Distributor Blak-blakan soal Pengadaan Reagen Covid-19 BNPB yang Bermasalah

Distributor Blak-blakan soal Pengadaan Reagen Covid-19 BNPB yang Bermasalah


Suara.com - Budiyanto A Gani, pemilik PT Trimitra Wisesa Abadi, mendapat order terbanyak alat-alat tes covid-19 di BNPB, meski tergolong 'pemain baru' dalam pengadan alkes. Tapi, ia menepis tuduhan proyek itu didapat karena dekat dengan sang patron.

MALAM temaram menggantung di selatan Jakarta, ketika pria berkacamata duduk di ruangan utama restoran Sari Ratu Kitchen, Pasar Raya Blok M.

Nama lelaki itu adalah Budiyanto A Gani. Dia pemilik PT Trimitra Wisesa Abadi, salah satu perusahaan yang mendapat proyek pengadaan peralatan reagen uji sampel covid-19 dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Budiyanto malam itu, Rabu (10/3/2021), menunggu kedatangan tim jurnalis yang tergabung dalam Klub Jurnalis Investigasi (KJI)—kolaborasi antarmedia yang terdiri dari Suara.com, Jaring.id, Alinea.id, dan Majalah Tempo.

Ruang utama restoran padang itu cukup luas. Setiap satu meja makan terdapat empat kursi. Ada puluhan meja, jarak antarmeja satu meter. Sementara di teras depan restoran, hampir semua meja terisi pengunjung.

Pada dinding ruang makan utama, terpampang lukisan besar bergambar tumpukan piring sajian khas padang. Tak jauh dari lukisan, persisnya di pojok restoran, ada ruangan VIP.

Ruangan tersebut tampak menyaru dengan dinding restoran berkelir putih. Jika tak jeli, tidak tampak keberadaan ruang VIP. 

Budiyanto mengakui, restoran itu miliknya, hasil join bisnis dengan Inna Rossaria Auwines. Inna adalah adik sepupu Kepala BNPB Doni Monardo.

“Join bisnis ini sudah jalan tiga tahun di dua restoran Sari Ratu Kitchen, di Blok M dan RSPAD Gatot Soebroto,” kata dia.

Namun, ketika badai pandemi covid-19 datang, sejumlah unit bisnisnya ikut terdampak. Budiyanto mengungkapkan, baru menurutup restoran Sari Ratu Kitchen yang ada di RSPAD Gatot Soebroto.

Selain itu, bisnis lain Budiyanto juga ikut diterpa badai corona. Dia memunyai perusahaan yang bergerak di bidang penyedia alat mesin dan infrastruktur.

Karena itulah, sembilan hari seteIah pemerintah menyatakan situasi darurat, Budiyanto banting setir menjadi distributor alat kesehatan.

"Naluri bisnis, kalau tidak begitu, bisa mati."

Budiyanto A Gani, pemilik PT Trimitra Wasesa Abadi. [Tim KJI]
Budiyanto A Gani, pemilik PT Trimitra Wasesa Abadi. [Tim KJI]

Pada masa darurat, pemerintah menunjuk Kepala BNPB Doni Monardo sebagai Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19.

Tidak main-main, pemerintah menggelontorkan Rp 3,3 triliun kepada gugus tugas itu, demi menanggulangi wabah. Dari total anggarannya, Rp 871 miliar sudah dibelanjakan untuk alat-alat tes covid-19 hingga akhir Desember 2020.

Budiyanto sendiri, melalui PT Trimitra Wisesa Abadi, mendapat order mengadakan alat PCR, reagen, serta media transfer virus pada awal masa pandemi, 2020.

Meski tergolong "pemain baru" dalam bidang alat kesehatan, PT Trimitra Wisesa Abadi mendapatkan nilai proyek besar dari BNPB, yakni Rp 117 miliar untuk mendatangkan alat PCR merek Intron dari Korea Selatan. 

Lantaran order besar itulah, penyalur alat kesehatan kerap mendatangi Budyanto untuk meminta pertolongan supaya bisa ikut mendapat proyek sama.

“Tapi saya bukan pejabatnya. Kalau saya bisa, ya saya bantu, tapi saya bukan pejabatnya. Pejabatnya itu beliau (Doni Monardo),” kata Budiyanto.

Budiyanto tak memungkiri dirinya dekat dengan Doni Monardo. “Setiap orang pasti punya yang dia dekat, dia nyaman, dia percaya.”

Ia lantas menceritakan, sudah lama mengenal Doni Monardo, persisnya 2014. Awalnya, ia dikenalkan kepada Doni Monardo oleh Inna. Kala itu, Budyanto dan Inna menjadi rekan bisnis bidang jasa cleaning service.

“Saya pertama kali dikenalkan dengan Pak Doni ketika dia masih aktif di TNI.”

