Suara.com - Puluhan rumah di Desa Cemara Jaya lenyap tersapu gelombang laut, sejak delapan tahun silam. Kini, masih ada warga yang nekat bertahan di ratusan rumah dan gubuk reyot menghadapi abrasi. Tapi, cepat atau lambat, kehidupan di bibir pantai itu bakal lenyap.
MASNI duduk termangu di pintu gubuknya bersama sang suami, Cayim, sembari melihat ombak yang tak habis-habisnya menjilati pantai. Tampak indah, meski keduanya tahu, ombak itu bisa melenyapkan harta benda mereka yang tersisa.
Dulu, rumah yang dibangun susah payah oleh Cayim dan Masni juga rata dengan tanah oleh ombak yang tampak cantik tersebut.
Usia mereka tak lagi muda. Masni berumur empat puluh enam tahun. Sedangkan Cayim sudah berkepala lima, persisnya berusia lima puluh dua tahun.
Pada masa senja usianya, mereka bersetia berdiam di dangau reyot yang menghadap ke laut tersebut, meski hanya beralaskan tikar anyaman bambu dan beratapkan terpal.
Ukurannya juga terbilang mungil, hanya sekitar 2x3 meter persegi di bibir pantai Dusun Pisangan, Desa Cemara Jaya, Kecamatan Cibuaya, Karawang, Jawa Barat.
Masni dan Cayim sebenarnya terpaksa tinggal di gubuk itu, setelah rumahnya leyap diterjang gelombang air laut yang setiap tahun naik. Rumahnya hilang terkena abrasi.
Saung itu dibangun sendiri oleh Cayim tanpa ada bantuan dari pemerintah. Daratan bekas rumah mereka yang lama, sudah jadi lautan.
Mereka memunyai enam orang anak dan empat cucu. Tapi, tak ada satu pun yang bisa menampung Masni maupun Cayim. Sebab, rumah anak-anaknya juga lenyap terkena abrasi.
Masni dan Cayim tidak sendiri, ada puluhan rumah warga lain di Dusun Pisangan yang berada di pinggir pantai terkena abrasi.
Keduanya tahu persis, gubuk reyot tersebut tak bakalan menang atau setidak-tidaknya seri sehingga tak roboh kalau ombak tinggi datang menerjang.
Karenanya, jika gelombang laut sedang tak bersahabat, Masni dan Cayim mengungsi ke bangunan yang terbuat dari kayu. Bangunan itu dibuat Cayim sebagai rumah pengganti. Letaknya ada di lahan milik tetangganya, seorang pengusaha tambak ikan bandeng.
“Kalau air laut tinggi, kami tinggal menumpang sementara di tanah bos Kincai (pengusaha tambak ikan),” kata Masni ditemui Suara.com di gubuknya, pekan lalu.
Cayim sudah mengakrabi hidup dalam gubuk di pinggiran laut itu, dan juga ombak. Sembari menyeruput kopi hitam, ia bercerita sudah sepekan menganggur, tak melaut.
Biasanya, kalau ombak laut sedang kecil, dia menjaring udang. Kalau ombak sedang besar, ia bekerja serabutan, sedapatnya. Terkadang menjadi tukang bangunan, saat musim ikan, ia menjadi buruh di tambak bandeng.
“Sehari dibayar Rp 70 ribu,” tuturnya.
Kami Terpaksa Bertahan
Di sebelah gubuk reyot Masni dan Cayim, tampak dua orang tengah menggali-gali pasir. Warli (29) dan Kartawijaya (37) tengah mencari kerang buat umpan memancing ikan di tepi laut.
Warli adalah seorang bapak beranak satu. Ia seorang nelayan, tapi jika gelombang tinggi, Warli menjelma buruh serabutan.
Rumah Warli juga sudah lenyap diterjang gelombang air laut. Kini ia membangun gubuk berbahan kayu dan berdinding terpal di pinggir pantai.
“Saya sudah dua kali pindah, rumah saya habis kena abrasi. Kini saya tinggal di gubuk itu (menunjuk rumahnya),” ucapnya.
Dekat rumahnya, ada 10 gerha yang juga lenyap diterjang gelombang air laut. Setiap tahun air laut naik ke daratan dan menggerus rumah warga di tepi pantai.
“Kalau pas angin Timur, ombak besar, sekarang lagi musim angin Barat,” tutur dia.
Rekannya, Kartawijaya, punya cerita yang sama. Belum setahun ini rumahnya lenyap diterjang air laut. Kini ia tinggal di gubuk yang dibangun sendiri, juga tanpa bantuan pemerintah.
“Rumah saya ambruk terkena ombak sewaktu lebaran tahun lalu. Sekarang saya bikin gubuk.”
Bapak tiga anak ini sehari-hari bekerja sebagai nelayan. Namun, kalau gelombang besar, ia bekerja di tambak udang dan mengojek untuk menafkahi anak dan istri.
