Tuhan Tanpa Kolom: Kebebasan Para Ateis Kandas di MK
Home > Detail

Tuhan Tanpa Kolom: Kebebasan Para Ateis Kandas di MK

Reza Gunadha | Muhammad Yasir

Jum'at, 10 Januari 2025 | 08:00 WIB

Suara.com - Raymond Kamil memilih jalan sepi nan terjal untuk memahami keyakinan spiritualnya, saat kebanyakan orang begitu saja menerima agama yang diwariskan turun temurun. Dia menolaknya dan menjadi ateis. Tapi di Indonesia, itu jadi persoalan, salah satunya dia tetap diwajibkan mengisi kolom agama dalam KTP.

Baginya, mencari Tuhan bukan sekedar mengikuti jalan yang telah ditetapkan oleh mayoritas, melainkan perjalanan mendalam menuju pemahaman yang lebih esensial tentang Ketuhanan. 

“Saya percaya Tuhan. Tapi konsep Ketuhanan saya berbeda dengan agama,” kata Raymond kepada Suara.com, Kamis (9/1/2025).

Lelaki berusia 54 tahun itu mengklaim sebagai Panteis, yakni pemikiran filosofis yang menganggap realitas, semesta, dan alam identik dengan Tuhan atau entitas tertinggi. 

Dia menjelaskan, keyakinannya pada Panteisme banyak dipengaruhi atas ketertarikannya pada sains dan filsafat. 

Raymond lahir dari pasangan orang tua beda agama. Ayahnya yang asli Pelembang, merupakan seorang muslim cum aktivis Muhammadiyah. Sedangkan ibunya asli Manado. Semasa hidup, aktif di gereja. 

Dirinya sendiri tumbuh besar di Jombang, Jawa Timur yang kental dengan tradisi muslim tradisional. Pada kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP), dia masih tercatat beragama Islam. 

Raymond menuturkan, ayah dan ibunya hidup rukun meski tetap menjalani keyakinan agamanya masing-masing. Keduanya juga merupakan pemeluk agama yang taat, tapi tak pernah menyoal perbedaan-perbedaan ibadah.

Sejak lahir, Raymond dan kakaknya sudah dibagi-bagi oleh orangtunya soal agama. Dia dijadikan orang Islam oleh ayahnya. Sedangkan sang kakak, memeluk Kristen seperti sang ibu.

Tapi, Raymond kecil mempunyai ketertarikan lain yakni pada sains. Sampai dirinya dewasa, ia mendalami beragam sains sehingga mampu berpikir kritis dan memutuskan untuk mengkaji agama secara rasional. Saat itulah ia tak lagi menjalani ibadah seperti seorang muslim.

Awalnya, ia mendalami dan menjalani ritual Rastafari–varian agama tradisi Abrahamik yang berkembang di Jamaika pada awal abad ke-19. Tapi ia berhenti melakukannya pada 1994.

Kemudian, ia mencoba mendalami ajaran Protestan maupun Katolik. Tapi ia juga tak menemukan teologi yang benar-benar meyakinkan dirinya pada agama. 

Dia lantas kembali mendalami Islam dari perspektif tasawuf maupun Sufisme. Tak puas, ia juga menjalani ibadah Islam dari Mazhab Syiah Itsna Asyariah. Tapi dia mengakui tetap tak menemukan arti Tuhan yang sejati, dan akhirnya memutuskan berhenti tahun 2017.

Tahun berikutnya, 2018, Raymond memeluk agama Buddha yang justru dikenalkan oleh salah satu tokoh Islam. Sama saja, ia tak menemukan arti hubungan manusia dengan Tuhan. Akhirnya, ia benar-benar berhenti beragama.

Suatu ketika, Raymond pernah meminta Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) untuk menuliskan “Tidak Beragama” pada kolom agama di KTP. Tapi permintaan itu ditolak. Petugas pencatatan berdalih, hanya ada enam agama yang bisa dicantumkan dalam KTP —Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu— serta Penganut Kepercayaan.

“Padahal saya sudah tidak beragama,” katanya. 

Made with Flourish

Namun, pikirannya buncah karena harus membohongi diri sendiri dan banyak orang bila ia tetap menuliskan satu dari enam agama resmi di Indonesia dalam KTP padahal dirinya ateis.

