Suara.com - “Cangkul, cangkul, cangkul yang dalam, aku gembira, menanam jagung di kebun kita”—keriangan yang tersirat pada lirik lagu anak-anak karya Ibu Sud itu, tak bisa dirasakan oleh balita bernama Mario. Dia justru diduga dianiaya saat menanam jagung di tanah moyangnya sendiri.
HARI masih pagi ketika Mario bersama ayah, ibu, dan puluhan orang Nagori (Desa) Sihaporas bergegas ke hutan di Buttu Pangaturan, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Senin 16 September 2019.
Ada 2.049 hektare lahan di hutan yang secara turun temurun diklaim menjadi tanah adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas.
Namun, semuanya berubah tatkala lahan itu diklaim masuk kawasan hutan tanaman industri milik PT Toba Pulp Lestari Tbk. Perusahaan itu bergerak dalam bidang industri pembuatan bubur kayu berorientasi ekspor.
Mario Teguh Ambarita dan rombongan tiba di ladang sekitar pukul 08.15 WIB. Menanam jagung adalah bentuk protes warga terhadap PT TPL yang mengklaim lahan tersebut.
Sudah lama mereka berjuang agar lahan itu dikembalikan kepada lembaga adat Lamtoras untuk dilestarikan.
Tiga jam kemudian, sekitar pukul 11.30 WIB, ketenangan mereka menanam jagung mulai terusik. Sekelompok orang di bawah komando Bahara Sibuea—Bagian Humas Sektor Aek nauli PT TPL—datang ke ladang. Mereka meminta warga pergi.
"Ini tanah adat kami. Jadi kami berhak menanam jagung di sini," jawab warga. "Sejak zaman dulu ini lahan ompu kami. Apa hak kalian mengusir kami?"
Warga Adat Lamtoras berkukuh, tak sejengkal pun beranjak pergi. Bagi mereka, diusir dari tanah nenek moyang adalah penghinaan.
Bahara lantas memberi instruksi kepada anak buahnya untuk maju. Mereka merampas alat kerja warga. Semua cangkul yang dibawa warga hendak dirampas.
Warga melawan sekuat-kuatnya. Orang-orang bawaan Bahara terus merangsek maju, melakukan pemukulan terhadap warga.
Buk..buk... ada warga yang tersungkur. Plak... buk... buk...plak... satu bocah yang belum lagi lancar berbicara tersungkur.
"Anakku... anakku... Mario anakku... Mariooo..." kaum ibu berteriak histeris, melihat anak itu terkena pukulan.
Marudut Ambarita, sang ayah, lantas menggendong Mario. Erat-erat dia peluk Mario di dada. Gantian Marudut yang menjadi sasaran pemukulan. Dia korbankan badannya menjadi tameng, agar Mario selamat.
Warga lain coba melindungi Mario yang berada pada dekapan Marudut. Mereka spontan membela diri, sekuat tenaga melawan para penyerbu. Yang lain berteriak histeris. Situasi semakin tak terkendali.
Kericuhan terjadi sampai pukul 11.45 WIB. Mangitua Ambarita yang bergelar Ompu Morris Ambarita, Wakil Ketua Umum Lembaga Adat Lamtoras memberi instruksi kepada warga untuk mundur, pulang ke nagori.
Mangitua Ambarita memerintahkan semau warga pulang demi mengutamakan keselamatan Mario dan warga yang terluka bisa segera mendapatkan pengobatan.
Banyak warga yang menjadi korban penganiayaan. Selain Mario dan Marudut, setidaknya Bendahara Lamtoras Thomson Ambarita, dan Sekretaris Lamtoras Jonny Ambarita juga ikut terluka.
Mario dan warga yang terluka dibawa ke puskesmas. Pegiat Lembaga Adat Lamtoras juga melaporkan penganiayaan itu ke Polsek Sidamanik.
Namun, petugas piket Polsek Sidamanik menolak menerima laporan. Mereka menganjurkan warga melapor ke Mapolres Simalungun di Pematang Raya.
