Sengkarut Pengadaan Alat Tes Covid-19, Negara Berpotensi Rugi

Sengkarut Pengadaan Alat Tes Covid-19, Negara Berpotensi Rugi


Suara.com - Ratusan ribu alat tes covid-19 milik BNPB dikembalikan oleh rumah-rumah sakit. BPKP menaksir pemborosan uang negara Rp 39,2 miliar. Sementara ICW menduga potensi kerugian negara mencapai Rp 169,1 miliar.

TERSAPU sudah buncah di benak Antonius Oktavian, tatkala 12.997 unit alat deteksi covid-19 tiba di kantornya, Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Papua, 21 Agustus 2020.

Sebelum alat-alat itu tiba, Anton pusing tujuh keliling, karena stok reagen habis, sedangkan jumlah pasien covid-19 tak kunjung menunjukkan penurunan.

Selang 30 menit setelah reagen ekstraksi merek Sansure Biotech tiba di kantornya, Anton yang merupakan Kepala Balitbangkes Papua, langsung meminta anak buahnya memakai alat tersebut.

Sebanyak 94 sampel pasien positif covid-19 diuji memakai reagen buatan China itu. Tapi, roman Anton kembali berubah, terkejut, ketika anak buahnya membawa hasil uji sampel darah pasien.

“Pak, semua sampel darah pasien yang diuji, negatif corona semua,” lapor anak buahnya.

Anton terheran-heran, karena mendapat hasil tak lazim. “Coba kalian tes lagi,” kembali ia memerintahkan, yang langsung diiyakan oleh bawahannya.

Ketika anak buahnya datang untuk melaporkan hasil uji coba ulang, Anton mendapatkan hasil yang sama.

“Semuanya, 94 sampel, negatif, false-nya tinggi, pak.”

Anton kaget, “Aneh, ajaib ini,” kata dia.

Pada hari yang sama, Anton memutuskan menghubungi Badan Nasional Penanggulangan  Bencana (BNPB)—pengirim reagen itu—guna mengembalikan semua barang yang diterima dengan alasan, “Kami ragu, khawatir salah diagnosis kalau pakai alat ini.”

Tiga bulan kemudian, persisnya Rabu 23 Desember 2020, Anton menceritakan kembali momen itu.

“Kami waktu itu khawatir salah diagnosis. Bahkan, hari itu, pemeriksaan di Balitbangkes sempat tertunda beberapa jam. Pasien yang mau operasi atau yang meninggal kan butuh hasil cepat-cepat,” kata dia.

Kepusingan Anton kembali bertambah, karena BNPB menegaskan 12.997 unit reagen Sansure tak bisa langsung dikembalikan. Barang-barang itu baru bisa dikembalikan setelah ada penggantinya.

Dalam kondisi pandemi yang membutuhkan reagen dalam waktu cepat, Anton tidak bisa berharap sepenuhnya kepada BNPB.

Balitbangkes Papua memilih untuk mengadakan reagen sendiri. Anton lantas berinisiatif membeli reagen merek Fortitude, yang merupakan produk asal Singapura.

“Kami beberapa kali menggunakan reagen itu,” kata Anton.

Made with Flourish

Ramai-ramai mengembalikan

PERSOALAN seperti itu ternyata tak hanya terjadi di Papua. Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan Pengendalian Penyakit (BBPTKLPP) Jawa Timur mengalami hal serupa.

Koordinator Tata Usaha sekaligus penanggungjawab Penanggulangan Covid-19 BBPTKLPP Jawa Timur, Joko Kasihono menjelaskan, lembaganya menerima bantuan reagen Sansure dan Liferiver dari BNPB dalam rentang waktu April - Mei 2020.

Kala itu, Jawa Timur mengalami lonjakan kasus positif corona yang cukup tinggi. Dalam satu hari, BBPTKLPP menerima 5000 sampel untuk diuji.

BNPB kemudian mengirimkan 9.600 unit reagen, terbilang banyak, karena laboratorium BBPTKLPP juga ditunjuk untuk memeriksa sampel pasien wilayah Bali hingga Nusa Tenggara Barat.

