Jalan Sunyi Para Agnostik dan Ateis di Indonesia: Dianggap Ancaman Bagi Orang Beriman, Hingga Rentan Didiskriminasi
Home > Detail

Jalan Sunyi Para Agnostik dan Ateis di Indonesia: Dianggap Ancaman Bagi Orang Beriman, Hingga Rentan Didiskriminasi

Bimo Aria Fundrika | Muhammad Yasir

Jum'at, 10 Januari 2025 | 16:30 WIB

Suara.com - Shinte Galeshka tampak tenang. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan penghapusan kolom agama di KTP tidak terlalu mengusiknya. Gugatan itu diajukan oleh Raymond Kamil, seorang penganut panteisme.

Shinte mengaku dirinya agnostik.

“Bukan ateis,” ujarnya.

“Beda.”

Bagi Shinte, agnostisisme adalah pengakuan bahwa manusia tidak memiliki kemampuan untuk memastikan keberadaan entitas supranatural seperti Tuhan, jin, atau hantu. Paham ini, katanya, tidak sama dengan ateisme.

Seorang agnostik mendasarkan keyakinannya pada apa yang ia tahu. Sementara itu, seorang ateis memilih untuk tidak percaya pada keberadaan Tuhan.

“Bukan soal menolak atau menerima,” kata Shinte.

“Tapi soal mengakui bahwa kita memang tidak tahu"

“Kalau memang harus dihapus saya setuju, tapi lebih ke semangat penghapusan diskriminasinya,” kata Shinte kepada Suara.com, Kamis (9/1/2025).

Shinte punya pandangan berbeda soal kolom agama di KTP. Ia tak setuju jika kolom itu bisa diisi secara bebas. Menurutnya, keputusan MK menolak gugatan penghapusan kolom agama justru lebih menguntungkan.

“Kalau semua identitas, termasuk ateis atau agnostik, dicantumkan di KTP, itu bisa jadi bumerang,” ujarnya.

“Kita tahu sendiri atmosfer di Indonesia seperti apa. Teman-teman ateis malah bisa kena diskriminasi lebih keras.”

Kolom agama di KTP Shinte masih mencantumkan Katolik. Sebagai seorang agnostik, ia mengaku tidak merasa butuh pengakuan resmi atas identitasnya.

“Saya pribadi nggak terlalu concern dengan hal itu,” katanya santai.

Bahkan, Shinte tegas menyatakan ia tidak ingin punya KTP. Baginya, kartu itu lebih sering jadi alat diskriminasi daripada manfaat. Terlebih di tengah lemahnya perlindungan data pribadi oleh negara.

“Kalau saya, lebih khawatir ke situ,” tuturnya.

Menutup Identitas

Tina lahir di Malang, Jawa Timur, dalam keluarga muslim. Ayahnya berasal dari lingkungan Nahdlatul Ulama yang kuat memegang tradisi. Namun, sejak SMA, Tina mulai menyelami dunia filsafat dan ideologi, termasuk ateisme dan agnostisisme.

Lewat membaca buku dan berdiskusi, Tina mulai mempertanyakan otoritas institusi keagamaan. Pada 2017, ia memutuskan hidup sebagai ateis.

“Sepuluh tahun sebelumnya, aku jadi orang agnostik,” katanya.

Hingga kini, keluarga besar Tina tidak tahu bahwa ia telah meninggalkan agama. Ia masih ikut acara keagamaan setiap tahun, tetapi hanya memaknainya sebagai tradisi keluarga.

Pilihan menjadi ateis, kata Tina, didasarkan pada kesadaran rasional. Karena itu, ia tidak memaksakan keyakinannya pada anaknya.

“Suatu saat, anakku mau jadi apa saja, termasuk soal spiritual, itu terserah dia,” ungkapnya.

Tina menyebut banyak ateis di Indonesia tinggal di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, hingga Medan. Akses informasi di kota-kota ini membuat mereka lebih terbuka terhadap gagasan baru.

Namun, menjadi ateis di Indonesia tetap tabu. Apalagi sejak 2017, saat intoleransi semakin menguat. Tina mengaku, kini banyak ateis memilih untuk menyembunyikan identitas mereka.