Meski jarak dari desa ke Mapolres Simalungun terbilang jauh, 60 kilometer, warga tetap datang untuk melaporkan penganiayaan di ladang.
Polisi datang ke Nagori Sihaporas beberapa hari setelah peristiwa. Bukan untuk menelisik penganiayaan, melainkan menangkap Thomson dan Jonny Ambarita. Mereka dijerat pasal tindak pidana penganiayaan terhadap petugas keamanan PT TPL.
Hingga kekinian, keduanya masih ditahan dan diajukan sebagai terdakwa dalam persidangan di Pengadilan Negeri Simalungun.
Thomson dan Jonny Ambarita sudah sembilan kali dipersidangkan. Termutakhir hari Senin 27 januari 2020, yang beragendakan keterangan saksi-saksi.
Saat sidang berlangsung, massa dari Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Adat (AMMA) menggelar demonstrasi di depan area pengadilan. Mereka menuntut Thomson dan Jonny dibebaskan.
AMMA adalah komite aksi yang dibentuk oleh Lembaga Adat Lamtoras, PMKRI, GMKI, GMNI, serta Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak. Setiap sidang Thomson dan Jonny digelar, mereka menggelar aksi mengampanyekan pembebasan keduanya.
"Ini adalah bentuk keprihatinan kami terhadap masyarakat adat Sihaporas. Kenapa masyarakat saja yang diproses hukum. Kenapa pekerja TPL belum diproses? Pengadilan adalah wakil Tuhan di dunia ini. Tolonglah beri kami keadilan. Kami ingin Jonny Ambarita dan Thomson Ambarita dibebaskan," kata aktivis GMKI seperti diberitakan Medan Bisnis Dialy Online.
Namun, sebelumnya, aparat kepolisian sudah menegaskan tak bisa meladeni desakan AMMA agar Bahara Sibuea dijadikan tersangka kasus dugaan penganiayaan terhadap Thomson Ambarita serta balita Mario Teguh Ambarita kala bentrok.
Kapolres Simalungun Ajun Komisaris Besar Heribertus Ompusunggu mengatakan, kepolisian menerima dua pengaduan terkait bentrok pada 16 September 2019, yaitu masyarakat kontra pekerja PT TPL.
"Laporan masyarakat itu tidak terbukti. Sudah dicek ke dokter. Tidak ada bukti penganiayaan dan kekerasan kepada masyarakat yang dilaporkan," kata Heribertus kepada awak media lokal sepekan sebelum sidang terbaru.
Sementara dalam laporan yang diajukan pihak PT TPL, Heribertus mengklaim penyidik menemukan dugaan kekerasan terhadap karyawan perusahaan saat bentrok.
Namun, bagi para aktivis dan warga Nagori Sihaporas, penangkapan dan proses hukum terhadap Thomson serta Jonny adalah upaya kriminalisasi perjuangan rakyat.
“Thomson dan Jonny ditangkap. Ini adalah bentuk kriminalisasi, karena keduanya aktif sebagai motor penggerak Lembaga Adat Lamtoras,” kata Mangitua Ambarita kepada Suara.com, Minggu (2/2/2020).
Rusak tercemar
Mangitua menceritakan, lahan yang disengketakan itu sebenarnya sudah menjadi tanah ulayat selama delapan generasi. Bukti keabsahannya adalah, tanah itu terdapat dalam peta enclave kolonial Belanda tahun 1916.
Pada tahun 1910-an, tanah adat itu dipinjamkan kepada kolonial Belanda guna dijadikan hutan pinus. Setelah kemerdekaan, lahan adat keturunan Ambarita ditetapkan pemerintah sebagai kawasan hutan.
Pada era Orde Baru Soeharto, Departemen Kehutanan memasukkan lahan adat tersebut dalam kawasan Hutan Negara Register 2-17/SM.
Tahun 1992, kawasan tanah adat itu dimasukkan dalam pengusahaan PT Inti Indorayon Utama yang mendapat konsesi hak pengusahaan hutan tanaman industri (HPHTI), melalui SK Menhut Nomor 493/KPTS/II/2992.
