Langkah Kecil di Kota Asing: Cerita Mahasiswa Perantau Menemukan Rumah Kedua di Jogja
Home > Detail

Langkah Kecil di Kota Asing: Cerita Mahasiswa Perantau Menemukan Rumah Kedua di Jogja

Agung Pratnyawan

Jum'at, 07 November 2025 | 19:50 WIB

Suara.com - Meninggalkan rumah bukan hal mudah. Tapi bagi Deway, mahasiswa asal Kalimantan Barat, merantau ke Yogyakarta justru menjadi perjalanan menemukan diri. 

Dari takut berbicara terlalu keras, rindu yang datang terlambat, hingga belajar bahwa "rumah" bisa terbentuk di mana saja.

Menjejak Awal di Kota Baru

Pagi itu, cuaca di Yogyakarta masih cerah ketika Deway duduk di teras Bunda Theresa, Kampus IV Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 

Teras itu semi-terbuka, tempat mahasiswa untuk belajar, nongkrong, atau sekadar menunggu kelas sambil bercanda gurau.

Semilir angin sesekali datang, dan satu jam kemudian langit mulai beranjak mendung. Tapi suasana tetap hangat, terutama karena Deway tak sendiri. 

Di sampingnya ada dua sahabat yang menemaninya selama setahun terakhir: Handini dari Sukabumi dan Meta dari Bali.

Mereka bertiga tertawa kecil setiap kali mengingat masa-masa awal kuliah. Suasana wawancara yang santai, lebih mirip curhat sambil menyeruput kopi hazelnut yang dibeli dari kafe kampus, membuat cerita-cerita itu mengalir tanpa terasa.

Deway, mahasiswa FISIP asal Putussibau, Kalimantan Barat, adalah tokoh yang akan memulai kisah ini.

Belajar Bicara dengan Lembut

"Aku pertama kali beneran merantau itu sekitar bulan Juli," ujarnya. 

"Bedanya kerasa banget. Di Putussibau itu nggak padat, nggak ada mal, bahkan lampu lalu lintas aja nggak ada," lanjutnya.

Jogja baginya terasa penuh ritme, teratur, rapi, ramai, dan lengkap. Sesuatu yang tidak ia temui di kampung halaman. 

Tapi ketika banyak mahasiswa rantau lain menceritakan gelombang homesick di awal-perkuliahan, Deway justru tidak merasakannya. 

Bukan karena kuat hati, melainkan karena ia datang dengan "bantalan sosial": sepupu yang kosnya tepat di sebelah, keluarganya di Maguwo, dan teman-teman baru yang cepat mengisi hari-harinya.

Namun, 'tidak homesick' bukan berarti perjalanan adaptasinya mudah.

Ia mengaku sempat takut bertemu orang baru. Ketakutannya sederhana tetapi nyata: nada bicaranya berbeda, logatnya berbeda, dan ia pernah mendengar bahwa orang Jogja bertutur halus dan sopan. 

"Takut menyinggung orang," katanya pelan.

"Soalnya cara bicara kami di Kalbar kan tegas, tapi buat orang sini bisa kedengeran kayak marah," jelasnya.

Ada satu kejadian yang masih ia ingat jelas. Suatu hari ibu kosnya mengira ia sedang marah-marah di telepon. 

Padahal ia hanya berbicara dengan sepupunya menggunakan logat Melayu-Pontianak yang memang terdengar lebih tegas. 

"Kata ibu kos, ‘kok kamu seperti marah-marah?’ Padahal itu biasa. Aku kaget juga," ujar Deway dengan nada kelakar.

Adaptasi bahasa menjadi pintu pertama untuk belajar hidup di kota orang. Baginya, proses itu bukan sekadar menyesuaikan logat, tapi juga belajar membaca sensitivitas sosial orang Jawa yang lembut dan penuh tata krama.

Di sanalah adaptasinya dimulai: belajar ‘aku–kamu’, menghindari ‘kau’, dan membiasakan intonasi lebih lembut. 

"Aku-kamu itu baru aku pelajari di sini," katanya, sambil sedikit malu mengingat masa-masa awal yang serba kikuk.

Ketika Kesendirian Mulai Datang

Jika semester pertama dan kedua berjalan mulus, semester tiga justru membawa sesuatu yang baru: rasa rindu. Bukan rindu sekadar suasana, tetapi rindu rumah, orang tua, dan jeda.

"Awal-awal nggak pernah homesick. Baru semester tiga ini terasa," akunya. 

"Karena makin banyak tugas, makin capek, makin sering mikir, ‘kapan pulang ya?’" ungkapnya.

Deway mengaku ia bisa betah berhari-hari bahkan berminggu-minggu di kos tanpa keluar. 

Tapi kebiasaan menetap di kos justru membuat jenuh perlahan, apalagi ketika teman-temannya pulang sementara ia tetap di Jogja.

"Aku pernah mikir, kayaknya satu tahun di Jogja udah cukup," katanya sambil tersenyum getir.

Namun, di titik yang sama, ia menemukan hal lain: kekuatan dari pertemanan.

