Suara.com - Langkah Presiden Prabowo Subianto kembali memicu kontroversi. Ia menyatakan kesediaannya memaafkan koruptor yang mengembalikan uang negara. Hal ini disampaikan di depan mahasiswa Indonesia di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, Rabu (18/12/2024).
"Kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan. Tapi kembalikan dong," ujar Prabowo.
Ia juga menyebut cara pengembalian uang bisa dilakukan secara diam-diam agar tidak diketahui publik. Sehari kemudian, Menko Polhukam Yusril Ihza Mahendra mengeluarkan klarifikasi. Yusril mengatakan bahwa wacana ini terkait rencana amnesti dan abolisi bagi 44 ribu narapidana, termasuk kasus korupsi.
Menurut Yusril, pemberian amnesti merupakan kewenangan presiden yang dijalankan sesuai konstitusi, dengan mempertimbangkan persetujuan DPR.
"Pemberian amnesti dan abolisi adalah bagian dari strategi pemulihan kerugian negara atau asset recovery, sejalan dengan Konvensi PBB Antikorupsi yang telah diratifikasi melalui UU Nomor 17 Tahun 2006," ujar Yusril dalam keterangan tertulis, Kamis (19/12/2024).
Ia menambahkan, wacana ini mencerminkan perubahan pendekatan hukum menuju keadilan korektif, restoratif, dan rehabilitatif. Filosofi baru ini akan diterapkan dalam KUHP Nasional mulai 2026, dengan fokus pada pemulihan ekonomi negara daripada sekadar memberikan efek jera.
Menurut Yusril, langkah ini adalah upaya untuk mengutamakan manfaat bagi negara, termasuk melalui pencegahan dan pemulihan kerugian akibat tindak pidana korupsi.
Bahaya Bagi Pemberantasan Korupsi
Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, mengkritik wacana Prabowo Subianto soal memaafkan koruptor yang mengembalikan uang negara. Menurutnya, pemulihan aset tidak bisa dijadikan alasan untuk meringankan hukuman.
"Silahkan ditelaah regulasi di seluruh dunia apakah ada upaya penghapusan pidana ketika adanya pemulihan aset? Jawabannya tidak ada," kata Lakso lewat keterangannya yang diterima Suara.com pada Kamsi (19/12/2024).
Ia menegaskan, penghukuman dan pemulihan aset adalah dua jalur berbeda yang berjalan bersamaan. Pemaafan, katanya, hanya berlaku bagi korporasi, bukan individu, karena korporasi tidak bisa dipenjara.
Lakso juga menyoroti pentingnya memahami United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) secara utuh, bukan untuk mendukung penghapusan hukuman koruptor.
"Justru UNCAC mendorong pendekatan yang lebih 'radikal'. Sebagai contoh, Pasal 20 UNCAC mendorong illicit enrichment yang dapat merampas harta kekayaan tidak wajar. Apabila bicara UNCAC, beranikah Menko mendorong penerapan pendekatan ini di Indonesia?" tegasnya.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi UGM, Zaenur Rohman, menyebut wacana pengampunan koruptor berbahaya.
"Pelaku tidak lagi takut korupsi karena merasa akan dimaafkan," ujarnya.
Zaenur mengingatkan, Pasal 4 UU Nomor 31 Tahun 1999 menegaskan pengembalian kerugian negara tidak membebaskan pelaku dari hukuman pidana.
Ia mendorong revisi UU Pemberantasan Korupsi agar mengkriminalisasi peningkatan harta tidak wajar atau illicit enrichment. Selain itu, pengesahan RUU Perampasan Aset menurutnya juga menjadi agenda mendesak.
"Dengan aturan ini, negara bisa menyita harta koruptor di luar negeri atau yang melarikan diri," jelasnya.
Peneliti ICW, Diky Anandya, menilai Prabowo seharusnya mendorong partai-partai Koalisi Indonesia Maju (KIM Plus) di DPR untuk segera mengesahkan RUU Perampasan Aset. Menurutnya, RUU ini sudah dibahas belasan tahun namun terhambat dinamika politik.
"RUU Perampasan Aset akan mempercepat eksekusi kekayaan koruptor tanpa menunggu sidang panjang yang bisa menurunkan nilai aset," kata Diky.
Dengan aturan yang tegas, ia menambahkan, upaya pemulihan kerugian negara akan lebih efektif dibanding memberikan pengampunan.
Tidak Berkeadilan
Pengacara publik YLBHI, Afif M Qoyyim, menilai pemberian amnesti bagi koruptor sebagai tindakan yang tidak adil.
Amnesti ini ditujukan kepada 44 ribu narapidana dengan empat kriteria: narapidana kasus ITE yang menghina kepala negara, narapidana yang sakit parah, gangguan jiwa, atau HIV/AIDS, pelaku makar tanpa kekerasan di Papua, dan pengguna narkoba yang seharusnya menjalani rehabilitasi.
Afif menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi berbeda dengan penyalahgunaan narkoba. Di beberapa negara, pelaku narkoba direhabilitasi, bukan dipenjara. Sementara, pelanggaran ITE dan makar di Papua sering melibatkan korban kriminalisasi, bukan pelaku kejahatan terhadap negara. Banyak aktivis di Papua dipidana hanya karena menyuarakan isu HAM dan lingkungan.
Korupsi, kata Afif, adalah kejahatan yang dilakukan dengan kesadaran penuh demi keuntungan pribadi. Dalam undang-undang, korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa karena dampaknya yang langsung merugikan masyarakat.
Afif menilai pemberian amnesti menjadi angin segar dan memberikan karpet merah bagi para koruptor.
"Kalau kayak gitu, ya, enak. Berarti mereka korupsi dulu, kalau ketangkap, ya sudah balikin. Biar enggak jadi ditangkap. Kan enggak ada kepastiannya dan itu justru membahayakan agenda pembatasan korupsi," tegasnya.
Prabowo menyatakan bakal memberikan maaf kepada koruptor asal mereka mengembalikan uang negara yang telah dicuri.
Sejumlah 34 persen atau tiga dari 10 pelajar SMA di Jakarta memiliki indikasi masalah kesehatan mental.
Jika Polri serius memulihkan citra sebagai penegak hukum dan pemberantas tambang ilegal, pembersihan mafia tambang di tubuh kepolisian harus jadi prioritas.
Pertimbangan PDIP memecat Pak Jokowi baru sekarang karena sudah bukan lagi presiden
Pemerintah berencana memberikan amnesti dengan alasan kemanusiaan, mengurangi kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan, dan mendorong rekonsiliasi di beberapa wilayah.
Kekinian, dalam Kasus Dedy dan Asril sebenarnya juga memiliki alur yang kurang lebih sama hingga LHKPN milik keduanya disorot KPK.
Jumlah kelas menengah tersebut menurun drastis bila dibandingkan tahun 2019 yang mencapai 57,33 juta orang atau setara 21,45 persen dari total penduduk.