Suara.com - PEMERINTAH mengklaim Koperasi Desa atau Kopdes Merah Putih dirancang menjadi motor penggerak ekonomi desa. Salah satu program prioritas Presiden Prabowo Subianto ini juga ditargetkan mampu menyerap 2 juta tenaga kerja di seluruh Indonesia.
Ketua Satgas Kopdes Merah Putih sekaligus Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan menyampaikan target ambisius tersebut dalam acara Kick Off Pelatihan Capacity Building Sumber Daya Manusia dan Penguatan Kelembagaan Kopdes Merah Putih di Jakarta, Rabu, 25 Juni 2025.
“Dari koperasi ini kita perkirakan 2 juta akan terserap tenaga kerja. Itu 2 juta orang minimal,” ucap Zulhas.
Pemerintah merancang penciptaan lapangan kerja itu melalui beberapa unit usaha yang akan dikelola Kopdes Merah Putih. Unit-unit usaha tersebut di antaranya; agen pupuk, agen sembako, agen pusat layanan POS dan bantuan pemerintah, layanan perbankan, pangkalan gas elpiji 3 kilogram, hingga klinik dan apotek skala kecil.
Kehadiran Kopdes Merah Putih yang salah satu tujuannya memangkas rantai pasok antara produsen dan konsumen diyakini akan mendorong kesejahteraan masyarakat desa.
“Kopdes atau Koperasi Kelurahan ini akan menjadi infrastruktur penting bagi pemerintah dan menjadi kekuatan baru ekonomi rakyat yang berbasis di desa-desa,” katanya.
Hingga saat ini 80 ribu Kopdes Merah Putih telah terbentuk di seluruh Indonesia melalui musyawarah khusus desa atau Musdesus. Di mana 65 ribu di antaranya telah memiliki legalitas hukum.
Koperasi Desa Merah Putih tersebut rencananya akan diluncurkan pada 12 Juli 2025 oleh Presiden Prabowo, bertepatan dengan Hari Koperasi Nasional.
“Nanti yang akan launching Bapak Presiden langsung,” ujar Zulhas.
Realistis?
Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Jaya Darmawan menilai target pemerintah menyerap 2 juta tenaga kerja melalui program Kopdes Merah Putih terlalu ambisius jika melihat kenyataan di lapangan.
Jaya merujuk pada sejarah panjang koperasi di Indonesia yang kerap bermasalah. Mulai dari kredit macet hingga lemahnya keberlanjutan usaha.
“Angka ini sangat ambisius apabila dilihat dari track record koperasi kita,” kata Jaya kepada Suara.com, Rabu, 25 Juni 2025.
Belum jelasnya status tenaga kerja yang akan direkrut oleh Kopdes Merah Putih turut menjadi sorotan Jaya. Menurutnya perlu ada kejelasan lebih lanjut dari pemerintah terkait status tenaga kerja. Apakah mereka akan diposisikan sebagai anggota koperasi atau pekerja tetap? Sebab perbedaan status itu sangat menentukan hak dan kesejahteraan mereka.
“Kalau statusnya anggota, bisa saja nanti mereka tidak diberi upah layak atau malah tidak diberi sama sekali, karena hanya pengurus inti yang mendapatkan insentif besar. Sementara jika mereka diangkat sebagai pekerja, apakah mereka akan menerima upah layak?” tuturnya.
Jaya mengungkap kekhawatiran tersebut, karena melihat struktur pasar tenaga kerja Indonesia saat ini yang masih didominasi oleh pekerja bergaji rendah. Karena itu ia mewanti-wanti jangan sampai akhirnya hanya semakin meneruskan masalah struktural yang sudah ada.
"Saat ini 109 juta tenaga kerja di Indonesia dibayar di bawah upah minimum. Sementara rata-rata upah buruh kita hanya Rp3,09 juta, dan median upah lebih memprihatinkan, yakni Rp2,5 juta,” bebernya.
Dalam laporan studi bertajuk ‘Ko Peras Desa Merah Putih: Pedoman Pelaksanaan, Perubahan dan Alternatif Program’, Celios sebenarnya telah merekomendasikan pemerintah, lebih baik mengalokasikan anggaran untuk memperkuat Balai Latihan Kerja (BLK) khusus pelatihan koperasi sebagai strategi penciptaan lapangan kerja. Sebab langkah itu dinilai lebih efektif dan berkelanjutan dibandingkan mengucurkan dana langsung dalam skala besar untuk program Kopdes Merah Putih.
“Angka 2 juta lapangan kerja memang terdengar bombastis, tapi apa gunanya jika tidak berkualitas?” ujar Jaya.
Pandangan serupa disampaikan Direktur Eksekutif Citra Institute, Yusak Farhan. Di atas kertas ia mengakui target pemerintah menyerap 2 juta tenaga kerja melalui program Kopdes Merah Putih itu memang mungkin dicapai.
Namun, Yusak menegaskan realitas di lapangan tidak semudah hitungan statistik. Sebab tantangan paling mendasar menurutnya justru terletak pada mindset pengelola koperasi, termasuk perangkat desa yang menjadi ujung tombak pelaksanaan program ini.
“Penyaluran dana yang bersifat top-down dengan skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) melalui bank-bank Himbara berpotensi menyebabkan kredit macet, kalau tidak dikelola dengan manajemen koperasi yang baik,” jelas Yusak kepada Suara.com.
Keberhasilan program Kopdes Merah Putih itu, kata Yusak, juga tidak bisa dilihat sebatas penyerapan tenaga kerja. Tetapi harus dibuktikan model koperasi itu benar-benar mampu menggerakkan ekonomi lokal di desa.
Apalagi, Kopdes Merah Putih bagi Yusak bukan sekadar program ekonomi semata.
“Program Kopdes Merah Putih akan menjadi pertaruhan Prabowo karena memiliki efek elektoral secara politik,” pungkasnya.
Koperasi Desa Merah Putih bukan sekadar program kerakyatan, tapi juga infrastruktur ekonomi akar rumput yang dirancang untuk menjadi mitra strategis investasi asing,"
Presiden Prabowo Subianto menegaskan Bali International Hospital yang merupakan rumah sakit mewah di KEK Sanur harus bisa diakses orang kurang mampu.
Presiden Prabowo meminta Menteri Kesehatan segera menambah pendidikan dokter spesialis.
Pengakuan Marcella Soal Biaya Narasi Penolakan RUU TNI dan "Indonesia Gelap" Dinilai Berbahaya: Membuat Kelompok Masyarakat Sipil Semakin Rentan
Proyek tersebut tidak berdasarkan pada prinsip-prinsip kemanusian dan adab," kata Busyro.
Negara tidak bisa terus mempertahankan kebijakan yang terbukti gagal yang justru memperluas pasar gelap dan menjerat kelompok rentan, termasuk perempuan, ujar Girlie.
Setiap undang-undang bersifat umum, artinya mengikat siapa saja. Sehingga, setiap warga negara tanpa memandang latar berhak mengajukan gugatan ke MK.
Upaya untuk menghadirkan Jokowi dalam persidangan sangat memungkinkan, meskipun belum pernah diperiksa di Kejaksaan sebagai saksi.
"Kadang-kadang ada free rider atau penumpang gelap dalam proses pemberian status saksi pelaku ini," ujar Lakso.
Pemerintah akan dihadapkan pada pilihan sulit, yakni menaikkan harga BBM atau menambah subsidi yang berpotensi memperlebar defisit anggaran.