“Termasuk di dunia maya,” tuturnya.

Dianggap Ancaman Terhadap Iman Orang Lain

Dalam tulisannya di The Conversation berjudul Kaum Sekuler dan Ateis Indonesia Hidup di Bawah Bayang-Bayang Stigma, Timo Duile, dosen dan peneliti di Universitas Bonn, mengungkap fakta menarik. Menurutnya, ateis di Indonesia bukan kelompok kecil, tetapi mereka tak terlihat.

Alasannya jelas. Masyarakat dan negara belum mampu menerima bahwa ada bagian dari bangsa ini yang tidak percaya pada Tuhan. Agama masih dianggap fondasi utama kerukunan. Akibatnya, orang yang tak beragama sering dicap sebagai ancaman.

Diskusi soal ateisme pun sulit dilakukan secara tenang. Banyak yang menganggap ketidakpercayaan orang lain sebagai ancaman terhadap iman mereka sendiri.

Karena itu, ateis di Indonesia memilih untuk tertutup. Bahkan kaum sekuler yang masih beragama sering menyembunyikan pandangan mereka, mengingat istilah "sekuler" kerap dilabeli negatif.

Sensus Penganut Ateis di Indonesia. (Suara.com/Emma Rochimah)
Sensus Penganut Ateis di Indonesia. (Suara.com/Emma Rochimah)

Dalam banyak kasus, ateis berpura-pura beriman. Ada yang tetap menjalankan ibadah atau memakai atribut agama, meski keyakinan itu tak lagi bermakna. Fenomena ini, menurut Timo, juga dikenal sebagai “agama sebagai pertunjukan.”

Tak sedikit ateis yang menghadapi konflik keluarga. Beberapa bercerai atau diusir karena keyakinan mereka. Namun, ada pula yang berhasil berdamai dengan keluarga. Dalam kasus seperti ini, keluarga tahu anaknya ateis, tetapi mereka memilih untuk tidak membahasnya.

Sebagian besar anak ateis tidak terbuka kepada orang tua, bukan hanya karena takut sanksi sosial, tetapi juga demi menjaga perasaan keluarga. Mereka kemudian mencari dukungan di luar, terutama melalui kelompok teman sebaya. Di era digital, menemukan komunitas serupa menjadi lebih mudah.

Ateis biasanya hanya berbagi identitas dengan sahabat terdekat. Namun, media sosial menawarkan ruang aman untuk berdiskusi. Forum-forum online menjadi tempat mereka berbicara secara bebas tentang agama dan ateisme.

Yang menarik, beberapa ateis memiliki dua identitas. Satu untuk keluarga dan teman beragama, serta satu identitas “asli” untuk sahabat yang mereka percayai. Bahkan, ada yang memiliki dua akun media sosial demi menjaga keduanya tetap terpisah.

Gugatan Ditolak MK

MK sebelumnya menolak gugatan uji materi Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 61 Ayat 1 serta Pasal 64 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Gugatan dengan perkara Nomor: 146/PUU-XXII/2024 itu diajukan Raymond dan Indra Saputra pada 1 Oktober 2024.

Raymond Kamil dan kuasa hukumnya saat mengikuti persidangan di Mahkamah Konstitusi. [dokumentasi
Raymond Kamil dan kuasa hukumnya saat mengikuti persidangan di Mahkamah Konstitusi. [dokumentasi

Dalam petitum, keduanya meminta menghapus kolom agama pada KTP. Sementara pada KTP warga Aceh tetap ada kolom agama yang bisa diisi dua opsi: Islam atau ‘bukan Islam’.

Sebelum mengajukan gugatan tersebut, Raymond yang memilih hidup sebagai Panteis, pernah meminta Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) untuk menuliskan “Tidak Beragama” pada kolom agama di KTP. Tapi permintaan itu ditolak. Petugas pencatatan berdalih, hanya ada enam agama yang bisa dicantumkan dalam KTP —Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu— serta Penganut Kepercayaan.

“Padahal saya sudah tidak beragama,” ungkap Raymond. 