Ketika kekuasaan Soeharto runtuh, warga adat Sihaporas ikut berjuang mengklaim kembali tanah adat. Mereka ikut berdemonstrasi di kawasan Porsea dan Danau Toba untuk menolak beroperasinya PT Inti Indorayon Utama. Hasilnya, pemerintah menghentikan operasional PT IIU pada 21 Juli 1998.
"Saat itu, kami ikut berdemonstrasi dan menduduki lahan. Akibat memperjuangkan tanah adat, tiga warga Sihaporas ditangkap, termasuk saya terpenjara dua tahun," kata Mangitua.
Selang setahun, 1999, DPRD Kabupaten Simalungun memeriksa lahan yang disengketakan. Setelahnya, Komisi A DPRD menerbitkan rekomendasi yang salah satu isinya adalah terdapat bukti-bukti bahwa Desa Sihaporas telah dihuni sejak lama.
Buktinya antara lain ialah ada kolam besar milik warga; terdapat perkampungan yang dikelilingi parit sedalam kurang lebih 3 meter; ada bekas pekan/onan atau pasar tradisional yang dikelilingi timbunan tanah; kuburan tua; pohon bambu dan sebagainya.
"Berdasarkan rekomendasi DPRD tersebut, Bupati Simalungun kala itu, John Hugo Silalahi sempat berjanji mengembalikan tanah seluas 150 Ha. Namun, karena jumlah masyarakat sudah bertambah banyak, ratusan keluarga, kami meminta setidaknya separuh dari tuntutan kami, yaitu 1.500 hektar," kata Mangitua.
Karena luas tanah yang dituntut dikembalikan terlampau besar, Bupati John Hugo menganjurkan warga mengajukan permohonan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Kami kini berharap Presiden Jokowi dan Menteri LHK bisa mengembalikan tanah adat. Itu agar tetap bisa dilestarikan. Sebab selama ini, alamnya tercemar,” kata Mangitua.
Ia mencontohkan, pada tanggal 23 – 25 Oktober 2018, warga menggelar ritual Patarias Debata, yaitu pesta terbesar dalam adat Ambarita.
Sehari setelah ritual adat, warga dikagetkan penemuan bangkai-bangkai ikan mengapung di sungai. Beragam ikan seperti jurung, kepiting, lele, bahkan katak, ditemukan mati.
Setelah ditelusuri selama dua hari, masyarakat adat Sihaporas menemukan botol-botol pestisida dosis tinggi yang sudah kosong terserak di sekitar umbur air.
Kasus ini dilaporkan warga kepada Polres Simalungun, dan Badan Lingkungan Hidup. Namun Polres Simalungun tidak dapat mengusut kasus tersebut.
“Rekomendasi Badan Lingkungan Hidup (Pemprov Sumatera Utara) adalah PT TPL harus membangun parit di seputaran umbul air, namun hingga kini tidak ada tindak lanjut,” kata Mangitua.
Siapa punya perusahaan?
GERHA lima lantai itu berada di tengah kompleks pabrik PT Toba Pulp Lestari Tbk di Porsea, Toba Samosir.
Terdapat dinding yang sudah jebol di dalamnya, sehingga cuma lantai satu yang dipakai sebagai gudang serta menempatkan mesin genset.
“Bangunan itu kantor perusahaan saat masih bernama PT Inti Indorayon Utama,” kata Kepala Humas PT TPL Norma Patty Andini Hutajulu, saat tim IndonesiaLeaks mengunjungi pabrik itu, akhir November 2019.
Gedung itu tak terawat sejak PT Inti Indorayon memindahkan mesin pengolah bubur kertas, tahun 2000. Kala itu, warga Porsea memprotes aktivitas perusahaan merusak lingkungan.
Tujuh tahun sebelumnya, 1993, tabung mesin boiler PT Inti Indorayon meledak, dan terdapat kebocoran gas klorin. Peristiwa itu semakin menajamkan konflik agraria antara rakyat dengan Indorayon. Korban berjatuhan, dan tak sedikit yang tersangkut masalah hukum.
