Suara.com - Kekerasan seksual terhadap perempuan yang diduga dilakukan anggota polisi kembali terjadi. Ironisnya, peristiwa tersebut terjadi saat korban menjalani pemeriksaan atas kasus pemerkosaan yang sebelumnya dialaminya. Keberulangan ini semakin meyakinkan publik bahwa perkara yang melibatkan kepolisian bukan lagi anomali.
KASUS ini berawal saat MML melaporkan pemerkosaan yang dialaminya ke Polsek Wewewa Selatan, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 1 Maret 2025 lalu.
Korban sebelumnya diperkosa seorang pria berinisial OBL alias Bora. Setelahnya pada 2 Maret 2025, korban dijemput Aipda Paulus untuk menjalani pemeriksaan di Polsek Wewewa Selatan.
Namun pada saat proses pemeriksaan itu, Aipda Paulus melakukan kekerasan seksual terhadap MML. Berdasarkan pengakuan MML, Aipda Paulus secara paksa menyentuh bagian vitalnya.
Awalnya, korban enggan melaporkan peristiwa yang dialaminya kepada keluarga. Namun belakangan terungkap, setelah Polsek Wewewa Selatan menghentikan penyidikan pemerkosaan yang dialami oleh MML usai menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang diterima keluarga pada 23 Maret 2025.
Polisi kala itu berdalih bahwa peristiwa tersebut terjadi atas dasar suka sama suka.
Merasa mendapat ketidakadilan, MML didampingi keluarganya menyambangi Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) setempat. Di sana, korban akhirnya bercerita bahwa kembali mengalami kekerasan seksual dari Aipda Paulus.
Sebelumnya, MML mengaku tidak berani bercerita terus terang mengenai peristiwa yang dialaminya, karena mendapat ancaman serius dari Aipda Paulus.
Menindaklanjuti kasus tersebut, Kapolres Sumba Barat Daya AKBP Harianto Rantesalu menyebut, saat ini Aipda Paulus telah dilakukan penempatan khusus atau patsus selama 30 hari, serta kasusnya sudah dinaikkan ke penyidikan.
"Pelaku sudah mengakui perbuatannya," kata Harianto.
Kasus Polisi Cabul Berulang
Perilaku bejat Aipda Paulus semakin menambah daftar panjang kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh anggota polisi. Sebelumnya, masih hangat di ingatan kasus yang mencuat pada awal Maret 2025 lalu yang juga terjadi di Nusa Tenggara Timur.
Mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja melakukan pencabulan terhadap sejumlah anak di bawa umur pada pertengahan tahun 2024. Ironisnya, perbuatan itu direkamnya, dan diduga dijual di situs porno luar negeri.
Polisi yang melakukan kekerasan seksual dalam konteks penanganan kasus juga bukan suatu hal yang baru. Anggota Polres Pacitan, berinisial LC memperkosa seorang tahanan perempuan. Kasus tersebut mencuat pada April 2025 lalu.
Pada Juli 2024 lalu, kasus pencabulan yang dilakukan anggota polisi terhadap seorang anak panti asuhan mencuat di Bangka Belitung. Pelakunya, Brigadir Polisi AK, anggota Polsek Tanjung Pandan.
Mirisnya, pencabulan itu terjadi saat korban sedang melaporkan kasus pemerkosaan yang dialaminya. Tindakan itu terjadi di salah satu ruangan di Polsek Tanjung Pandan.
Sementara itu, menurut catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menunjukkan bahwa selama Juli 2021 hingga 2022 Juni terdapat 18 kasus kekerasan seksual yang pelakunya anggota polisi.
Keterlibatan polisi dalam kasus kekerasan seksual berpotensi menjadikannya sebagai fenomena gunung es.
Sebab, tidak menutup kemungkinan ada banyak kasus lainnya yang luput dari pemberitaan atau tidak dilaporkan.
Aktivis perempuan dari Jakarta Feminis, Anindya Restuviani menilai berulangnya kasus kekerasan seksual yang pelakunya melibatkan kepolisian tidak bisa lagi disebut sebagai anomali.
"Kasus ini saya yakin bukan kasus anomali. Dan menjadi salah satu contoh kenapa masyarakat jadi takut dan enggan untuk melaporkan kasus kekerasan seksual," kata Vivi sapaan akrab Anindya saat dihubungi Suara.com pada Rabu 11 Juni 2025.
Sebab, keberulangan kasus tersebut menunjukkan, selain seringkali menyalakan korban atau victim blaming kepada korban kekerasan seksual, polisi juga melakukan reviktimisasi atau membuat korban kembali mengalami kekerasan.
"Data dari Komnas Perempuan sendiri di tahun 2024 mencatat ada 28 kasus yang pelakunya adalah anggota kepolisian atau TNI. Dan itu yang tercatat," kata Vivi.