Budiyanto terus menjalin hubungan lebih dekat, ketika Doni menjabat Panglima Kodam XVI Pattimura di Maluku, tahun 2015.

Ketika itu, sebagai pangdam, Doni memiliki program ‘Emas Biru dan Emas Hijau’, yang berfokus pada pemberdayaan ekonomi masyarakat di sektor kelautan, perikanan, perkebunan dan kehutanan.

Laman Instagram Sari Ratu Kitchen yang menuliskan soal kunjungan Kepala BNPB Doni Monardo, Juli 2018. [Instagram/@sariratukitchen]
Laman Instagram Sari Ratu Kitchen yang menuliskan soal kunjungan Kepala BNPB Doni Monardo, Juli 2018. [Instagram/@sariratukitchen]

Budiyanto memang pengusaha yang jeli, sehingga bisa melihat peluang bisnis di sektor perikanan.

“Saat Pak Doni bikin program Emas Biru dan Emas Hijau, saya tertarik. Lalu saya datang ke sana, Ambon,” ucapnya.

Sejak itu, hubungannya dengan Doni makin dekat. Doni lantas pindah ke Jawa barat untuk mengemban tugas baru, hingga akhirnya ditunjuk sebagai Kepala BNPB.

"Sejak beliau menjadi Kepala BNPB, belum pernah makan di sini lagi (Restoran Sari Ratu Kitchen)."

Namun, Budiyanto menepis persepsi bahwa dirinya mendapat banyak proyek pengadaan alat tes covid-19, karena faktor kedekatannya dengan Doni.

Budiyanto menegaskan, Doni adalah persona yang tegas dan tak pernah bermain-main setiap dalam penugasan.

Dia bisa memastikan, sebagai Kepala BNPB dan Satgas Covid-19, Doni hanya terlibat dalam perumusan kebijakan umum, tak sampai ke teknis.

"Pak Doni tak pernah mengurusi pengadaan. Teknis pengadaan diurus deputi logistik," kata dia.

Selain itu, sebagai orang yang sudah lama berteman, Budiyanto mengakui betul-betul mengerti karakteristik Doni.

"Semua yang mengenal Pak Doni, pasti tahu karakter beliau. Adik kandungnya saja tidak dibantu, apalagi saya."

Saat persamuhan selesai, Tim KJI mencoba menanyakan riwayat kehadiran Doni di restoran itu. Menurut pelayan, sang jenderal memang pernah datang, namun tak begitu rutin.

Ketika tak bisa menyambangi restoran, kata pelayan, Doni cukup memesan melalui aplikasi WhatsApp. Hidangan kemudian akan diantar ke kantor BNPB. 

“Biasanya pesan rendang, keripik kentang. Tapi paling sering pesan kepala ikan kakap,” ujar pelayan.

Saya tak mengurus pengadaan

DONI Monardo membantah memiliki kedekatan dengan sejumlah pihak penyedia alat yang mendapat kontrak di BNPB.

Dia mengakui tidak mengetahui proses pengadaan alat-alat kesehatan terkait covid-19 di lembaga penanggulangan bencana yang ia pimpin.

“Saya tidak punya pengalaman, tahunya senjata. Masalah reagen dan alat kesehatan enggak mengerti. Seluruh pengadaan melalui rapat,” kata Doni Monardo, menyanggah.

Kendati demikian, Doni menjelaskan bahwa semua proses pengadaan di BNPB terbuka untuk umum selama proses pengadaannya sesuai peraturan.

“Setiap penyedia yang memiliki produk sesuai spesifikasi kebutuhan dan memenuhi persyaratan sebagai penyedia, dapat ditunjuk sebagai penyedia,” katanya.

Adapun keterangan tentang hubungannya dengan Budiyanto, Doni meminta untuk tak dikutip.

"Saya tidak mengurusi pengadaan!"

Made with Flourish

Kontrak paling banyak

Berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), selama proses pengadaan tahun 2020, BNPB membeli 1.956.644 unit reagen PCR, RNA, dan Viral Transport Medium (VTM) dengan total anggaran Rp 549 miliar.

Untuk pengadaan barang, BNPB bekerja sama dengan sejumlah perusahaan. Ada tiga perusahaan yang mengadakan reagen terbanyak, di antaranya PT Mastindo Mulia mendapat order 500.000 unit reagen merek Sansure senilai Rp 172,5 miliar.

Kemudian PT Sinergi Indomitra Pratama, yang mendapat order pengadaan 559.020 reagen merek Liferiver senilai Rp 199,9 miliar.

Terakhir adalah perusahaan milik Budiyanto, yakni PT Trimitra Wisesa Abadi, yang mendapat order pengadaan 441.832 reagen PCR, RNA dan VTM senilai Rp 110,4 miliar.