Setahun sebelum pindah, 1999, Presiden Gus Dur memerintahkan PT Inti Indorayon yang didirikan konglomerat Sukanto Tanoto itu ditutup.
Selang lima tahun, perusahaan produsen bubur kayu tersebut kembali dengan nama lain yakni PT Toba Pulp Lestari Tbk yang terus beroperasi hingga kekinian.
Pada masa awal debut kedua, perusahaan berada dalam situasi turbulensi keuangan, karena jumlah produksi pulp terbilang rendah.
Tahun 2005 misalnya, PT TPL membukukan pendapatan bersih USD 89,9 juta. Tapi, pendapatan itu tak cukup menutupi utang tahun sebelumnya. Setelah dikurangi beragam beban pajak dan bunga, pembukuan perusahaan tetap tercatat merugi USD 24,8 juta.
Sukanto Tanoto lantas menjual semua sahamnya di PT TPL kepada Pinnacle Company Limited, 17 Desember 2007.
Pinnacle Company Ltd yang berbasis di Seychelles—surga pajak di tengah Samudra Hindia—membeli saham PT TPL seharga Rp 870 per lembar atau total senilai Rp 1,1 triliun.
Perusahaan itu, per 30 April 2018, sudah berubah menjadi Pinnacle Company Pte Ltd. Basis perusahaan juga berpindah ke Singapura.
Di negeri Singa itu, Pinnacle berkantor di UOB Plaza Building. Hal tersebut tertuang dalam sertifikat konfirmasi pendaftaran transfer perusahaan, yang diterbitkan Otoritas Regulator Akuntansi dan Korporasi (ACRA) Singapura.
Namun, hasil penelitian Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia—lembaga pegiat lingkungan—yang dipublikasikan tahun 2018 menengarai Pinnacle berafiliasi dengan Sukanto Tanoto.
Saham Pinnacle dikuasai Blu Diamond Inc yang terdaftar di Kepulauan Cayman di Laut Karibia. TuK menyebutkan Pinnacle menguasai 97,4 persen saham PT Toba Pulp Lestari.
Sukanto Tanoto dan keluarga diklaim menguasai saham Blu Diamond. Bersama Royal Golden Eagle, Blu Diamond adalah pemegang saham perkebunan sawit milik Sikanto: APRIL.
Pinnacle tak mengubah bisnis perusahaan setelah menguasai PT TPL, yakni bergerak dalam produksi bubuk kayu jenis dissolving wood pulp (DWP) dan bleached hardwood kraft pulp (BHKP). BHKP adalah bahan baku tisu dan kertas. Sementara DWP lazimnya menjadi bahan baku tekstil.
PT TPL mengekspor bubuk kayu DWP maupun BHKP via DP Marketing International Limited, yang berbasis di Macau—daerah administrasi khusus China.
Proses selanjutnya, DP Marketing International Ltd menjual semua bubur kayu PT TPL kepada Sateri, perusahaan pemilik sejumlah pabrik rayon di China.
Berdasarkan dokumen yang dikirim informan anomin kepada IndonesiaLeaks pada akhir 2018, disebutkan DP Marketing International Ltd dan Sateri masih dalam satu jejaring.
Sukanto Tanoto memiliki banyak anak perusahaan yang menggunakan nama “Sateri” lewat Gold Silk Holdings Limited. Perusahaan ini juga berbasis di Kepulauan Cayman.
Namun, Gold Silk juga memiliki kantor di 21/F, Aon China Building, 29 Queen’s Road Central, Central, Hong Kong.
Tatkala mengumumkan penawaran penjualan saham perdana di bursa efek Hong Kong tahun 2010, Gold Silk menyebut Sukanto Tanoto sebagai pengendali utama perusahaan.
Melalui Gold Silk, Sukanto disebut memunyai 85 persen saham Sateri Holding Limited—perusahaan induk Sateri.
Sedangkan dalam prospektus perusahaan disebutkan, Sateri Holdings Limited berdiri tanggal 8 Juni 2010. Sateri Holdings Limited membawahkan belasan perusahaan lain yang juga menggunakan nama “Sateri”.
