Membaca Arah Wacana Pemerintahan Prabowo Subianto Babat 20 Juta Hektare Hutan: Benarkah Demi Penuhi Kebutuhan B40?
Home > Detail

Membaca Arah Wacana Pemerintahan Prabowo Subianto Babat 20 Juta Hektare Hutan: Benarkah Demi Penuhi Kebutuhan B40?

Bimo Aria Fundrika | Yaumal Asri Adi Hutasuhut

Senin, 13 Januari 2025 | 07:41 WIB

Suara.com - Presiden Prabowo sempat mengusulkan perluasan lahan sawit tanpa khawatir deforestasi. Sejumlah pihak menilai wacana itu sebagai langkah mendukung produksi bahan bakar B40.

Per Januari 2025, Indonesia memang mulai menggunakan B40. B40 adalah campuran 40 persen biodiesel berbasis minyak nabati dan 60 persen solar.

Program mandatori B40 diatur dalam Keputusan Menteri ESDM No. 341.K/EK.01/MEM.E/2024 tentang Pemanfaatan Biodiesel 40 persen sebagai campuran solar

Usulan ini diduga akan diwujudkan melalui pembukaan 20 juta hektare hutan. Pada 30 Desember 2024, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni sempat menyebut, pembukaan hutan ini akan dimanfaatkan untuk cadangan pangan, energi, dan air.

Kekayaan Raja Juli Antoni (Instagram/rajaantoni)
Kekayaan Raja Juli Antoni (Instagram/rajaantoni)

Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI, Uli Arta Siagian, mengatakan Kementerian Kehutanan seharusnya menjadi garda terdepan menjaga hutan. Sebagai penjaga, mereka harus berada di garis depan untuk mencegah pembongkaran hutan. Bukan malah merencanakannya dan melegitimasi atas nama pangan dan energi. 

“Ini menunjukkan bahwa Presiden dan Menteri Kehutanan tidak memahami tugas dan tanggung jawab mereka."

Uli juga menduga bahwa pembukaan 20 juta hektare lahan kemungkinan besar untuk mendukung program B40.

"Pembukaan ini termasuk dalam alokasi hutan untuk pangan dan energi, yang masuk kategori swasembada energi," ujar Uli kepada Suara.com, Jumat (10/1/2025).

Namun, Uli mengkritik kebijakan tersebut. Menurutnya, menerapkan energi terbarukan sambil merusak lingkungan bertentangan dengan komitmen iklim Indonesia.

Bahan bakar biodiesel, sebagai ilustrasi [Shutterstock].
Bahan bakar biodiesel, sebagai ilustrasi [Shutterstock].

Riset LPEM FEB UI pada 2020 menunjukkan defisit lahan produktif terus meningkat seiring kenaikan campuran biodiesel. Pemerintah menaikkan campuran biodiesel dari B35 pada 2023, menargetkan B50 pada 2026, hingga B100 di masa depan.

Program ini bertujuan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Namun, laporan LPEM FEB UI dan Greenpeace Indonesia memperkirakan, untuk memenuhi kebutuhan biodiesel pada 2025, diperlukan perluasan lahan sawit hingga 9,29 juta hektare.

Uli menilai kebijakan pemerintah yang mendorong energi terbarukan tetapi merusak lingkungan bertentangan dengan komitmen iklim Indonesia. Dalam Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia berjanji mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 29 persen secara mandiri atau 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030.

Kementerian ESDM mulai melakukan uji jalan kendaraan diesel dengan bahan bakar B40. [Antara]
Kementerian ESDM mulai melakukan uji jalan kendaraan diesel dengan bahan bakar B40. [Antara]

Pembukaan 20 juta hektare hutan akan memicu pelepasan emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar. Selain itu, hilangnya hutan berarti hilangnya kemampuan alam menyerap karbondioksida.

"Kita mempermalukan diri sendiri di mata dunia. Komitmen mitigasi perubahan iklim yang selalu kita banggakan tidak bisa dijalankan," tegas Uli.

Hilangnya hutan juga mengancam keanekaragaman hayati. Lebih jauh, perubahan fungsi hutan menjadi perkebunan meningkatkan risiko bencana seperti banjir dan longsor.