Jumlah itu, kata Joko, cukup untuk satu bulan. Namun, ketika melakukan optimasi atau upaya mencocokkan mesin PCR dan reagen, hasilnya reagen tersebut tak dapat dipakai.

“Kami coba berkali-kali, ternyata hasilnya tidak bisa memenuhi standar,” kata Joko Kasihono.

Menurut Joko, reagen Sansure merupakan alat dengan sistem tertutup. Sementara mesin PCR BBPTKLPP bersistem terbuka. Sistem tertutup merupakan alat yang hanya dapat dipakai untuk satu jenis merek mesin tertentu.

Selain Sansure, BBPTKLPP Jawa Timur juga mengembalikan reagen Liferiver ke BNPB. Alat tersebut juga tak dapat dipakai. Reagen merek itu hanya dapat digunakan pada satu tempat, atau biasa disebut single pleat.

Kendati sudah menyampaikan bahwa kedua barang tersebut tak dapat digunakan, kata Joko, BNPB masih menawarkan barang yang sama kepada BBPTKLPP.

“Kami tidak bisa menerima. Kalaupun ada kiriman, langsung dialihkan ke laboratorium atau rumah sakit yang cocok,” ujar Joko.

***

TIDAK hanya laboratorium yang mengembalikan reagen bantuan dari BNPB. Rumah sakit rujukan penanganan Covid-19 juga berbondong-bondong mengembalikan alat kesehatan itu.

Alasannya, selain ketidakcocokan mesin, proses pengujian lama, ada juga yang mendekati kedaluarsa.

Rumah Sakit Universitas Airlangga, Surabaya tercatat mengembalikan reagen Liferiver karena mendekati kadaluarsa.

Riwayatnya tercatat dalam surat Nomor 2095/UN3.0.1/TU/2020 pada 3 September 2020 perihal pengembalian reagen PCR Covid-19 merk Liferiver.

Dalam surat tersebut dijelaskan, kondisi reagen Liferiver nomor lot P20200404 mendekati kedaluarasa pada 19 Oktober 2020.

Kepala Hubungan Masyarakat RS Unair Brihastama Sawitri mengatakan, sebanyak 1.850 tes reagen Liferiver dikembalikan ke BNPB.

“Waktu itu memang kami kembalikan,” kata Brihastama via telepon, Jumat 12 Maret 2021.

Sementara Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo (RSCM) meminta BNPB untuk mengambil kembali 10 ribu reagen merek Wizprep melalui surat F0.03.04/VIII.1/1640/2020.

RSCM mengungkapkan, reagen yang diterima pada Agustus 2020 itu, tidak dapat digunakan lantaran waktu ekstrasinya lebih lama ketimbang reagen lain.

Biasanya, RSCM menggunakan reagen merek Sansure yang proses ekstrasinya membutuhkan waktu 2 jam lebih sedikit ketimbang Wizprep.

Kepala Laboratorium Patalogi Klinik RSCM Nuri Dyah Indrasari menjelaskan, Wizprep butuh waktu 5-6 jam untuk melakukan 12 tahap pemisahan RNA virus corona.

“Kalau satu spesimen ada 12 tahap, bagaimana dengan 300 spesimen? Sangat melelahkan sekali bagi petugas,” kata Nuri, Kamis (4/3/2021).

Meski begitu, menurut Nuri, reagen merek Wizprep tidak kunjung diambil kembali oleh BNPB, sehingga RSCM memutuskan untuk menempatkannya di gudang penyimpanan.

Berdasarkan dokumen yang diperoleh, reagen yang dibeli BNPB juga tersimpan di sejumlah gudang, antara lain Gudang BGR di Komplek Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Ada pula yang disimpan di cold storage Rawa Bokor di Bogor, Jawa Barat; Gudang Pusat Krisis Kementerian Kesehatan, Jalan Percetakan Negara II Jakarta; serta, Gudang Merpati Halim dan Gudang Jatiasih.

Pantauan di Gudang BGR, reagen merek Sansure berada di peti lemari pendingin. Di peti itu, tampak tumpukan reagen Sansure yang terbungkus boks styrofoam berukuran sekitar 1x1 meter.

Alat kesehatan tersebut tidak diletakkan di ruang terbuka. Untuk dapat menjangkaunya tidak mudah, sebabnya setiap satu peti pendingin, dijaga petugas gudang.

