Suara.com - Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menyebut bahwa kepastian hukum memiliki keterkaitan dengan pertumbuhan ekonomi.
Menurutnya tanpa kepastian hukum, sulit bagi Indonesia bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Kepastian hukum, menurut Yusril, menjadi persyaratan mutlak untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif, sehingga mampu menarik investor untuk menanamkan modal di Indonesia agar bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.
Mantan Ketum Partai Bulan Bintang ini kemudian mengingatkan bahwa jangan sampai Indonesia mengulangi situasi yang terjadi pada Orde Baru.
Saat itu, negara lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi, tetapi mengabaikan kepastian hukum.
Hal itu seperti yang dialaminya saat menjabat sebagai menteri kehakiman, anggaran terendah kedua, dibanding kementerian atau lembaga lain.
Dia mencontohkan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat. Kedua negara itu, katanya, mewarisi sistem hukum Inggris yang lebih ketat dan pasti.
Dampaknya, mampu menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi para pengusaha dan investor asing.
"Karena itu, kepastian hukum sangat penting dan sekiranya tugas negara menjamin dan menciptakan kepastian hukum yang adil seperti itu. Tanpa kepastian hukum yang adil, sulit bagi kita untuk mengejar pertumbuhan ekonomi 8 persen yang kita harapkan bersama itu,” kata Yusril mengutip Antara pada Selasa, 10 Juni 2025.
Direktur Hukum Center of Economic and Law Studies (Celios) Mhd Zakiul Fikri mengamini bahwa antara kepastian hukum dengan pertumbuhan ekonomi saling mempengaruhi.
Menurutnya, ketika hukum ditegakkan secara konsisten maka akan mendorong pertumbuhan ekonomi, sebab menciptakan iklim investasi yang adil.
Namun, Fikri menilai pernyataan Yusril tersebut sedang mengkritik dirinya sendiri sebagai menteri hukum.
"Apa yang disampaikan oleh Prof Yusril selaku Menko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan ibarat 'mencoreng arang ke muka sendiri.' Dia sedang mengkritik dirinya sendiri selaku bagian dari pemerintah, atau 'sedang menyerang sosok tertentu?' di pemerintah," kata Fikri saat dihubungi Suara.com, Kamis 12 Juni 2025.
Pernyataan Fikri bukan tanpa alasan, sebab merujuk pada sejumlah program strategis pemerintahan Prabowo, terdapat sejumlah program yang tidak memiliki kepastian hukum.
Bahkan, Fikri mengemukakan hal tersebut berpotensi mengakibatkan keuangan negara bocor sehingga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.
Ia mengemukakan, apabila hanya dijalankan berdasarkan peraturan kebijakan seperti instruksi presiden yang tidak jelas asal-usul kewenangannya.
MBG dan Koperasi Merah Putih
Dia mencontoh beberapa program kebanggaan Presiden Prabowo, seperti makan bergizi gratis atau MBG dan Koperasi Desa Merah Putih.
MBG, misalnya, sempat akan dijalankan menggunakan dana pribadi Prabowo--yang tidak memiliki dasar hukum apapun.
Belakangan diketahui program MBG diakomodir lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2024 tentang Badan Gizi Nasional (BGN), dan saat ini sedang dibentuk Intruksi Presiden Percepatan MBG.
Berdasarkan riset yang dilakukan Celios pada Desember 2024, ditemukan adanya potensi korupsi sebesar Rp8,5 triliun dari program MBG.
"Apakah program ini memacu pertumbuhan ekonomi? Bak jatuh lalu tertimpa tangga, republik ini tidak hanya buntung triliunan, tetapi program tersebut juga tidak dapat memicu pertumbuhan ekonomi, terutama daerah yang menjadi sasaran program," jelas Fikri.
Menurut Fikri, tidak berdampaknya MBG terhadap pertumbuhan ekonomi, karena program itu berjalan secara terpusat lewat Badang Gizi Nasional, tanpa melibat UMKM di daerah.
Ketidakpastian hukum juga terlihat pada program Koperasi Desa Merah Putih yang ditargetkan terbentuk 80 ribu koperasi dalam waktu dekat.
Skema pendanaannya berasal dari uang negara. Namun, sayangnya, kata Fikri, hanya didasarkan pada diskresi Prabowo sebagai presiden lewat Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Yang artinya tanpa dasar hukum dari peraturan perundang-undangan yang pasti.
Menurutnya, instruksi presiden itu telah mendobrak tembok kepastian hukum yang sebelumnya dirancang dalam Undang-Undang Keuangan Negara, Undang-Undang Koperasi, hingga Undang-Undang Desa.
"Sekali lagi, Inpres No. 9 Tahun 2025 ini merupakan wujud dari tindakan tanpa kewenangan atau onbevoegheid yang dilakukan pemerintah, karena ia mengganggu tata kelola kelembagaan, keuangan, dan perekonomian di tingkat desa," jelas Fikri.
Sementara di sisi lain, keberadaan Koperasi Desa Merah Putih dinilai tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi desa.
Merujuk pada riset yang dilakukan Celios ditemukan potensi kebocoran dana desa hingga Rp 60 juta per desa setiap tahunnya, atau secara nasional mencapai Rp 4,8 triliun setiap tahunnya.
Celios juga menemukan potensi pemerintah desa terjerumus dalam beban hutang sebesar Rp 3 miliar sampai Rp 5 miliar ke Bank Himbara dengan jaminan cicilan dari dana desa.