Keluarga Sukanto disebut menguasai saham DP Marketing International Ltd melalui Sateri. Yang disebut duluan tercatat sebagai salah satu anak perusahaan Sateri Holdings: Sateri Specialty Cellulose Limited. Perusahaan investasi ini juga terdaftar di Kepulauan Cayman.
Melalui anak perusahaannya, Sateri memunyai pabrik di Xingjiandan Fujian, China. Selain memperoleh bahan baku dari PT TPL, Sateri mendapatkan bahan baku dari Bahia Specialty Cellulose.
Bahia Specialty Cellulose yang berkedudukan di Brasil, juga di bawah naungan perusahaan Royal Golden Eagle, milik Sukanto.
Walau berhulu di Sukanto Tanoto, semua perusahaan itu beroperasi dengan mengikat perjanjian. Sateri menandatangani akta non-persaingan dengan Pinnacle, 19 November 2010. Melalui perjanjian itu, Pinnacle berkomitmen menjual sebagian produk bubur kayunya hanya kepada DP Marketing International Ltd.
Per transaksi, DP International Ltd mendapat komisi dari Sateri maupun PT TPL. Misalnya tahun 2014, Sateri membeli DWP senilai USD 2,5 juta dari DP Marketing International Ltd. Yang disebut belakangan mendapat komisi USD 141 ribu dari transaksi. Sedangkan PT TPL memberikan komisi sebesar 2 persen kepada untuk setiap transaksi.
IndonesiaLeaks mendatangi kantor perwakilan Sateri Indonesia di kantor RGE Holdings, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis 30 Januari 2020.
Tim IndonesiaLeaks bertemu Media Relations PT April Management Indonesia, Irene Agustin, yang juga berkantor di gedung yang sama.
Irene meminta IndonesiaLeaks mengirimkan pertanyaan secara tertulis. IndonesiaLeaks tak kunjung menerima jawaban tersebut hingga Sabtu, 1 Februari akhir pekan lalu.
IndonesiaLeaks juga berupaya menghubungi nomor telepon yang disebut milik Sukanto Tanoto dan mengirimkan sejumlah pertanyaan. Namun, hingga kekinian tak ada respons dari nomor telepon luar negeri tersebut.
IndonesiaLeaks pun sudah menghubungi seorang konsultan yang berafiliasi dengan anak perusahaan milik Sukanto. Tapi konsultan itu menolak memberikan jawaban.
Kepala Hubungan Masyarakat PT TPL Norma Patty Handini Hutajulu menegaskan, tak ada kepemilikan Sukanto Tanoto pada perusahaannya.
Dia juga mengatakan, hubungan bisnis antara PT Toba Pulp dan DP Marketing International Ltd sebatas penjual dan pembeli. Norma menepis informasi ada kontrak pemasaran di antara kedua perusahaan tersebut.
“Tidak ada. Yang ada hanya kontrak penjualan,” tegas Norma.
Norma mengatakan, PT TPL menjual produknya kepada DP Macao Marketing International Ltd sesuai harga yang disepakati kedua belah pihak.
Pada proses selanjutnya, kata Norma, PT TPL tak mengetahui kepada siapa DP Marketing International Ltd menjual bubur-bubur kayu tersebut.
“Kami juga tidak mengetahui berapa keuntungan yang diperoleh DP Macao,” kata Norma.
"Kalau misalkan ada dana lebih atau emang duitnya nggak kepakai, ya gua mengalokasikan untuk investasi," ujar Sonia.
Dosen Unhas diskors 2 semester usai lecehkan mahasiswi bimbingan skripsi. Korban trauma, Satgas PPKS dinilai tak berpihak, bukti CCTV ungkap kebenaran.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti berencana dalam beberapa kesempatan menyampaikan rencana penggantian kurikulum Merdeka.
Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.
Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.
Orang yang kecanduan judi online seperti halnya orang dengan kecanduan narkotika.
Kericuhan yang telah terjadi bukan sekadar permasalahan hukum an sich maupun problem sosial-kemasyarakatan belaka, tapi dampak buruk dari penetapan PIK 2 sebagai PSN.