Sudah kembalikan biaya

KEPALA BNPB Doni Monardo mengakui ada ratusan ribu reagen yang dikembalikan rumah sakit dan laboratorium.

Doni menjelaskan, persoalan itu diketahui dirinya berdasarkan temuan tim inspektorat BNPB.

Selanjutnya, kata Doni, temuan itu sudah ditindaklanjuti melalui audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menyasar 7 perusahaan penyedia reagen-reagen tersebut.

"Hasil akhirnya, perusahaan pemasok Sansure sudah mengembalikan Rp 7 miliar," kata Doni.

Doni menjelaskan, ketika ada laporan pengembalian reagen dari RS dan laboratorium, BNPB mewajibkan perusahaan-perusahaan pemasok membiayai pengembalian.

Selain itu, kata Doni, perusahaan-perusahaan itu juga diwajibkan mendistribusikan kembali reagen-reagen itu kepada RS maupun laboratorium yang memiliki mesin cocok.

Sementara soal ragen Wizprep yang menumpuk di gudang RSCM serta reagen Sansure di gudang Kelapa Gading, Doni menjawab secara diplomatis.

"Ya seharusnya informasinya sampai ke BNPB."

Direstribusikan

Dalam keterangan lebih lanjut yang didapat Suara.com, BNPB menjelaskan linimasa pengadaan reagen merek Sansure, adanya pengembalian, hingga ditarget habis diredistribusikan kembali pada Maret 2021.

Berikut linimasa BNPB tersebut: 

April 2020
Penawaran sebesar 500 ribu tes, namun Surat Pesanan menyesuaikan stok yang tersedia sehingga jumlah pengadaan sebesar 499,200 Test Reagen PCR, RNA dan VTM dari PT Mastindo Mulia.

April - Mei 2020
Bersama Litbangkes Kemenkes, melakukan distribusi 499,200 test ke-88 laboratorium di 31 provinsi.

Agustus 2020
Proses Audit BPKP. Ditemukan sejumlah 473.984 RNA Sansure tidak bisa digunakan di beberapa laboratorium. Untuk reagen PCR dan VTM bisa digunakan oleh laboratorium.

Agustus s/d Desember 2020

BNPB bersama Gugus Tugas Penanganan Covid-19 dan Litbangkes menindaklanjuti hasil audit BPKP, dengan membuat surat penarikan ke laboratorium penerima. Sampai dengan per-31 Desember 2020, ditarik sebanyak 202,560 tes dari 26 laboratorium.

Sisa 271,424 tes RNA bisa digunakan laboratorium atau dikembalikan ke dinas kesehatan provinsi untuk dilakukan redistribusi.

Akhir Desember 2020

BNPB bersama Gugus Tugas Penanganan Covid-19 melakukan redistribusi sejumlah 137,280 tes RNA merek Sansure ke 12 laboratorium.

Januari - Maret 2021

Redistribusi sejumlah 65,280 tes ke 4 laboratorium.

Linimasa BNPB terkait pengadaan reagen covid-19 merek Sansure Biotech, hingga proses redistribusi ke laboratorium-laboratorium. [dokumentasi BNPB]
Linimasa BNPB terkait pengadaan reagen covid-19 merek Sansure Biotech, hingga proses redistribusi ke laboratorium-laboratorium. [dokumentasi BNPB]

Tak tahu bermasalah

AGUS Salim Pangestu, anak taipan Prajogo Pangestu, mengakui perusahaannya yakni PT Mastindo Mulia diminta BNPB menyediakan 500 ribu reagen Sansure.

BNPB meminta PT Mastindo Mulia untuk memasok reagen Sansure, setelah perusahaan itu menghibahkan 50 ribu reagen dalam program tanggungjawab sosial perusahaan alias CSR.

Kerja sama BNPB - PT Mastindo Mulia itu diteken pada tanggal 22 April 2020. Total nilai kerja sama pengadaan reagen Sansure itu Rp 172,5 miliar.

Masih pada hari yang sama, perusahaan itu memasukkan kategori usaha perusahaan sebagai penyalur alat-alat kesehatan serta laboratorium.