Raymond mengaku mengajukan gugatan uji materi tersebut karena tak ingin membohongi diri dan orang-orang jika harus mencantumkan satu dari enam agama yang resmi di Indonesia. Padahal ia seorang Panteis.


Terkait

Tuhan Tanpa Kolom: Kebebasan Para Ateis Kandas di MK
Jum'at, 10 Januari 2025 | 08:00 WIB

Tuhan Tanpa Kolom: Kebebasan Para Ateis Kandas di MK

Suatu ketika, Raymond pernah meminta Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) untuk menuliskan Tidak Beragama pada kolom agama di KTP.

Mereka Hidup Tanpa Tuhan, Pengakuan Orang-orang Ateis di Indonesia
Rabu, 10 Juli 2019 | 08:05 WIB

Mereka Hidup Tanpa Tuhan, Pengakuan Orang-orang Ateis di Indonesia

Aku tak lagi memercayai adanya Tuhan sejak dua tahun terakhir. Sepuluh tahun sebelumnya, aku menjadi orang agnostik.

Terbaru
Skandal PSG Juara Liga Champions: Kelakuan Nasser Al-Khelaifi hingga Potong Jari
polemik

Skandal PSG Juara Liga Champions: Kelakuan Nasser Al-Khelaifi hingga Potong Jari

Minggu, 01 Juni 2025 | 11:12 WIB

Di balik keberhasilan PSG juara Liga Champions musim ini, klub berjuluk Les Parisiens punya skandal memalukan.

Beda Gugatan Yoni Dores dan Ahmad Dhani, Kasus Via Vallen Bisa Jadi Pelajaran? nonfiksi

Beda Gugatan Yoni Dores dan Ahmad Dhani, Kasus Via Vallen Bisa Jadi Pelajaran?

Sabtu, 31 Mei 2025 | 11:43 WIB

Yoni Dores dan Ahmad Dhani sama-sama memperjuangkan hak cipta, tetapi kasus Lesti Kejora lebih mirip Via Vallen di masa lalu.

Prabowo Buka Pintu untuk Israel Jika Akui Kemerdekaan Palestina: Diplomasi Realistis? polemik

Prabowo Buka Pintu untuk Israel Jika Akui Kemerdekaan Palestina: Diplomasi Realistis?

Jum'at, 30 Mei 2025 | 18:55 WIB

Israel tak hanya harus mengakui kemerdekaan Palestina secara penuh, tetapi juga harus bertanggung jawab atas genosida yang selama ini dilakukan terhadap rakyat Palestina.

Reformasi Anggaran: Tantangan di Balik Putusan Sekolah Gratis polemik

Reformasi Anggaran: Tantangan di Balik Putusan Sekolah Gratis

Jum'at, 30 Mei 2025 | 16:20 WIB

Presiden adalah satu-satunya otoritas yang dapat melakukan reformasi menyeluruh dalam tata kelola anggaran pendidikan, kata Ubaid.

Bongkar Korupsi Dana Zakat di Baznas Jabar, Whistleblower Malah Dikriminalisasi polemik

Bongkar Korupsi Dana Zakat di Baznas Jabar, Whistleblower Malah Dikriminalisasi

Rabu, 28 Mei 2025 | 20:51 WIB

"Kriminalisasi terhadap pelapor dugaan korupsi di Baznas menunjukkan kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Wana.

Kebijakan Jam Malam Pelajar di Jabar: Solusi atau Sekadar Simbolik? polemik

Kebijakan Jam Malam Pelajar di Jabar: Solusi atau Sekadar Simbolik?

Rabu, 28 Mei 2025 | 18:23 WIB

"Kebijakan jam malam bagi pelajar perlu manajemen pengawasan yang baik. Tanpa itu, kebijakan tersebut hanya akan terdengar baik di atas kertas," ujar Rakhmat.

Hunian Vertikal: Mimpi atau Bumerang Bagi Warga Jakarta? polemik

Hunian Vertikal: Mimpi atau Bumerang Bagi Warga Jakarta?

Rabu, 28 Mei 2025 | 15:35 WIB

"Rumah susun itu adalah cara yang paling prinsip untuk merubah Jakarta menjadi lebih tertata terkait dengan penduduk dan pemukiman," kata Yayat.