Suara.com - Menjadi pelacur adalah aib di Indonesia, begitu pula pengidap virus HIV dan AIDS. Apalagi jika seseorang itu adalah PSK sekaligus pengidap AIDS. Mereka ada, tapi kerap diabaikan. Di Jakarta, ada yang dibiarkan mati merana dalam gubuk kumuh di kolong jalan layang nan megah.
BENAR-benar tak ada yang istimewa pada deretan gubuk di kolong jalan layang ruas tol Rawa Bebek, Jakarta utara itu. Sama seperti bangunan kumuh tempat tinggal kaum miskin perkotaan di daerah lainnya, kotor dan tak laik.
Gubuk-gubuknya berdinding triplek berukuran sekitar dua meter persegi. Sekelilingnya sampah terserak. Ada pula botol-botol plastik rongsok yang tercecer di lantainya.
Orang-orang yang tinggal di gubuk-gubuk tersebut rata-rata adalah pemulung, pengamen, sopir bajaj, dan tukang parkir.
Namun, sejumlah gubuk di antaranya menyimpan sejumput kisah pilu: tempat tinggal para pekerja seks komersial pengidap AIDS, bahkan ada juga yang menemui ajal di sana.
Satu dari mereka adalah perempuan muda yang terbiasa disapa sebagai Lotus di daerah tersebut. Ia sempat mencecap hidup dalam gubuk daerah itu, bergelut melawan maut karena AIDS.
“Saat terkapar, lumpuh karena AIDS, aku meringkuk di gubuk bawah flyover Rawa Bebek. Tiga bulan aku tinggal di gubuk itu,” tuturnya, Rabu (27/2/2019).
Lotus sebenarnya tinggal di sekitar kawasan gubuk. Pada kawasan itu pula ia terserang HIV yang secara cepat naik tingkat menjadi AIDS.
Semuanya bermula dari kebiasaan Lotus melakukan seks bebas di permukiman kumuh. Tanpa alat pengaman, ia bersertubuh dengan banyak lelaki.
Perempuan yang baru berusia 25 tahun itu juga terkadang menjadi pekerja seks komersial di kawasan Rawa Bebek.
“Sebelumnya juga, aku adalah pengguna narkoba jenis sabu. Itu sejak aku bersuamikan bandar sabu. Kini suamiku mendekam di penjara. Semua itulah yang menyebabkan HIV menyerang tubuhku,” katanya.
Setelah virus itu menjalar ke jaringan tubuhnya, kulit Lotus mengeriput dan badannya menjadi kurus kering hingga tulangnya tampak jelas. Dia bahkan sempat lumpuh dan sampai duduk di kursi roda.
Ia memiliki satu orang anak laki-laki berusia 5 tahun. Beruntung sang anak tidak tertular virus yang ia idap. Lotus sempat memeriksakan kondisi anaknya ke rumah sakit, hasilnya negatif HIV/AIDS.
“Saat aku lumpuh dan tinggal di gubuk kolong jalan layang Rawa Bebek, anakku dititipkan kepada saudara yang tinggal tak jauh dari lokasi,” kenangnya.
Penderitaan Lotus bergelut melawan maut di gubuk berakhir setelah Ketua Yayasan Puteri Mandiri, Sri Rahayu, membawanya ke rumah sakit. Yayasan Puteri Mandiri adalah organisasi khusus menolong para penderita HIV/AIDS.
Ibu Ayu—sapaan akrab Sri Rahayu—membawa Lotus ke Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof Dr Sulianti Saroso (RSPI-SS) di Sunter, Jakarta Utara. Di RS itu, Lotus dirawat selama 13 hari.
Dokter sempat memvonis Lotus sudah tidak bisa diselamatkan, karena virus AIDS yang menyerang sudah menjalar dan berkuasa atas tubuhnya, tinggal menunggu waktu menuju kematian.
“Biasanya Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang sudah AIDS seperti dia enggak tertolong. Dia dirawat di rumah sakit hampir 2 minggu. Kondisinya ketika itu sudah kayak mayat hidup,” kata Ayu.
Namun, kehidupan masih berpihak kepadanya. Semangat untuk terus hidup demi sang anak, Lotus berkeras menjalani terapi serta mengonsumsi obat-obatan secara disiplin.