Sebelum ada pandemi corona, PT Mastindo Mulia aslinya adalah badan usaha di bidang keuangan, asuransi, serta griya tawang.

Agus Salim Pangestu yang menjabat Presiden Direktur Barito Pasific Group, mengakui penyediaan alat-alat untuk BNPB itu diyakininya guna membantu penanganan pandemi.

“Dengan studi kelayakan dan restu dari BNPB,” kata Agus Salim Pangestu melalui pesan WhatsApp, Kamis 11 Maret 2021.

Djoko Suyanto, perwakilan manajemen PT Mastindo Mulia, melalui pernyataan tertulis menegaskan perusahaannya tidak tahu menahu Sansure bermasalah.

Dia juga menegaskan, PT Mastindo Mulia tidak mengetahui reagen Sansure tidak cocok dengan alat-alat laboratorium di hampir semua rumah sakit.

"Kami cuma menjalankan penunjukan BNPB. Pemahaman kami, BNPB sudah mengujinya," kata Djoko Suyanto, Jumat 12 Maret 2021.

Djoko Suyanto juga mengakui tidak mengetahui soal pengembalian uang Rp 7 miliar sebagai ongkos redistribusi atas reagen yang tak terpakai.

Ia menegaskan, PT Mastindo Mulia hingga kekinian tak pernah mengurus pengembalian atau menerima reagen yang dikembalikan rumah-rumah sakit.

"Rp 7 miliar itu adalah pengembalian selisih kurs pembelian reagen dan selisih volume PCR kit," kata Djoko.

Terakhir ia menegaskan, keterlibatan anak usaha Barito Group itu dalam pengadaan reagen di BNPB, semata-mata untuk membantu pemerintah menangani pandemi covid-19.

”Kami memiliki kepedulian besar. Kami melakukan pembelian mandiri."

Made with Flourish

Temuan BPKP

BADAN Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ikut menelisik sengkarut pengadaan reagen-reagen tersebut.

BPKP melakuan audit terhadap 7 perusahaan pemasok reagen merek merek Sansure, Liferiver, Addbio, Zeesan, dan Kogen, yang bermasalah.

Hasilnya, BPKP mengendus pemborosan uang negara yang ditaksir mencapai Rp 39,2 miliar.

BPKP secara resmi mengungkap potensi pemborosan uang negara itu dalam surat Nomor SR-472/D2/01/2020 perihal Atensi Kedua atas Hasil Audit Tujuan Tertentu atas Tata Kelola Proses Pengadaan Barang/Jasa Terkait Percepatan Penanganan Covid-19, tertanggal 4 Agustus 2020.

Dalam surat itu tertulis, terdapat dua sebab dugaan pemborosan tersebut. Pertama dalam proses pengadaan PCR, belum terdapat uji coba atas kualitas produk PCR kit dari semua produk yang diadakan.

Hal ini menyebabkan sejumlah reagen PCR Kit tidak digunakan oleh laboratorim dan rumah sakit di berbagai daerah.

Sebab kedua, menurut BPKP, terdapat perubahan kebijakan distribusi reagen PCR oleh Gugus Tugas di daerah, namun tidak dikoordinasikan dengan Gugus Tugas Pusat.

Kondisi ini juga tidak disertai dengan pengadministrasian memadai, sehingga sulit untuk melakukan pengawasan atas stok reagen PCR yang telah di distribusikan oleh BNPB ke daerah.

Selanjutnya, BPKP menyarankan empat hal kepada Deputi Bidang Logistik dan Peralatan BNPB.

Pertama, mengidentifikasi dan menganalisis stok PCR, RNA, dan VTM hasil pengadaan BNPB yang tidak dapat digunakan di daerah.

Kedua, menyusun tata cara pengembalian barang dari daerah-daerah yang tidak tersedia dry ice.

Ketiga, menarik seluruh RNA Kit dan VTM merek Sansure yang tidak dapat digunakan pada laboratorium dan rumah sakit di daerah.

Secara bersamaan, BPKP juga menyarankan BNPB mendistribusikan ulang kepada rumah sakit dan laboratorium lain, yang mengklaim bisa menggunakan alat tersebut dengan mempertimbangkan kebutuhan rumah sakit dan masa kedaluarsa pada Oktober 2020.