Dia mengakui, dulu, pemerintah daerah pernah menjanjikan merelokasi warga yang rumahnya hilang terkena abrasi. Namun sampai sekarang belum ada kepastian relokasi.
“Kami berharap bisa segera direlokasi. Kami mohon bantuan pemerintah, kalau warga yang punya duit enak bisa bangun rumah lagi, tetapi kalau orang kecil seperti kami ini ya terpaksa pasrah,” tutur dia.
***
Napin (46) juga warga yang rumahnya habis terkena abrasi. Kini ia pindah ke lokasi yang berjarak 200 meter dari bibir pantai. Namun ke depan, tempat tinggalnya sekarang juga terancam habis terkena gelombang air laut yang naik ke daratan setiap tahun.
“Rumah saya dulu di dekat pantai itu (menunjuk ke tepi laut), sekarang saya pindah ke sini,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, setiap tahun air laut naik ke daeratan sekitar 10 meter. Ia mencontohkan, Masjid Nurul Janah yang terletak di depan rumahnya berjarak sekitar 200 meter dari bibir pantai. Namun kini pecahan ombak langsung ke dinding belakang bangunan masjid.
“Masjid Nurul Janah ini dibangun tahun 2001, dulu jaraknya masih jauh dari pantai. Sekarang masjid sudah terkena abrasi juga,” ucapnya.
Dia menceritakan, abrasi terjadi sejak pembangunan tanggul/bendungan tambak inti rakyat (TIR) di Kampung Cipucuk, Pusakajaya Utara, Kecamatan Cilebar, Karawang.
Tanggul yang menjorok ke tengah laut dengan jarak 400 m itu, dibangun pada era Presiden Soeharto, Orde Baru. Pancangan ini digunakan sebagai sandaran memanen tambak-tambak yang berada di sekitar wilayah tersebut.
“Abrasi mulai sejak Ibu Tien Soeharto bikin Bagang (Bendungan) TIR itu. Sejak itu sampai sekarang ombak sering naik,” kata dia.
Bapak tiga anak ini menuturkan, di Desa Cemara Jaya itu dahulunya lokasi tambak budidaya udang terbesar di pulau Jawa. Mayoritas pemilik tambak budidaya udang yang besar adalah orang asing.
“Di sini banyak tambak budidaya udang, rata-rata investornya orang Taiwan. Dulu saya bekerja di tambak budi daya udang punya orang Taiwan. Di sini banyak tambak udang lahannya sudah disertifikasi oleh orang China,” ungkapnya.
Masa Depan yang Buram
Kepala Dusun Pisangan Kasan menjelaskan, saat ini terdapat 25 rumah yang sering kena abrasi.
Sementara kalau dihitung secara keseluruhan, terdapat 400 rumah yang tersebar di Dusun Pisangan, Cemara II, dan Cemara I Utara, yang terancam lenyap dari peta karena terus diterjang ombak.
Rumah Kasan juga sudah lenyap terkena abrasi. Kini untuk menahan laju abrasi, pemerintah daerah membuat tanggul bebatuan di bibir pantai.
“Tahun 2016 lalu rumah saya kena juga, sekarang sudah ada tanggul yang dibangun akhir 2016 oleh Kementerian Perikanan dan Kelautan. Panjangnya 360 meter,” terang dia.
Sebelum terdampak abrasi, kehidupan Desa Cemara Jaya terbilang ramai. Wisatawan selalu ramai berkunjung ke Pantai Pisangan.
Tapi kekinian, jalur ke lokasi wisata itu sudah terputus dihantam ombak. Mobil tak bisa lewat. Sepeda motor masih bisa melaju, tapi melalui hamparan pasir pantai.
Kasan menambahkan, Pemkab Karawang sudah menyiapkan lahan untuk relokasi warga yang rumahnya terkena abrasi.
Lahan sekitar 3 hektare itu terletak di Dusun Sekong. Namun belum ada kepastian kapan relokasi akan dilakukan.
“Kami hanya bisa berdoa agar rumah untuk relokasi cepat dibangun. Katanya, lahannya harus diuruk dulu, karena wilayah tambak. Kami berharap tahun 2020 sudah bisa direlokasi, kalau bisa lebih cepat agar warga aman. Total ada 390 KK yang mau direlokasi.”
Dosen Unhas diskors 2 semester usai lecehkan mahasiswi bimbingan skripsi. Korban trauma, Satgas PPKS dinilai tak berpihak, bukti CCTV ungkap kebenaran.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti berencana dalam beberapa kesempatan menyampaikan rencana penggantian kurikulum Merdeka.
Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.
Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.
Orang yang kecanduan judi online seperti halnya orang dengan kecanduan narkotika.
Kericuhan yang telah terjadi bukan sekadar permasalahan hukum an sich maupun problem sosial-kemasyarakatan belaka, tapi dampak buruk dari penetapan PIK 2 sebagai PSN.
Otoritas terkait menemukan ada indikasi keterlibatan mafia human trafficking atau perdagangan manusia terkait kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh.