Senin, 01 Jan 2024
Asmara Satu Malam Temaram di Kampung Cinta Home > Detail

Asmara Satu Malam Temaram di Kampung Cinta

Reza Gunadha | Erick Tanjung

Rabu, 13 Maret 2019 | 17:05 WIB

Suara.com - Kampung Cinta, demikian sebuah desa terpencil di Subang, Jawa Barat, biasa disebut. Meski sulit diakses, desa itu bak kembang bertabur madu yang mengundang kumbang dari penjuru negeri untuk hinggap. Sebab di daerah itu, melacurkan anak gadis seperti kelaziman.

SUARA kodok ngorok cukup kencang sahut-menyahut sepanjang jalan menuju sebuah kampung di Subang, Jawa Barat, Rabu (6/3/2019) malam pekan lalu.

Paras kampung itu tak tampak berbeda dengan desa-desa kecil lain. Suasana pedesaan kental terasa: bebunyian binatang malam berpadu dengan sepi dan penerangan yang temaram.

Hamparan petak sawah mengelilingi perumahan warga yang cenderung sunyi dan terpencil. Kalau dari Pemanukan, Jalur Pantura, membutuhkan waktu sekitar 30 menit agar sampai di sana.

Oleh warga setempat maupun orang-orang luar, daerah itu beken disebut sebagai Kampung Cinta, tempat gadis-gadis belia direstui oleh orangtuanya untuk menjajakan diri di rumah-rumah mereka sendiri.

Kampung Cinta tak tampak seperti lokalisasi pelacuran lazimnya. Tak ada ingar-bingar gemerlap prostitusi. Tapi di sana, terdapat banyak rumah berisi para pelacur belia.

Mereka rata-rata usia muda, dari 16 sampai 25 tahun. Bahkan, tak sedikit yang masih duduk di bangku SMA.

Sabila, bukan nama sebenarnya, sudah setahun lebih menjadi PSK. Gadis 16 tahun ini sudah berhenti sekolah dan menjadi pelacur rumahan untuk membantu ekonomi keluarganya.

Praktik prostitusi itu ia lakukan di rumahnya sendiri, dengan sepengetahuan orangtua.   

"Saya biasa 'main' dengan tamu di rumah sendiri, kadang di luar. Sehari saya dapat tamu dua. Bapak tahu saya kerja begini (PSK), di kampung saya sudah biasa," kata Sabila kepada Suara.com.

Orangtuanya mengizinkan, karena Sabila membantu biaya kebutuhan keluarga. Bapaknya pekerja serabutan. Ibu, mengurus rumah tangga.

"Saya begini untuk membantu orangtua, untuk biaya kebutuhan keluarga," ujar sulung dari tiga bersaudara ini.

Segendang sepenarian, sebut saja Fifi, juga berlaku sama. Ia sudah satu setengah tahun belakangan menjadi PSK. Fifi hanya lulusan SMP.

Fifi adalah orang asli kampung itu. Tapi kekinian, ia memilih menjadi PSK di luar Kampung Cinta. Gadis 18 tahun ini menjajakan dirinya via media sosial, seperti Facebook, Wechat, Instagram dan WhatsApp.

"Kalau saya mainnya di Subang (Kota), enggak di kampung," ungkapnya.

Anak sulung dari 4 bersaudara ini mengakui, pekerjaannya melacurkan tubuh telah diketahui orangtua. Ibunya yang tak bekerja, mengizinkan.

Fifi menjual tubuhnya kepada pria hidung belang untuk membantu ekonomi keluarga dan biaya sekolah adik-adiknya.

Sabila (nama samaran), seorang PSK di Kampung Cinta. [Suara.com/Erick Tanjung]
Sabila (nama samaran), seorang PSK di Kampung Cinta. [Suara.com/Erick Tanjung]

"Saya kerja begini untuk membantu orangtua dan adik-adik saya. Uangnya setiap minggu saya kasihkan ke ibu buat belanja dapur dan kebutuhan keluarga," ucapnya.

Fifi mengakui, terjun menjadi PSK bermula dari ajakan temannya untuk bekerja di sebuah diskotik di Kota Subang. Di tempat hiburan malam itu, ia menjual kemolekan tubuhnya ke pria iseng.