Berkat kegigihannya dan obat-obatan, status virus Lotus kembali ke HIV. Dia kembali sehat. Badan dan kulitnya normal lagi layaknya perempuan berusia 25 tahun. Lotus akhirnya tak lagi tinggal di gubuk tersebut.
Setelah keluar dari rumah sakit, Lotus bisa kembali berjalan dan beraktivitas seperti biasa, sembari terus mengonsumsi obat secara disiplin.
“Dia sekarang sudah sehat, sudah kembali ke HIV. Obatnya, ARV (obat untuk pengidap HIV/AIDS) saya yang memberikan setiap bulan,” ujar Ayu.
Kekinian, Lotus telah bekerja di industri rumahan konveksi yang memproduksi busana di daerah Jakarta Utara.
Menurut Ayu, Lotus terbilang beruntung. Sebab, ada dua perempuan bekas PSK yang juga mengidap AIDS serta tinggal di gubuk bawah jalan layang Rawa Bebek, tak bernasib sama.
Satu orang PSK lainnya sudah meninggal beberapa waktu lalu di gubuk tersebut. Satunya lagi kondisinya sudah parah, tapi memilih mengakhiri perjalanan dengan kembali ke kampung halamannya di Jawa Barat.
Ayu mengungkapkan, Lotus dan dua PSK lainnya yang lumpuh akibat AIDS dan terpaksa tinggal di gubuk tersebut karena tidak ada rumah khusus untuk penampungan mereka.
Bahkan, institusi pemerintah tidak ada yang bisa menampung mereka, termasuk dinas sosial tak menyediakan rumah singgah.
Akhirnya, Ayu mengakui terpaksa menyewa gubuk di bawah kolong jembatan Rawa Bebek untuk tempat tinggal PSK pengidap HIV/AIDS. Uang sewanya, ia rogoh dari kocek pribadi.
Perempuan berusia 66 tahun itu sudah sejak lama membantu para PSK penderita HIV/AIDS. Sudah 30 tahun terakhir ia bekerja mendampingi para PSK yang menderita virus berbahaya tersebut.
“Tidak ada tempat penampungan sementara bagi mereka, apalagi kalau sudah sampai AIDS. Karena kalau sudah sampai AIDS, dia akan lumpuh dan tidak bisa apa-apa lagi,” ungkapnya.
AIDS Mimpi Buruk PSK
Kisah para PSK pengidap HIV/AIDS lainnya di Jakarta juga tak kalah memilukan dari Lotus dan ketiga rekannya yang bertarung gubuk tersebut.
Sebulan lalu, Ayu mengakui mendampingi seorang PSK muda berusia 19 tahun yang positif HIV melahirkan operasi di RSPI Sunter, Jakarta Utara. Sebut saja namanya Melati.
Beruntung, bayi Melati lahir selamat, tak membawa serta HIV. Kasihan melihat wanita ini yang masih sangat muda, Ayu juga mencarikannya suami hingga menikahkannya.
“Saya mencarikan dia jodoh dan saya minta dia berhenti jadi WPS (wanita pekerja seks). Sekarang dia bekerja di pasar swalayan,” tuturnya.
Ayu menuturkan, orangtua Melati tidak tahu anaknya melahirkan. Makanya Ayu menjadi wali yang mendampingi di rumah sakit untuk melahirkan. Ayu telah mendampingi Melati sejak ia hamil 3 bulan.
“Sejak hamil dia dikasih obat oleh dokter supaya anaknya tidak terkontaminasi HIV, alhamdulillah bayinya lahir sehat tanpa tertular.”
***
Anggrek, juga nama jalanan, sudah sebulan lebih mengonsumsi obat ARV karena divonis dokter positif HIV. Tapi, ia masih setiap malam menjajakan jasa seks ke pria-pria hidung belang di sebuah kafe dalam lokalisasi Jakarta Utara.
Di kafe itu ia juga menemani tamunya untuk meminum minuman beralkohol. Anggrek mengakui, terkena virus HIV lantaran melayani sebagian pelanggannya tanpa pengaman.
Kala itu, kenangnya, ia menerima siapa pun lelaki yang hendak menyewanya karena “kejar setoran”. Semalaman, bahkan ia bisa melayani 10 pria hidung belang.
Dari setiap pelanggan yang dilayani untuk berhubungan intim, Anggrek mendapat bayaran Rp 250 ribu – Rp 300 ribu.