Picu Konflik

Konflik, terutama dengan masyarakat adat, sangat mungkin terjadi dengan rencana pembukaan lahan ini. Uli mencontohkan kasus pembukaan 2 juta hektare hutan di Merauke, Papua, untuk proyek food estate. Akibatnya, masyarakat adat kehilangan ruang hidup yang mereka andalkan sejak sebelum Indonesia merdeka.

Bagi masyarakat adat, hutan bukan sekadar lahan, tetapi sumber penghidupan. Namun, mereka kerap menghadapi tindakan represif dari aparat saat mempertahankan tanahnya. Di Lampung, misalnya, seorang polisi menginjak kepala petani saat eksekusi lahan sawit milik PT Bumi Sentosa Abadi pada September 2023.

Menurut Sekretaris Aliansi Gerakan Reforma Agraria, Saiful Wathoni, perluasan sawit untuk biodiesel lebih menguntungkan perusahaan besar dibandingkan petani kecil. Hal ini memicu konflik antara perusahaan dan masyarakat.

Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 108 konflik agraria di sektor sawit pada 2023, dengan 88 kasus melibatkan perusahaan dan masyarakat. Sejak 2015 hingga 2023, terdapat 1.131 konflik agraria di sektor sawit selama era Presiden Joko Widodo.

Di Pasaman Barat, Sumatera Barat, warga Nagari Kapa berkonflik dengan PT Permata Hijau Pasaman sejak 1997. Konflik memanas lagi pada Oktober 2024, saat perusahaan menanami lahan sengketa dengan bibit sawit, didampingi kepolisian.

Konflik juga muncul dalam kemitraan. Di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, petani sawit Koperasi Tani Amanah (Koptan Amanah) bermitra dengan PT Hardaya Indie Plantation selama 17 tahun. Awalnya, petani menyerahkan lahan mereka untuk sawit dengan skema keuntungan 70 persen untuk petani dan 30 persen untuk perusahaan. Namun, perusahaan tidak menepati perjanjian. Akibatnya, petani terlilit utang ratusan juta karena biaya produksi yang terus membengkak.

Ubah Cara Pandang 

Sawit Watch menilai perluasan lahan sawit untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri bukan solusi utama. Alternatif yang lebih baik adalah intensifikasi, seperti peremajaan tanaman sawit, yang lebih efektif daripada ekspansi lahan yang merusak lingkungan.

Peremajaan bisa dilakukan melalui moratorium, yaitu penerbitan peraturan presiden untuk menunda izin baru secara permanen, dan mendorong peningkatan produktivitas lahan yang ada. Saat ini, produktivitas sawit di Indonesia hanya mencapai 12 ton per hektare per tahun, tetapi dengan peremajaan, bisa mencapai 20 ton per hektare per tahun.

Uli mengkritik pendekatan pemerintah terhadap energi terbarukan yang merusak lingkungan. Menurutnya, menghasilkan energi terbarukan dengan cara yang merusak lingkungan adalah pandangan yang salah.

Pemerintah perlu mengubah pendekatannya dengan model berbasis lokal, mengingat setiap daerah memiliki potensi energi terbarukan yang berbeda. Sebagai contoh, untuk memenuhi kebutuhan listrik di kawasan pegunungan, pembangkit listrik tenaga air bisa menjadi alternatif yang tepat.

Ilustrasi energi terbarukan untuk industri. (Shutterstock)
Ilustrasi energi terbarukan. (Shutterstock)

"Artinya,  modelnya itu bisa sangat beragam sekali sesuai dengan potensi wilayahnya masing-masing. Tetapi prinsipnya harus sama, misal satu prinsipnya itu harus berkeadilan," tegas Uli. 

Menurutnya, keadilan berarti memenuhi hak masyarakat setempat tanpa merusak lingkungan. Sumber energi terbarukan harus dibangun secara mandiri, bukan dengan utang, yang cenderung menguntungkan industri dengan potensi kerusakan lingkungan lebih besar.

"Bank dan lembaga keuangan enggan berinvestasi di pembangkit energi skala kecil, seperti mikrohidro, karena dianggap kurang menguntungkan untuk sirkulasi modal," jelasnya.


Terkait

Menyalakan Mesin Kritisisme dan Skeptisisme di The Founder5
Sabtu, 11 Januari 2025 | 14:21 WIB

Menyalakan Mesin Kritisisme dan Skeptisisme di The Founder5

Kalau boleh jujur, Pandji jadi man of the match pertunjukan The Founder5.