Terakhir, keempat, mendorong Gugus Tugas Penanggulangan Covid-19 di daerah agar melengkapi dokumen BAST distribusi reagen PCR, dan berkoordinasi dengan Gugus Tugas Pusat dalam melakukan perubahan kebijakan distribusi barang.

Kepala Biro Hukum dan Komunikasi BPKP Eri Satriana, saat dikonfirmasi perihal bocornya surat tersebut, membenarkan bahwa lembaganya melakukan audit terhadap beberapa perusahaan rekanan BNPB.

“Berdasarkan identifikasi suratnya itu kami dan ditandatangani pejabat BPKP,” kata Eri saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa 9 Maret 2021.

[Suara.com/Ema Rohimah]
[Suara.com/Ema Rohimah]

Temuan ICW lebih besar

INDONESIA Corruption Watch mengungkapkan, sebanyak 78 rumah sakit dan laboratorium yang tersebar di 29 provinsi, mengembalikan 498.644 unit reagen.

Hal itu terdapat dalam Laporan Kajian Tata Kelola dan Distribusi Alat Kesehatan Dalam kondisi Covid-19, yang disusun ICW tahun 2021.

“Sebanyak 498.644 unit reagen yang dikembalikan karena tak bisa dipakai itu, dibeli mamakai dana APBN. Total anggarannya diperkirakan Rp 169,1 miliar,” kata peneliti ICW Wana Alamsyah.

Rincian reagen yang dikembalikan itu ialah, Intron, 1.000 unit; Wizprep, 10.000 unit; Seggenne, 300 unit; Liferiver, 2.825 unit; Kogene, 700 unit; dan, Sansure, 483.819 unit.

“Pembelian barang tidak sesuai dengan perencanaan dan belum ada uji teknis terhadap barang yang dibeli,” kata Wana Alamsyah, Rabu, 10 Maret 2021.

Dalam laporan yang sama, ICW mengungkapkan ada dugaan potensi kerugian negara sebesar Rp 169,1 miliar akibat pengembalian reagen RNA dan PCR sebanyak 498.644 unit.

Rinciannya, pengembalian 483.819 unit reagen Sansure menimbulkan potensi kerugian negara Rp 166 miliar.

Dari pengembalian 2.825 uniut Liferiver karena tak bisa dipakai, menimbulkan potensi kerugian negara Rp 1 miliar.

Pengembalian seribu unit Intron dan 700 unit merek Kogene, masing-masing menimbulkan potensi kerugian Rp 200 juta dan Rp 196 juta.

Sementara karena pengembalian 300 unit Seggenne dan 10 ribu unit merek Wizprep, negara berpotensi merugi Rp 94 juta dan Rp 700 juta.

Menurut peneliti ICW Dewi Anggreini, potensi kerugian negara mengartikulasikan perencanaan tak sesuai kebutuhan yang dilakukan pengguna anggaran, maupun pihak kuasa pengguna anggaran.

Perencanaan tak sesuai kebutuhan itu, kata dia, terutama tampak pada saat penetapan identifikasi dan ketersediaan sumber daya.

Dewi mengatakan, persoalan itu mengarah pada pelanggaran Peraturan LKPP Nomor 13/2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa.

“Patut diduga bahwa mereka tidak menetapkan identifikasi kebutuhan dan ketersediaan alat,” kata Dewi.

Berdasarkan temuan tersebut, ICW akan melaporkan pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam proses pengadaan barang ke Komisi Pemberantasan Korupsi dalam waktu dekat.

“Kami akan memberikan laporan kepada KPK, kami berhadap ini ditindaklanjuti."

Catatan Redaksi: Artikel ini merupakan 1 dari 4 laporan hasil kolaborasi sejumlah media yang tergabung dalam Klub Jurnalis Investigasi (KJI) dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Reportase dilakukan oleh Suara.com, Jaring.id, Alinea.id, dan Majalah Tempo, sejak Desember 2020. Tim Suara.com terdiri dari Erick Tanjung (penulis), Reza Gunadha (penyunting) dan Ema Rohimah (infografis).