Menggugat ke MK

Akhirnya, Selasa 1 Oktober 2024, Raymond memberanikan diri mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar kolom agama di KTP dihapus. Ia tak sendirian, ada Indra Syahputra yang juga senasib, turut menggugat.

Keduanya memasukkan gugatan uji materi Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 61 Ayat 1 serta Pasal 64 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Gugatannya diterima dan teregistrasi dengan nomor perkara 146/PUU-XXII/2024.

“Hak konstitusional saya tidak terakomodir dengan instrumen perundang-undangan yang ada sekarang ya,” tutur Raymond, mengungkap alasan meminta MK menghapus kolom agama di KTP. 

“Identitas keagamaan di KTP itu menjadi implikasi dari seseorang diwajibkan beragama.”

Raymond dan Indra, melalui pengacaranya yakni Teguh Sugiharto, sempat memperbaiki gugatannya. Dalam petitum, keduanya meminta menghapus kolom agama pada KTP. Sementara pada KTP warga Aceh tetap ada kolom agama yang bisa diisi dua opsi: Islam atau ‘bukan Islam’.

Sidang uji materi yang langka di Indonesia ini dipimpin langsung oleh Arsul Sani sebagai ketua panel, dengan anggota Arief Hidayat serta Enny Nurbaningsih.

Dalam gugatannya, Raymond dan Indra meminta MK mengkaji ulang pasal-pasal dalam dua produk hukum tersebut karena dinilai bertentangan dengan sila pertama Pancasila. Sebab, berketuhanan tidak harus masuk dalam sistem agama yang merupakan konstruksi sosial.

Namun, Jumat 3 Januari 2025, MK memutuskan menolak gugatan uji materi yang diajukan Raymond dan Indra. Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim MK Arief Hidayat menyebut, konsep kebebasan beragama di Indonesia bukan berarti warga negara leluasa memilih untuk tidak memeluk agama. 

Karenanya, menurut Arief, norma dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan mewajibkan setiap warga negara menyebutkan atau mendaftarkan diri sebagai pemeluk agama atau penganut kepercayaan. 

MK juga menilai, pembatasan tersebut merupakan pembatasan yang proporsional dan tidak diterapkan secara represif dan sewenang-wenang. Pasalnya, setiap warga negara hanya diwajibkan menyebutkan agama atau kepercayaannya untuk dicatat dalam data kependudukan, tanpa adanya kewajiban hukum lain.

“Tidak beragama atau tidak menganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat dinilai sebagai kebebasan beragama atau kebebasan menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,” kata Hakim MK Arief Hidayat.

[Suara.com/Ema Rohimah]
[Suara.com/Ema Rohimah]

Salah memaknai

Peneliti SETARA Institute Harkitan Kaur tak sependapat dengan para hakim MK. Menurutnya, tidak memilih beragama atau berkeyakinan itu semestinya juga dimaknai sebagai kebebasan beragama dan berkeyakinan.

"Dalam kebebasan beragama atau berkeyakinan itu kan berarti ada kebebasan untuk tidak milih beragama atau berkeyakinan," ujar Kirtan kepada Suara.com.

Deputi Direktur Human Rights Working Group (HRWG) Daniel Awigra juga menyayangkan putusan MK menolak menghapus kolom agama di KTP. 

Dengan dipertahankannya kolom agama pada KTP tersebut, kata dia, secara langsung telah membatasi warga negara untuk memilih agama dan keyakinannya sebatas yang diakui negara. 

“Artinya mereka harus memilih karena ada paksaan,” jelas Awi.

Awi menyebut, putusan MK itu tidak sejalan dengan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia sejak 2005. 

Pasal 18 Ayat 2 ICCPR menyatakan, tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

Sekali pun menyertakan kolom agama, lanjut Awi, negara harusnya mengakomodir seluruhnya. Tidak sebatas pada enam agama dan penganut kepercayaan. 

Kolom agama di KTP Sumber Diskriminasi

Manajer Advokasi dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Thowik menyebut, kolom agama di KTP sebagai sumber diskriminasi. 

“Kolom agama di KTP itu akan menjadi sumber diskriminasi. Memang sebaiknya itu dihapus,” ujar Thowik. 

Thowik mengungkap, saat ini banyak penganut kepercayaan Malesung di Sulawesi Utara memilih mengisi kolom agama di KTP sebagai Kristen. Mereka memilih agama mayoritas di sana semata-mata agar tidak menjadi korban diskriminasi. 