Dalam semalam ia bisa melayani antara dua sampai tiga pria. Tarif yang ia pasang Rp 500 ribu.

Fifi punya pengalaman memilukan saat berusia 16 tahun, yang belakangan mengantarkannya ke lembah hitam prostitusi.

Keperawanannya direnggut oleh seseorang; ia diperkosa temannya. Sejak saat itu ia jadi sering berhubungan badan dengan orang lain.

"Jadi ada teman yang mengajak, dia bilang daripada kamu sering 'main' tak dapat apa-apa, mendingan ikut aku kerja di diskotik dapat duit," kenangnya.

'Bebek' Anggota Dewan

"Bebek", begitulah para PSK di Kampung Cinta biasa disebut oleh warga, pengunjung, maupun mucikari mereka.

Toni, mucikari prostitusi rumahan Kampung Cinta, mengakui banyak memelihara "bebek" untuk ditawarkan kepada orang-orang luar daerah, terutama dari wilayah sekitar seperti Kota Bandung sampai Jakarta.

"Pelanggan saya macam-macam. Ada pengusaha, orang angkatan (militer), anggota dewan, bahkan pejabat,” tutur Toni.

Untuk sekali transaksi, PSK-nya ditarif Rp 500 ribu. Dari tarif itu, ia mendapatkan Rp 100 ribu. Tapi kekinian, Toni lebih berhati-hati memasarkan para PSK-nya.

Dulu, Kampung Cinta sangat terbuka dengan siapa saja yang datang. Artinya, mereka secara blak-blakan menerima lelaki pria hidung belang.

Tapi kekinian, mucikari dan PSK di Kampung Cinta agak tertutup. Mereka tak mau terlihat mencolok ada transaksi prostitusi rumahan di kampung itu. Sebab mereka mendapat teguran dari pemerintah.

"Bupati sekarang orang PKS, mas, jadi kami sudah kena teguran. Bupatinya sekarang punya program salat Subuh di masjid-masjid desa. Setiap hari pindah-pindah desa. Di kampung ini, bupati sudah pernah salat Subuh."

Fifi (nama samaran), seorang PSK di Kampung Cinta. [Suara.com/Erick Tanjung]
Fifi (nama samaran), seorang PSK di Kampung Cinta. [Suara.com/Erick Tanjung]

Kemiskinan

Semakin ketatnya pengawasan pemerintah terhadap Kampung Cinta, membuat banyak PSK memilih untuk pergi keluar meski tetap berada di dunia tersebut.

Seperti Ani, begitu gadis muda itu akrab disapa dalam dunia gemerlap prostitusi. Ia memilih keluar dari Kampung Cinta meski tetap menjadi PSK. Ia menjajakan tubuhnya di sebuah lokalisasi. 

Lokalisasi ini terletak di pemukiman warga yang jaraknya tak jauh dari Pelabuhan Baru Patimban, Subang. Sekitar 1 jam perjalanan jaraknya dari Kampung Cinta.

Lampu kerlap-kerlip menghiasi sejumlah rumah, musik dangdut dan dentumannya mengalahkan suara ombak.

Siang hari, kampung ini layaknya pemukiman warga biasa. Namun malam hari, sejumlah rumah disulap menjadi tempat hiburan malam.

Wanita 30 tahun ini menjadi PSK untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya di kampung. Ia sudah setahun jadi PSK.

Ibu dua anak ini memilih jadi PSK karena butuh banyak uang. Sebelum jadi PSK, Ani mengaku sempat bekerja di sebuah pabrik sepatu di Subang.

"Saya bekerja begini karena kondisi ekonomi. Anak saya dua, yang pertama kelas 1 SMP dan yang kedua sudah TK. Mereka butuh biaya. Mantan suami saya tidak pernah memberikan nafkah buat anak-anak saya," tutur dia.

Ani mengakui, sudah empat hari ini ia sepi pelanggan. Sebab sudah beberapa hari sering hujan ketika malam hari.

Selain orang dari luar, pelanggannya juga banyak yang dari kalangan buruh yang bekerja di Pelabuhan Patimban. Ia memasang tarif Rp 200 ribu.

"Kalau pas buruh di Pelabuhan Baru ini gajian, di sini ramai," ungkapnya.