Keberulangan yang terus terjadi, menurut Vivi, sudah seharusnya membuat Polri tidak lagi memandang anggotanya yang menjadi pelaku kejahatan sebagai oknum.
Ia menegaskan bahwa institusi Polri harus mengakui ada masalah sistem yang terus dipupuk yang akhirnya menumbuhkan impunitas bagi anggotanya yang melakukan kekerasan.
Sementara di sisi lain, kekerasan seksual oleh polisi yang masih terjadi, setelah terbitnya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, menunjukkan masih minimnya pemahaman dan sensitivitas terhadap korban.
"Padahal, salah satu mandat dari UU TPKS ini kan sosialisasi untuk melakukan pencegahan. Pemahaman sensitivitas gender juga penting untuk diberikan kepada penegak hukum terutama untuk polisi," tegas Vivi.
Sementara itu, Anggota Komisi Kepolisian Nasional atau Kompolnas, Mohammad Choirul Anam menegaskan bahwa lembaganya menaruh perhatian besar terhadap kasus tersebut.
Bahkan, dia juga mendesakkan tuntutan agar pelaku harus mendapatkan hukuman yang berat.
"Pelaku harus diberi hukuman yang berat. Harus berat, nggak bisa disamakan dengan tindak pidana lain," kata Anam saat dihubungi Suara.com, Rabu 11 Juni 2025.
Menurut Anam, Aipda Paulus pantas mendapatkan hukuman yang berat, karena kekerasan seksual itu terjadi saat korban berada di bawah kewenangan kepolisian, yakni pada proses pemeriksaan.
Hukuman berat menurut Anam, bukan hanya sekedar angka vonis penjara, tetapi bagaimana bisa memberikan efek jera.
Salah satu caranya dengan mempermalukan pelaku, yakni mengumumkan perbuatan yang dilakukannya pada setiap kali pertemuan-pertemuan penting kepolisian.
Menurut Anam, hukuman pidana tak cukup memberikan efek jera. Oleh karenanya harus diumumkan sehingga anggota polisi yang lain mengetahui dampak dari perbuatan itu.
Pun agar kasus ini tak terus berulang, perlu dilakukan pengawasan yang berjenjang. Bukan hanya pada level anggota, tapi juga ke level atasan.
"Artinya lebih dalam lagi, atasan juga harus bertanggung jawab. Kalau ada kejadian seperti ini, atasan juga harus dievaluasi," ujar Anam.
Selain itu, pengawasan juga bisa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi seperti penggunaan kamera pengawas atau CCTV di ruang penyidikan atau pemeriksaan.
Penggunaannya harus ditingkatkan bukan hanya di level Polda, tapi sampai level Polsek.
"Pengawasan teknologi ini harus ada standar minimum. Dan standar minimumnya harus terlampaui, di manapun itu," ujar Anam.
MML mendatangi Polsek Wewewa Selatan untuk melaporkan tindak pemerkosaan yang dialaminya di Desa Mandungo, Kecamatan Wewewa Selatan.
Pemerkosaan pertama kali terjadi dengan rentang waktu 25-30 Desember 2024, peristiwa kedua terjadi pada 22 Maret 2025 tepat pada hari jasad korban ditemukan.
Lantas, apa sebenarnya yang ada dipikiran pelaku sehingga ia tega melakukan pemerkosaan kepada anak di bawah umur?
Jika rumah dibuat terlalu kecil, tidak hanya ruang hidup yang terbatas, tapi juga berpotensi menimbulkan masalah kesehatan, sosial, dan psikologis penghuninya, ujar Irine.
Menteri Hukum Yusril Sedang Kritik Diri Sendiri Soal Kepastian Hukum dan Pertumbuhan Ekonomi
Sekolah Rakyat libatkan TNI-Polri, tuai kritik pemerhati pendidikan. Dinilai intervensi berlebihan dan risiko bagi tumbuh kembang anak. Klaimnya, latih disiplin.
Penyelenggaraan haji 2025 dikritik, Timwas Haji DPR usul Pansus Haji karena banyak keluhan jemaah soal layanan. Komnas Haji dan pengamat ragu, prioritaskan kompensasi jemaah.
Setelah tidak lagi di PDIP, Jokowi belum pilih partai. Lebih condong ke PSI karena potensi jadi ketua umum dan PSI "rumah Jokowi".
Harga beras naik di banyak daerah meski stok diklaim cukup. BPS mencatat kenaikan harga di banyak wilayah. Diduga Bulog kurang menyalurkan stok. Mentan curiga ada mafia.
Aktivitas tambang di Raja Ampat diprotes karena berdampak buruk pada lingkungan. Pemerintah dituding korupsi fakta, tapi publik tak percaya. Izin 4 perusahaan dicabut.