"Siapa yang akan disalahkan dari resiko kerugian keuangan negara tersebut? Yang paling utama adalah kepala desa. Mereka akan dikejar, ditangkap, dan dipenjarakan setelah dijebak melalui program Koperasi Desa Merah Putih oleh elit pemerintahnya sendiri," ujar Fikri.
Karenanya Fikri menyebut, apabila pemerintah ingin menegakkan kepastian hukum untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi, maka yang kali pertama dilakukan yakni memastikan kebijakan atau program yang dijalankan didasarkan pada norma hukum perundang-undangan.
"Artinya, norma hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan harus menjadi dasar pijakan bagi setiap pelaksanaan kegiatan pemerintahan," katanya.
Indeks Persepsi Korupsi
Sementara Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito menyoroti skor penegakan hukum atau Indeks Rule of Law dan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia.
Merujuk data World Justice Project (WJP), Indeks Rule of Law Indonesia pada 2024 berada urutan ke 68 dari 142 negara, mengalami penurunan skor sebesar 0,53 poin dari rangking tahun lalu yang menempati posisi ke 66.
Kondisi serupa juga terlihat dari sisi pemberantasan korupsi juga tidak memperlihatkan prestasi yang memuaskan.
Berdasarkan laporan Transparency International Indonesia (TII) indeks persepsi korupsi pada 2024 berada di angka 37 poin, meningkat tiga poin dibanding pada 2023. Indonesia berada di urutan ke 99 dari 190 negara.
Meski demikian peningkatan itu tidak tergolong signifikan, sebab skor tersebut mengalami kemerosotan dibanding dengan skor tertinggi yang pernah diraih Indonesia sebesar 40 poin pada 2019.
"Inilah yang menjadi persoalan karena Indeks Rule of Law adalah salah satu komponen dari penilaian banyak hal, termasuk indeks persepsi korupsi," kata Lakso saat dihubungi Suara.com.
"Ketika dijabarkan indikator dari WJP, skor kita masih dibawah rata-rata global untuk absence of corruption, fundamental rights, civil justice dan indikator lainnya. Itulah yang setidaknya menjadi indikator yang perlu diperbaiki pemerintah," sambungnya.
Guna memperbaikinya, kata Lakso, penting untuk menetapkan prioritas terhadap independensi penegak hukum, pemberantasan mafia hukum, jaminan partisipasi publik dan media.
"Inilah yang perlu dipercepat untuk memastikan kepastian hukum," kata Lakso.
Sebelumnya, Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), sekaligus aktivis 98 Ubedilah Badrun sudah pernah mengingatkan bahwa melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia memiliki korelasi dengan kepastian hukum.
Menurutnya, untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia, supremasi hukum, pemberantasan korupsi, penegakan HAM dan demokrasi yang berkualitas, merupakan faktor utama yang mendorong kepercayaan publik terhadap pemerintah, termasuk kepercayaan dunia internasional.
"Sayangnya nasehat para ilmuwan , para peneliti dan lembaga riset , termasuk forum internasional sekelas World Economic Forum sering diabaikan oleh pemerintahan, termasuk pemerintahan Jokowi sehingga berdampak pada stagnasi ekonomi dan cenderung memburuk," ujarnya.
Merujuk pada laporan Kementerian Keuangan pertumbuhan ekonomi justru mengalami perlambatan. Jauh dari target pertumbuhan 8 persen Presiden Prabowo.
Pada kuartal I 2025 hanya mencapai angka 4,8 persen, mengalami perlambatan dibandingkan periode yang sama pada 2024 yang masih tumbuh 5,02 persen.
"Saya khawatir dan menduga pemerintahan Prabowo jika tidak berubah atau masih meniru gaya Jokowi maka ekonomi Indonesia akan tetap stagnan dan makin memburuk," jelasnya.
Mengingat tingginya ongkos politik itu, Yusril memahami munculnya gagasan alokasi anggaran yang proporsional
"...ada batasan-batasan tertentu Polisi dan TNI itu dapat memberikan bantuan atas permintaan oleh pihak kejaksaan."
Meski datang lebih awal, Dadan menyampaikan Sidang Kabinet Paripurna akan dimulai pukul 15.30 WIB
Sekolah Rakyat libatkan TNI-Polri, tuai kritik pemerhati pendidikan. Dinilai intervensi berlebihan dan risiko bagi tumbuh kembang anak. Klaimnya, latih disiplin.
Aipda Paulus Lecehkan Korban Pemerkosaan: Keberulangan Kekerasan Seksual oleh Polisi Tak Bisa Lagi Dipandang sebagai Anomali!
Penyelenggaraan haji 2025 dikritik, Timwas Haji DPR usul Pansus Haji karena banyak keluhan jemaah soal layanan. Komnas Haji dan pengamat ragu, prioritaskan kompensasi jemaah.
Setelah tidak lagi di PDIP, Jokowi belum pilih partai. Lebih condong ke PSI karena potensi jadi ketua umum dan PSI "rumah Jokowi".
Harga beras naik di banyak daerah meski stok diklaim cukup. BPS mencatat kenaikan harga di banyak wilayah. Diduga Bulog kurang menyalurkan stok. Mentan curiga ada mafia.
Aktivitas tambang di Raja Ampat diprotes karena berdampak buruk pada lingkungan. Pemerintah dituding korupsi fakta, tapi publik tak percaya. Izin 4 perusahaan dicabut.
Jabar hapus PR mulai 2025/2026. Gubernur Dedi Mulyadi menilai PR konvensional tak efektif. Pengamat khawatir hilangnya ruang belajar jika tak ada perbaikan sistem.