“Dulu dalam semalam bisa lebih dari 10 tamu. Jadi siapa saja tamunya saya terima, apalagi tamu kan macam-macam modelnya, ada yang tidak suka pakai pengaman,” kata Anggrek.
Wanita 21 tahun ini mengakui, ia “kejar setoran” lantaran butuh banyak uang untuk membantu membayar utang orangtuanya di Lampung.
Tapi sekarang, ia tidak mau melayani pelanggan yang tak bersedia menggunakan pengaman. Apalagi sekarang ia sadar telah positif HIV. Anggrek tidak mau orang lain tertular HIV dari berhubungan seks dengan dirinya.
“Bapak saya petani dan Ibu saya ibu rumah tangga. Dulu saya melayani banyak tamu setiap malam agar dapat uang banyak untuk membayar utang orangtua saya. Setiap minggu saya kirim uang ke orangtua Rp 4 juta,” ujarnya.
Ia mengakui, dulu, dalam semalam bisa mendapatkan uang Rp3 juta. Sekarang, ia cuma mendapatkan Rp 1 juta per malam. Kini setiap malam ia hanya melayani rata-rata 5 sampai 6 pelanggan. Anak sulung dari dua bersaudara ini sudah dua tahun bekerja sebagai PSK.
Dia sempat kaget dan tak percaya saat divonis positif HIV oleh dokter.Kemudian ia melakukan tes ulang di Rumah Sakit Atmajaya Pluit dan hasilnya sama. Tapi kini ia sudah bisa menerima kenyataan tersebut.
Dengan didampingi Ibu Ayu, ia rutin mengkonsumsi ARV setiap hari untuk bertahan hidup supaya virus HIV tidak berkembang dan menyerang seluruh tubuhnya.
Anggrek mengakui, efek yang ia rasakan setelah mengkonsumsi ARV adalah mual dan berhalusinasi, hal itu berlangsung selama seminggu. Ia meminum ARV menjelang tidur pukul 4 pagi, setelah pulang dari kafe.
“Tapi sekarang sudah tidak mual lagi setelah minum ARV,” kata dia,
Anggrek menuturkan, orangtuanya tidak tahu penyakit yang ia rasakan saat ini. Keluarganya juga tidak tahu kalau ia di Jakarta menjadi PSK. Keluarganya cuma tahu dirinya bekerja di tempat karaoke sebagai pelayan yang menemani tamu bernyanyi.
Ia menceritakan, pacarnya yang dulu awalnya menerima keadaannya yang positif HIV. Sang pacar pernah ikut diperiksa dan hasilnya negatif. Namun selang beberapa waktu, sang pacar menjauhinya dan menghilang.
“Pacar saya pas tahu awalnya menerima, sebulan setelah itu dia meninggalkan saya,” tuturnya.
Kekinian, Anggrek sudah punya pacar lagi yang bekerja sebagai kontraktor bangunan. Bahkan mereka berencana menikah. Sang pacar yang baru ini juga tahu keadaan Aggrek yang positif HIV.
“Dia menerima kondisi saya. Dia bilang yang penting saya berobat saja. Rencana kami menikah. Dia sudah beli rumah untuk kami tinggal nanti di daerah Bekasi. Setelah menikah nanti, saya berhenti kerja di kafe.”
DPR memilih lima dari sepuluh capim yang akan memimpin KPK periode 2024-2029, Kamis, 21 November 2024.
Dukungan Anies terhadap Pramono-Rano jauh lebih berpengaruh jika dibandingkan dukungan Jokowi kepada RK-Suswono.
"Kalau misalkan ada dana lebih atau emang duitnya nggak kepakai, ya gua mengalokasikan untuk investasi," ujar Sonia.
Dosen Unhas diskors 2 semester usai lecehkan mahasiswi bimbingan skripsi. Korban trauma, Satgas PPKS dinilai tak berpihak, bukti CCTV ungkap kebenaran.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti berencana dalam beberapa kesempatan menyampaikan rencana penggantian kurikulum Merdeka.
Bahkan sebagian dari kalangan ibu rumah tangga mengalihkan belanja kebutuhan pokok mereka, dari yang biasa beli ayam potong kini diganti beli tahu atau tempe.
Tragedi itu tak hanya merenggut nyawa Raden. Sebanyak 13 warga lainnya menjadi korban, beberapa menderita luka berat hingga harus dirawat intensif di rumah sakit.