“PT Trimitra Wisesa Abadi (TWA) merupakan penyedia yang paling banyak mendapat kontrak,” kata Wana Alamsyah.

Dari 22 dokumen kontrak, 13 paket di antaranya dikelola oleh PT TWA dengan nilai kontrak Rp 117 miliar, meski tergolong “pemain baru” dalam bisnis ini.

Sebagai perbandingan, PT Sinergi Indomitra Pratama mendapat tiga kontrak dengan nilai Rp 199 miliar.

Sementara PT Mastindo Mulia, hanya mendapat satu paket dengan kontrak Rp 172, 5 miliar.

Selain itu, kata Wana, dalam rentang waktu Oktober - Desember 2020, PT TWA juga mendapatkan kontrak pengadaan reagen di BNPB sebesar Rp 310,7 miliar.

Dengan demikian, berdasarkan catatan ICW, perusahaan milik Budiyanto ini mendapatkan kontrak 18 paket pengadaan.

Hingga Desember 2020, Budiyanto mendatangkan enam merek dari China dan Korea Selatan, seperti Intron, Liferiver, Beaver, Toyoba, Cellpro, dan Citoswab dengan nilai anggaran ditaksir mencapai Rp 427 miliar.

Nilai anggaran itu setara 49,5 persen dari total pengadaan reagen BNPB pada April - Desember 2020, yakni Rp  870,9 miliar.

Dari semua barang tersebut, hanya Liferiver, Toyobo, dan Intron yang direkomendasikan layak pakai oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) berdasarkan surat edaran 20 April 2020.

Berdasarkan penelusuran dokumen Administrasi Hukum Umum alias AHU, perusahaan Budiyanto tidak memiliki kompetensi dalam pengadaan alat kesehatan.

PT TWA baru mengubah akta di Direktorat Jenderal AHU Kemenkumham RI menjadi perusahaan yang bergerak di bidang kesehatan dan perdagangan besar alat laboratorium, farmasi serta kedokteran, pada 22 Maret 2020. Tepat 20 hari setelah temuan kasus pertama covid-19 diumumkan oleh pemerintah. 

"Atas semua dasar itulah, patut diduga PT Trimitra memonopoli pengadaan di BNPB," kata Wana.

Made with Flourish

Belakangan bermasalah

ICW belakangan juga menemukan persoalan pada alat-alat tes covid-19 hasil pengadaan tersebut.

Sepanjang April – September 2020, sebanyak 78 rumah sakit dan laboratorium yang tersebar di 29 provinsi, mengembalikan 498.644 unit reagen hasil pengadaan BNPB.

Hal itu terdapat dalam Laporan Kajian Tata Kelola dan Distribusi Alat Kesehatan Dalam kondisi Covid-19, yang disusun ICW tahun 2021.

“Sebanyak 498.644 unit reagen yang dikembalikan karena tak bisa dipakai itu, dibeli memakai dana APBN. Total anggarannya diperkirakan Rp 169,1 miliar,” kata peneliti ICW, Wana Alamsyah.

Rincian reagen yang dikembalikan itu ialah, Intron, 1.000 unit; Wizprep, 10.000 unit; Seggenne, 300 unit; Liferiver, 2.825 unit; Kogene, 700 unit; dan, Sansure, 483.819 unit.

“Pembelian barang tidak sesuai dengan perencanaan dan belum ada uji teknis terhadap barang yang dibeli,” kata Wana Alamsyah kepada tim KJI, Rabu, 10 Maret 2021.

Tak hanya itu, meski ada barang pengadaan PT TWA yang dikembalikan, perusahaan tersebut tak masuk daftar perusahaan yang diaudit Badan Pengawasan Keuangan dan pembangunan, Oktober 2020.

BPKP hanya mengaudit 7 perusahaan yang memasok reagen tapi dikembalikan karena tak cocok.

BPKP mengungkapkan, tidak mengaudit PT TWA walaupun terdapat merek reagen yang dikembalikan serta tak masuk rekomendasi WHO—yang menjadi syarat pengadaan alkes BNPB.

"BPKP hanya melaksanakan tugas evaluasi yang diminta pihak terkait," kata Kepala Biro Hukum dan Komunikasi BPKP Eri Satriana."

Dalam keterangan lebih lanjut yang didapat Suara.com, BNPB menjelaskan linimasa pengadaan reagen merek Sansure, adanya pengembalian, hingga ditarget habis diredistribusikan kembali pada Maret 2021.

Berikut linimasa BNPB tersebut: 

April 2020
Penawaran sebesar 500 ribu tes, namun Surat Pesanan menyesuaikan stok yang tersedia sehingga jumlah pengadaan sebesar 499,200 Test Reagen PCR, RNA dan VTM dari PT Mastindo Mulia.

April - Mei 2020
Bersama Litbangkes Kemenkes, melakukan distribusi 499,200 test ke-88 laboratorium di 31 provinsi.

Agustus 2020
Proses Audit BPKP. Ditemukan sejumlah 473.984 RNA Sansure tidak bisa digunakan di beberapa laboratorium. Untuk reagen PCR dan VTM bisa digunakan oleh laboratorium.

Agustus s/d Desember 2020

BNPB bersama Gugus Tugas Penanganan Covid-19 dan Litbangkes menindaklanjuti hasil audit BPKP, dengan membuat surat penarikan ke laboratorium penerima. Sampai dengan per-31 Desember 2020, ditarik sebanyak 202,560 tes dari 26 laboratorium.

Sisa 271,424 tes RNA bisa digunakan laboratorium atau dikembalikan ke dinas kesehatan provinsi untuk dilakukan redistribusi.

Akhir Desember 2020

BNPB bersama Gugus Tugas Penanganan Covid-19 melakukan redistribusi sejumlah 137,280 tes RNA merek Sansure ke 12 laboratorium.

Januari - Maret 2021

Redistribusi sejumlah 65,280 tes ke 4 laboratorium.

Linimasa BNPB terkait pengadaan reagen covid-19 merek Sansure Biotech, hingga proses redistribusi ke laboratorium-laboratorium. [dokumentasi BNPB]
Linimasa BNPB terkait pengadaan reagen covid-19 merek Sansure Biotech, hingga proses redistribusi ke laboratorium-laboratorium. [dokumentasi BNPB]

Orang iri

Budiyanto, pemilik PT TWA, tak membantah mendapat banyak order pengadaan reagen dari BNPB, meski tergolong baru berkecimpung dalam bisnis tersebut.

Emang kenapa kalau dapat? Ini soal berani ambil risiko atau tidak. Itu pandangan orang yang iri saja. Mereka tidak melihat risiko gagal mendapatkan barang di tengah kelangkaan yang besar. Saat susah kemarin, orang-orang ini ke mana?” kata Budiyanto.

Ia menceritakan, pada April 2020, terjadi kelangkaan reagen. Stok di dunia menipis.

"Saya membantu BNPB mencari ke perusahaan di China, dan dapat 500 ribu. Saat itu, namanya saja darurat, siapa saja yang memiliki barang akan dibeli dengan harga berapa saja.”

Budiyanto mengakui, perusahaannya tak memunyai pengalaman dalam pengadaan alat kesehatan sebelum pandemi covid-19.

Namun, menurutnya, semua pebisnis akan berpikiran yang sama seperti dirinya ketika diterpa badai pandemi.

“Ini naluri bisnis pengusaha. Bertahan atau mati. Sekarang 80 persen pengusaha main di alat kesehatan.”

Ia mengklaim, sistem pengadaan alat kesehatan yang diterapkan BNPB pada masa pandemi sudah baik.

“Kenapa? Karena pemain alat kesehatan lama terbiasa dengan proteksi, dengan katalog, dengan apalah, enggak terbiasa dengan model BNPB. Obat dan alat kesehatan kita itu mahal, padahal ada yang generik. Coba bayangkan kalau peraturan tetap sama, semua pemain alat kesehatan harus begini-begitu, berapa harga alat tes PCR kita beli di awal? Rp 750 ribu, bahkan Rp 1 juta! di BNPB bisa Rp 300 ribu.”

Budiyanto juga menanggapi banyaknya reagen hasil pengadaan yang dikembalikan oleh laboratorium maupun rumah-rumah sakit daerah.

“Alat PCR ini bukan alat gampang, tidak seperti antigen yang tinggal tempel jadi, dan bermacam-macam. Karena rumit, terkadang operator laboratoriumnya tidak mengerti, sehingga dianggap tidak cocok dan dikembalikan.”

Ia menegaskan, alat-alat itu tak bisa diganti. Sebaliknya, barang-barang itu lantas diredistribusikan kepada laboratorium yang bisa menggunakannya.

Terkait penemuan BPKP bahwa ada barang pengadaan PT TWA yang tak lulus uji produk, Budiyanto menjelaskan kala itu adalah situasi darurat.

“Kita tak usah sok-sokan mengurusi uji produk, karena di awal pandemi, situasinya darurat. Kalau produk dari Cina, yang penting ada di CFDA (China Food and Drug Administration). Mau menunggu uji produk dua bulan, mau nungguin?”

-----------------------------------------------------------------------

Catatan Redaksi: artikel ini merupakan bagian ke-2 dari 4 laporan hasil kolaborasi sejumlah media yang tergabung dalam Klub Jurnalis Investigasi (KJI) dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Reportase dilakukan oleh Suara.com, Jaring.id, Alinea.id, dan Majalah Tempo, sejak Desember 2020. Tim Suara.com terdiri dari Erick Tanjung (penulis), Reza Gunadha (penyunting) dan Ema Rohimah (infografis).