunggu perkembangan, dan oposisi.
Apabila melihat sejarah, adanya perbedaan pandangan di internal PDIP itu tidak terlepas dari latar belakang kepentingan para kader. Baik kader lama atau baru.
Dalam satu sesi wawancara, Wakil Sekjen DPP PDIP periode 2000-2005 Jacobus K Mayong Padang sebagaimana tertuang dalam buku AW Kaligis mengungkap tiga kelompok kader-kader lama PDIP.
Pertama, kelompok yang sepenuhnya berjuang untuk demokrasi dan ideologi. Kedua, kelompok yang sakit hati karena tidak bisa masuk dalam sistem Orde Baru sehingga mendukung PDIP.
Ketiga, kelompok hedonis yang karena tidak memiliki modal memilih menghabiskan waktu di partai untuk mencari uang.
Sementar di kalangan kader baru PDIP, Mayong juga menyebut terdapat tiga kelompok. Pertama, kelompok yang berorientasi pada kepentingan ideologis yang jumlahnya sangat kecil.
Kedua, kelompok yang memiliki masalah dengan Orde Baru dan melihat PDIP potensial untuk menjadi besar serta menjadikannya sebagai tameng. Ketiga, kelompok yang mencari atau berorientasi pada kekuasaan dan materi.
Menurut Mayong, kekalahan PDIP pasca-Pemilu 1999 adalah kekalahan ideologis yang disebabkan kemerosotan moral kader-kader lama maupun baru di tubuh PDIP tersebut. Khususnya, ketika partai sudah berkuasa.
PDIP lalu kembali membangun politik ideologis ketika menjadi oposisi di dua periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY (2004-2014). Buah hasil daripada itu, PDIP kembali meraih kemenangan di dua periode Pilres pada 2014 dan 2019.
Asrinaldi juga menilai pengalaman tersebut semestinya dijadikan pijakkan PDIP untuk berani mengambil sikap politik di luar pemerintahan Prabowo-Gibran.
Menurutnya menjadi oposisi setelah kalah di Pilpres 2024, berpotensi memberi dampak keuntungan di tengah mayoritas partai yang memilih bergabung ke dalam pemerintahan.
“Bahkan kekuatan PDIP dapat semakin eksis di masyarakat,” katanya.
Sejalan dengan itu, Asrinaldi berpendapat, menjadi oposisi adalah posisi strategis bagi PDIP. Sekaligus menjadi momentum yang tepat untuk melakukan regenerasi di pucuk pimpinan partai.
“Nah ini perlu darah segar, orang yang berpikir progresif, dan bisa menyiapkan agenda-agenda partai ini ke depan.Tentu di PDIP tersedia banyak kader yang punya potensi untuk ini,” katanya.
Yang mendampingi Pak Hasto adalah pak Maqdir Ismail..."
Alasan dasar dari permohonan penundaan itu karena pihak penasihat hukum telah mengajukan permohonan praperadilan."
Segala sesuatunya, Mas Hasto sudah sampaikan, sudah siap (ditahan) dengan kepala tegak dan mulut tersenyum,
Berkaitan dengan apa yang terjadi terhadap kasus saya, sepenuhnya baik secara formil maupun materil, kami telah siap..."
Perilaku Firli Bahuri yang menolak penetapan tersangka yang diajukan para penyidik, bukan suatu hal baru.
Per Januari 2025, Indonesia memang mulai menggunakan B40.
Kalau boleh jujur, Pandji jadi man of the match pertunjukan The Founder5.
Kalau memang harus dihapus saya setuju, tapi lebih ke semangat penghapusan diskriminasinya, kata Shinte.
Firli disebut memiliki peran dalam mengintervensi kasus yang juga menjerat Harun Masiku.
Suatu ketika, Raymond pernah meminta Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) untuk menuliskan Tidak Beragama pada kolom agama di KTP.
Mendikdasmen Abdul Mu'ti menyatakan pengetahuan soal pasar modal memungkinkan dimasukkan dalam mata pelajaran matematika.