Kedua anaknya kini tinggal bersama ibu dan bapaknya di kampung. Ia sering pulang ke kampung untuk bertemu anak-anaknya, terkadang dua minggu sekali.

Ani bercerai dengan suami keduanya 5 tahun lalu, lantaran ada pihak ketiga. Ia menceritakan, saat hamil anak kedua, sang suami selingkuh dengan wanita lain.

Ketika itu usia kandungannya 7 bulan. Pada waktu bersamaan, suaminya mengaku selingkuhannya juga hamil 2 bulan.

Karena memikirkan kondisi anak, Ani mengalah dan bertahan hingga setahun lebih, namun akhirnya bercerai.

Ani sudah dua kali menikah. Pernikahan pertamanya saat ia berusia 14 tahun, tamat Sekolah Dasar. Pernikahan pertamanya itu karena terpaksa.

Sang mantan suami pertama ketika itu berusia 17 tahun, melamar dirinya langsung kepada kedua orangtuanya.

Sudah lazim terjadi di kampungnya, anak yang tamat SD kalau tidak melanjutkan sekolah, bakal dinikahkan.

Namun, ia masih punya impian. Suatu saat nanti, Ani ingin kembali hidup normal bersama anak-anaknya di kampung.

"Saya masih punya mimpi keluar dari tempat ini," tegasnya.

Terbaru
Politik Patronase: Bagi-bagi Jatah Jabatan Relawan Prabowo-Gibran
polemik

Politik Patronase: Bagi-bagi Jatah Jabatan Relawan Prabowo-Gibran

Jum'at, 20 September 2024 | 17:35 WIB

"Memang karakter dalam masyarakat kita, dalam politik pemerintahan itu kan karakter patronase, patron klien," kata Indaru.

30 Hari Jelang Pelantikan Prabowo, Relawan 'Minta' Proyek Makan Bergizi Gratis polemik

30 Hari Jelang Pelantikan Prabowo, Relawan 'Minta' Proyek Makan Bergizi Gratis

Jum'at, 20 September 2024 | 14:27 WIB

"Artinya (kami) tetap dibutuhkan, suka-tidak suka," kata Panel.

Di Balik Kepulan Asap: Siapa Raup Untung dari PLTU Baru Suralaya? polemik

Di Balik Kepulan Asap: Siapa Raup Untung dari PLTU Baru Suralaya?

Kamis, 19 September 2024 | 20:06 WIB

Data Kementerian ESDM akhir 2023 menunjukkan oversupply listrik di grid Jawa-Bali mencapai 4 gigawatt. Artinya, keberadaan PLTU baru sebenarnya tidak terlalu mendesak.

Cuma Heboh di Dunia Maya, Ada Apa di Balik Skenario Fufufafa? polemik

Cuma Heboh di Dunia Maya, Ada Apa di Balik Skenario Fufufafa?

Kamis, 19 September 2024 | 08:29 WIB

Apa yang terjadi pada isu Fufufafa sudah bukan lagi echo chamber. Perbincangan isu Fufufafa sudah crossed platform media sosial and crossed cluster.

Polemik Akun Fufufafa: Fakta Kabur yang Menciptakan Kebingungan Publik polemik

Polemik Akun Fufufafa: Fakta Kabur yang Menciptakan Kebingungan Publik

Selasa, 17 September 2024 | 20:10 WIB

Kecurigaan mengenai Gibran sebagai pemilik akun Fufufafa bermula dari postingan seorang netizen

Perilaku Kejahatan Anak Makin Liar: Gejala Anomie yang Tak Cukup Diselesaikan Lewat Penjara polemik

Perilaku Kejahatan Anak Makin Liar: Gejala Anomie yang Tak Cukup Diselesaikan Lewat Penjara

Sabtu, 14 September 2024 | 20:09 WIB

Kondisi anomie acap kali menyertai setiap perubahan sosial di masyarakat.

Kasus Nyoman Sukena: Peringatan Darurat Pelestarian Landak Jawa polemik

Kasus Nyoman Sukena: Peringatan Darurat Pelestarian Landak Jawa

Jum'at, 13 September 2024 | 20:20 WIB

Dengan penuh kasih sayang, Nyoman Sukena memelihara dua ekor Landak Jawa itu