Padahal, MK pada 2016 sebenarnya telah memberi keleluasaan kepada para penganut atau penghayat kepercayaan untuk bisa mengisi kolom agama di KTP sebagai penganut kepercayaan. 

“Praktik-praktik seperti itu banyak terjadi,” kata dia. 

Segendang sepenarian dengan itu, Kirtan menyebut identitas agama setiap warga negara merupakan ranah private. Sehingga tidak semestinya negara ikut campur. 

“Posisi negara itu nanti setelah ada konflik-konflik baru negara harus hadir untuk menyelesaikan.”


Terkait

Mereka Hidup Tanpa Tuhan, Pengakuan Orang-orang Ateis di Indonesia
Rabu, 10 Juli 2019 | 08:05 WIB

Mereka Hidup Tanpa Tuhan, Pengakuan Orang-orang Ateis di Indonesia

Aku tak lagi memercayai adanya Tuhan sejak dua tahun terakhir. Sepuluh tahun sebelumnya, aku menjadi orang agnostik.

Terbaru
Review Caught Stealing, Jangan Pernah Jaga Kucing Tetangga Tanpa Asuransi Nyawa
nonfiksi

Review Caught Stealing, Jangan Pernah Jaga Kucing Tetangga Tanpa Asuransi Nyawa

Sabtu, 01 November 2025 | 08:05 WIB

Film Caught Stealing menghadirkan aksi brutal, humor gelap, dan nostalgia 90-an, tapi gagal memberi akhir yang memuaskan.

Niat Bantu Teman, Malah Diteror Pinjol: Kisah Mahasiswa Jogja Jadi Korban Kepercayaan nonfiksi

Niat Bantu Teman, Malah Diteror Pinjol: Kisah Mahasiswa Jogja Jadi Korban Kepercayaan

Jum'at, 31 Oktober 2025 | 13:18 WIB

Ia hanya ingin membantu. Tapi data dirinya dipakai, dan hidupnya berubah. Sebuah pelajaran tentang batas dalam percaya pada orang lain.

Review Film The Toxic Avenger, Superhero 'Menjijikkan' yang Anehnya Cukup Menghibur nonfiksi

Review Film The Toxic Avenger, Superhero 'Menjijikkan' yang Anehnya Cukup Menghibur

Sabtu, 25 Oktober 2025 | 08:00 WIB

Film ini rilis perdana di festival pada 2023, sebelum akhirnya dirilis global dua tahun kemudian.

Tentang Waktu yang Berjalan Pelan dan Aroma Kopi yang Menenangkan nonfiksi

Tentang Waktu yang Berjalan Pelan dan Aroma Kopi yang Menenangkan

Jum'at, 24 Oktober 2025 | 13:06 WIB

Di sebuah kafe kecil, waktu seolah berhenti di antara aroma kopi dan tawa hangat, tersimpan pelajaran sederhana. Bagaimana caranya benar-benar di Buaian Coffee & Service.

Review Film No Other Choice yang Dibayang-bayangi Kemenangan Parasite di Oscar, Lebih Lucu? nonfiksi

Review Film No Other Choice yang Dibayang-bayangi Kemenangan Parasite di Oscar, Lebih Lucu?

Sabtu, 18 Oktober 2025 | 09:05 WIB

No Other Choice memiliki kesamaan cerita dengan Parasite, serta sama-sama dinominasikan untuk Oscar.

Kuku Kecil Mimpi Besar: Cerita Vio, Mahasiswa yang Menyulap Hobi Jadi Harapan nonfiksi

Kuku Kecil Mimpi Besar: Cerita Vio, Mahasiswa yang Menyulap Hobi Jadi Harapan

Jum'at, 17 Oktober 2025 | 13:12 WIB

Di tengah padatnya kuliah, mahasiswa Jogja bernama Vio menyulap hobi nail art menjadi bisnis. Bagaimana ia mengukir kesuksesan dengan kuku, kreativitas, dan tekad baja?

Review Film Rangga & Cinta: Bikin Nostalgia Masa Remaja, Tapi Agak Nanggung nonfiksi

Review Film Rangga & Cinta: Bikin Nostalgia Masa Remaja, Tapi Agak Nanggung

Sabtu, 11 Oktober 2025 | 09:00 WIB

Rangga & Cinta tak bisa menghindar untuk dibandingkan dengan film pendahulunya, Ada Apa Dengan Cinta? alias AADC.

×
Zoomed