Jalan Sunyi Para Agnostik dan Ateis di Indonesia: Dianggap Ancaman Bagi Orang Beriman, Hingga Rentan Didiskriminasi
Jum'at, 10 Januari 2025 | 16:30 WIB

Jalan Sunyi Para Agnostik dan Ateis di Indonesia: Dianggap Ancaman Bagi Orang Beriman, Hingga Rentan Didiskriminasi

Kalau memang harus dihapus saya setuju, tapi lebih ke semangat penghapusan diskriminasinya, kata Shinte.

Tuhan Tanpa Kolom: Kebebasan Para Ateis Kandas di MK
Jum'at, 10 Januari 2025 | 08:00 WIB

Tuhan Tanpa Kolom: Kebebasan Para Ateis Kandas di MK

Suatu ketika, Raymond pernah meminta Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) untuk menuliskan Tidak Beragama pada kolom agama di KTP.

Terbaru
Review Caught Stealing, Jangan Pernah Jaga Kucing Tetangga Tanpa Asuransi Nyawa
nonfiksi

Review Caught Stealing, Jangan Pernah Jaga Kucing Tetangga Tanpa Asuransi Nyawa

Sabtu, 01 November 2025 | 08:05 WIB

Film Caught Stealing menghadirkan aksi brutal, humor gelap, dan nostalgia 90-an, tapi gagal memberi akhir yang memuaskan.

Niat Bantu Teman, Malah Diteror Pinjol: Kisah Mahasiswa Jogja Jadi Korban Kepercayaan nonfiksi

Niat Bantu Teman, Malah Diteror Pinjol: Kisah Mahasiswa Jogja Jadi Korban Kepercayaan

Jum'at, 31 Oktober 2025 | 13:18 WIB

Ia hanya ingin membantu. Tapi data dirinya dipakai, dan hidupnya berubah. Sebuah pelajaran tentang batas dalam percaya pada orang lain.

Review Film The Toxic Avenger, Superhero 'Menjijikkan' yang Anehnya Cukup Menghibur nonfiksi

Review Film The Toxic Avenger, Superhero 'Menjijikkan' yang Anehnya Cukup Menghibur

Sabtu, 25 Oktober 2025 | 08:00 WIB

Film ini rilis perdana di festival pada 2023, sebelum akhirnya dirilis global dua tahun kemudian.

Tentang Waktu yang Berjalan Pelan dan Aroma Kopi yang Menenangkan nonfiksi

Tentang Waktu yang Berjalan Pelan dan Aroma Kopi yang Menenangkan

Jum'at, 24 Oktober 2025 | 13:06 WIB

Di sebuah kafe kecil, waktu seolah berhenti di antara aroma kopi dan tawa hangat, tersimpan pelajaran sederhana. Bagaimana caranya benar-benar di Buaian Coffee & Service.

Review Film No Other Choice yang Dibayang-bayangi Kemenangan Parasite di Oscar, Lebih Lucu? nonfiksi

Review Film No Other Choice yang Dibayang-bayangi Kemenangan Parasite di Oscar, Lebih Lucu?

Sabtu, 18 Oktober 2025 | 09:05 WIB

No Other Choice memiliki kesamaan cerita dengan Parasite, serta sama-sama dinominasikan untuk Oscar.

Kuku Kecil Mimpi Besar: Cerita Vio, Mahasiswa yang Menyulap Hobi Jadi Harapan nonfiksi

Kuku Kecil Mimpi Besar: Cerita Vio, Mahasiswa yang Menyulap Hobi Jadi Harapan

Jum'at, 17 Oktober 2025 | 13:12 WIB

Di tengah padatnya kuliah, mahasiswa Jogja bernama Vio menyulap hobi nail art menjadi bisnis. Bagaimana ia mengukir kesuksesan dengan kuku, kreativitas, dan tekad baja?

Review Film Rangga & Cinta: Bikin Nostalgia Masa Remaja, Tapi Agak Nanggung nonfiksi

Review Film Rangga & Cinta: Bikin Nostalgia Masa Remaja, Tapi Agak Nanggung

Sabtu, 11 Oktober 2025 | 09:00 WIB

Rangga & Cinta tak bisa menghindar untuk dibandingkan dengan film pendahulunya, Ada Apa Dengan Cinta? alias AADC.

×
Zoomed