"Aku nggak homesick karena ada temen-temenku," ujarnya. 

"Kalau ngerjain tugas, bisa bareng. Jadi nggak ngerasa sendiri," jelasnya.

Dari sinilah titik baliknya muncul. Bukan kejadian besar, bukan momen dramatis. Hanya serangkaian pertemuan kecil dengan orang-orang yang membuatnya merasa bahwa ia tidak benar-benar sendiri.

Tiga Cerita, Satu Perjalanan

Di samping Deway, dua sahabatnya membawa cerita adaptasi yang berbeda tetapi memiliki benang merah yang sama: penyesuaian diri.

"Perbedaan paling mencolok sih makanan," tutur Handini sambil mengaduk minumannya.

Sebagai orang Sunda, ia terbiasa dengan makanan pedas. Jogja yang manis membuatnya harus mencari tempat makan yang cocok berkali-kali. Bahkan sayur asam di Jogja terasa aneh baginya. 

"Ada wortelnya," katanya heran, membuat ketiga sahabat itu tertawa.

Namun berbeda dari Deway, Handini sama sekali tidak pernah homesick. Ia dekat dengan kakaknya yang juga tinggal di Jogja meski sibuk dan cepat menemukan teman-teman yang membuatnya betah.

Meski begitu, persoalan rindu tetap datang, terutama ketika ia lelah saat UAS dan ingin sekali pulang. 

Tapi ia selalu menemukan cara untuk bertahan: telepon mama, ajak teman menginap, atau sekadar jalan ke Bantul.

Meta datang dari Bali dengan kebiasaan yang membuatnya sedikit kikuk di Jogja: membunyikan klakson sebagai cara menyapa.

"Kita di Bali lewat jalan sepi aja klakson. Nyapa teman juga klakson," katanya sambil menggeleng geli.

Namun suatu hari ia dikira tidak sopan oleh orang Jogja karena membunyikan klakson di jalanan kampus. Dari situlah ia mulai belajar menyesuaikan diri.

Meta juga mengalami kebingungan ketika mendengar bahasa Jawa kasar yang sering dipakai teman-teman tertentu. 

"Aku nggak ngerti sama sekali. Kalau mereka udah ngobrol pakai itu, aku nggak bisa ngikutin," ungkap Meta.

Namun, ia beruntung: sejak semester satu, ia sudah menemukan teman-teman yang membuatnya merasa seperti punya "keluarga kecil" di Jogja.

Rumah yang Kita Temukan Bersama

Deway kini sudah dua tahun di Jogja. Rasa rindu yang dulu dianggap remeh, kini datang dalam bentuk yang lebih halus: keinginan menelepon ibu setiap malam, rindu untuk pulang kampung halaman.

"Dulu aku malah deketnya sama bapakku," ujarnya pelan. 

"Sekarang, malah jadi sering curhat ke mama," lanjutnya.

Ia tak menyangka, jarak justru menumbuhkan kedekatan baru. Ia belajar bahwa merantau bukan tentang melupakan rumah, tapi menemukan cara baru untuk tetap terhubung.

Handini belajar hal serupa, bahwa kemandirian tak berarti memutus hubungan dengan keluarga. Sedangkan Meta belajar mengatur diri dan menghargai cara orang lain hidup tanpa kehilangan jati diri.

Lasarus Jehamat, dosen Sosiologi Universitas Nusa Cendana Kupang, yang juga diwawancarai, memberikan pendapatnya mengenai fenomena ini. Pengalaman seperti Deway bukanlah tanda seseorang lemah secara mental.

"Culture shock itu proses sosial, bukan kelemahan pribadi," jelasnya.

"Saat seseorang masuk ke lingkungan baru tanpa cukup pemahaman budaya, wajar kalau merasa asing. Tapi itu bagian dari proses tumbuh," lajutnya.

Ketika seseorang memasuki lingkungan baru tanpa cukup pengetahuan budaya, ia akan merasa asing. 

Jika proses sosialisasi tidak berjalan baik, seseorang bisa gagal beradaptasi dan merasa terasing. 

Namun dukungan teman dan keluarga menjadi kunci yang dapat menyelamatkan banyak mahasiswa rantau dari tekanan.

Ia menambahkan, keberhasilan adaptasi banyak ditentukan oleh dukungan sosial baik dari teman, lingkungan kos, maupun komunitas kampus.

"Mahasiswa rantau yang punya lingkaran sosial sehat biasanya lebih cepat menemukan kenyamanan," katanya.

Penjelasan ini seperti mengikat cerita Deway dan kedua temannya: bahwa adaptasi bukan hanya tentang kota baru, tetapi tentang bagaimana mereka membangun peta sosialnya sendiri.

Angin sore mulai berhembus ketika wawancara hampir selesai. Langit yang sempat cerah berubah mendung, namun suasana di antara mereka tetap hangat. 

Deway menutup ceritanya dengan satu kalimat sederhana namun penuh makna:

"Yang bikin aku bertahan itu temen-temenku."

Dan mungkin itulah inti dari perjalanan seorang perantau: mereka tidak mencari kota yang mirip rumah, tapi menemukan orang-orang yang bisa membuat tempat baru terasa seperti rumah kedua.

Kontributor : Gradciano Madomi Jawa


Terkait

Niat Bantu Teman, Malah Diteror Pinjol: Kisah Mahasiswa Jogja Jadi Korban Kepercayaan
Jum'at, 31 Oktober 2025 | 13:18 WIB

Niat Bantu Teman, Malah Diteror Pinjol: Kisah Mahasiswa Jogja Jadi Korban Kepercayaan

Ia hanya ingin membantu. Tapi data dirinya dipakai, dan hidupnya berubah. Sebuah pelajaran tentang batas dalam percaya pada orang lain.

Tentang Waktu yang Berjalan Pelan dan Aroma Kopi yang Menenangkan
Jum'at, 24 Oktober 2025 | 13:06 WIB

Tentang Waktu yang Berjalan Pelan dan Aroma Kopi yang Menenangkan

Di sebuah kafe kecil, waktu seolah berhenti di antara aroma kopi dan tawa hangat, tersimpan pelajaran sederhana. Bagaimana caranya benar-benar di Buaian Coffee & Service.

Kuku Kecil Mimpi Besar: Cerita Vio, Mahasiswa yang Menyulap Hobi Jadi Harapan
Jum'at, 17 Oktober 2025 | 13:12 WIB

Kuku Kecil Mimpi Besar: Cerita Vio, Mahasiswa yang Menyulap Hobi Jadi Harapan

Di tengah padatnya kuliah, mahasiswa Jogja bernama Vio menyulap hobi nail art menjadi bisnis. Bagaimana ia mengukir kesuksesan dengan kuku, kreativitas, dan tekad baja?

Terbaru
Review Caught Stealing, Jangan Pernah Jaga Kucing Tetangga Tanpa Asuransi Nyawa
nonfiksi

Review Caught Stealing, Jangan Pernah Jaga Kucing Tetangga Tanpa Asuransi Nyawa

Sabtu, 01 November 2025 | 08:05 WIB

Film Caught Stealing menghadirkan aksi brutal, humor gelap, dan nostalgia 90-an, tapi gagal memberi akhir yang memuaskan.

Niat Bantu Teman, Malah Diteror Pinjol: Kisah Mahasiswa Jogja Jadi Korban Kepercayaan nonfiksi

Niat Bantu Teman, Malah Diteror Pinjol: Kisah Mahasiswa Jogja Jadi Korban Kepercayaan

Jum'at, 31 Oktober 2025 | 13:18 WIB

Ia hanya ingin membantu. Tapi data dirinya dipakai, dan hidupnya berubah. Sebuah pelajaran tentang batas dalam percaya pada orang lain.

Review Film The Toxic Avenger, Superhero 'Menjijikkan' yang Anehnya Cukup Menghibur nonfiksi

Review Film The Toxic Avenger, Superhero 'Menjijikkan' yang Anehnya Cukup Menghibur

Sabtu, 25 Oktober 2025 | 08:00 WIB

Film ini rilis perdana di festival pada 2023, sebelum akhirnya dirilis global dua tahun kemudian.

Tentang Waktu yang Berjalan Pelan dan Aroma Kopi yang Menenangkan nonfiksi

Tentang Waktu yang Berjalan Pelan dan Aroma Kopi yang Menenangkan

Jum'at, 24 Oktober 2025 | 13:06 WIB

Di sebuah kafe kecil, waktu seolah berhenti di antara aroma kopi dan tawa hangat, tersimpan pelajaran sederhana. Bagaimana caranya benar-benar di Buaian Coffee & Service.

Review Film No Other Choice yang Dibayang-bayangi Kemenangan Parasite di Oscar, Lebih Lucu? nonfiksi

Review Film No Other Choice yang Dibayang-bayangi Kemenangan Parasite di Oscar, Lebih Lucu?

Sabtu, 18 Oktober 2025 | 09:05 WIB

No Other Choice memiliki kesamaan cerita dengan Parasite, serta sama-sama dinominasikan untuk Oscar.

Kuku Kecil Mimpi Besar: Cerita Vio, Mahasiswa yang Menyulap Hobi Jadi Harapan nonfiksi

Kuku Kecil Mimpi Besar: Cerita Vio, Mahasiswa yang Menyulap Hobi Jadi Harapan

Jum'at, 17 Oktober 2025 | 13:12 WIB

Di tengah padatnya kuliah, mahasiswa Jogja bernama Vio menyulap hobi nail art menjadi bisnis. Bagaimana ia mengukir kesuksesan dengan kuku, kreativitas, dan tekad baja?

Review Film Rangga & Cinta: Bikin Nostalgia Masa Remaja, Tapi Agak Nanggung nonfiksi

Review Film Rangga & Cinta: Bikin Nostalgia Masa Remaja, Tapi Agak Nanggung

Sabtu, 11 Oktober 2025 | 09:00 WIB

Rangga & Cinta tak bisa menghindar untuk dibandingkan dengan film pendahulunya, Ada Apa Dengan Cinta? alias AADC.

×
Zoomed