Suara.com - Aroma kopi menyeruak lembut dari alat seduh di pojok ruangan. Asap tipis mengepul pelan, berpadu dengan cahaya kuning temaram dari lampu gantung bergaya vintage.
Di sudut lain, musik dari piringan hitam berputar pelan, membawa suasana tenang yang seolah menghentikan waktu.
Tak ada suara riuh pelanggan atau antrean panjang seperti di kafe-kafe industrial lain, hanya obrolan ringan dan tawa kecil yang mengisi udara hangat malam.
Itulah suasana khas Buaian Coffee & Service, sebuah slow bar di kawasan Bantul Kadipiro, tepatnya di Jl. Menjangan No.267 RT 07 Ngestiharjo, Kasihan.
Di sini, kehangatan diseduh bersama cerita, dan setiap pengunjung diajak untuk "stay warm" dalam suasana yang ditata seperti "rumah kedua" untuk mereka.
Sanggit Gandhang Pradipta (22) selaku founder sekaligus owner Buaian, menyulap ruang gudang di samping rumahnya menjadi coffee house dengan penuh estetika.
Ruang yang semula punya akses mobilitas yang sempit berhasil disulap menjadi tempat ternikmat untuk menikmati kopi.
![Penampakan Buaian Coffee & Service dari pintu depan. [Suara.com/ Gradciano Madomi Jawa]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/10/24/96175-penampakan-buaian-coffee-service-dari-pintu-depan.jpg)
Buaian lahir dari mimpinya sejak masa SMA. Sanggit bersama dua sahabatnya, Badra dan Bagas ingin punya tempat nongkrong, tempat mereka bisa duduk lama tanpa tergesa, sambil mendengarkan musik dan berbincang.
Mereka juga punya mimpi menjadi barista yang berkarya untuk menghasilkan sesuatu, baik untuk kepuasan diri mereka ataupun untuk melayani orang lain.
"Awalnya cuma cita-cita usang dari SMA," ujar Sanggit sambil tersenyum, mengenang masa-masa saat ide itu hanya obrolan ringan.
"Trigger awalnya tuh kita tuh pengen kerja layaknya barista. Jadi kita ngeliat barista tuh asik loh kerjanya. Cuman kita sadar akan umur dan pengalaman yang belum ada. Terus setelah SMA, kita kan sempat berpisah gitu, terus abis itu kita balik lagi, dan kemudian menciptakan Buaian ini." jelasnya.
Saat bertemu kembali, mereka sepakat untuk mewujudkan mimpi lama: punya tempat nongkrong sendiri, tempat yang bukan cuma menjual kopi, tapi juga kehangatan dan cerita, santai, hangat, dan organik.
"Waktu itu modalnya kecil banget," ujar Sanggit.
"Kita ngutang dulu sama orang tua, tapi dikembalikan lagi begitu usaha jalan. Semua kita kerjakan sendiri, dari ngecat, nata ruangannya, sampai pasang lampu. Tukang cuma buat pasangin kelistrikan dan segala macamnya, takut kesetrum," tambahnya sambil tertawa.
Tanggal 5 Januari 2025, Buaian resmi berdiri. Tempatnya sederhana, tidak besar. Tapi dari kesederhanaan itulah pesona Buaian muncul: rumah bagi yang ingin melambat sejenak dari hiruk-pikuk kota pelajar. Sebuah kafe sederhana tapi penuh karakter
Kini, mimpi sederhana itu menjelma jadi rumah bagi banyak orang, rumah yang menjual kopi, kata Sanggit, "tapi lebih dari itu, tempat untuk berbagi cerita."
![Pengunjung di Buaian Coffee & Service. [Suara.com/ Gradciano Madomi Jawa]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/10/24/69700-pengunjung-di-buaian-coffee-service.jpg)
Konsep yang diusung Buaian berbeda dari kafe industrial lain yang ramai dan padat. Sanggit menyebutnya sebagai "rumah", tempat di mana orang datang bukan untuk buru-buru, tapi untuk benar-benar menikmati setiap tegukan dan percakapan.
Di tengah maraknya kafe di Yogyakarta yang sering kali ramai dan penuh sesak, Sanggit justru ingin menghadirkan ruang yang lebih tenang.
"Aku sama Mas Badra tuh dulu sering pusing kalau nongkrong di tempat yang rame banget. Jadi kita bikin tempat yang lebih senyap, biar orang juga bisa ikut slow," ujarnya.
Desain interiornya pun mendukung suasana itu: perpaduan nuansa rumah dengan sentuhan vintage mid-century, dipenuhi barang-barang klasik seperti piringan hitam dan kaset jadul. Semua disusun tanpa konsep yang kaku.
"Spontan aja, yang penting terasa organik dan nyaman," ujar Sanggit.
Sanggit juga menjelaskan alasannya menghiasi setiap sudut kafe dengan estetika yang unik "Sebenarnya lebih ke hobi juga sih. Kami juga suka musik, jadinya sekalian ruangannya ditata dan di mix dengan vinyl seperti ini, atau ada pemutar kaset jadul, kita tata seperti rumah yang menghangatkan lah."
"Menu kita juga dirancang biar bisa memancing obrolan," ujar Sanggit.
"Misalnya ada pelanggan nanya, ‘Mas, ini minuman apa sih?’ Nah, dari situ muncul interaksi. Kita pengen pengunjung gak cuma beli kopi, tapi juga dapat cerita." imbuhnya.
Salah satu menu andalan mereka adalah Ballerina, kopi susu dengan campuran karamel dan sakura.
"Itu yang paling laku, dari awal buka sampai sekarang masih jadi favorit," katanya.
Selain kopi, mereka juga punya beberapa pilihan camilan seperti brownies, cheesecake, dan cookies.
![Sanggit (22) sedang menyiapkan pesanan. [Suara.com/ Gradciano Madomi Jawa]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/10/24/84416-sanggit-22-sedang-menyiapkan-pesanan.jpg)
Saat ini, Sanggit sedang berkuliah di salah satu Universitas di Yogyakarta. Meski tampak santai, di balik cangkir-cangkir kopi itu ada perjuangan berat.
Sebagai mahasiswa, Sanggit harus membagi waktu antara tugas kuliah, organisasi kampus, dan tanggung jawab sebagai pemilik bisnis.
Padatnya jadwal bertambah karena Sanggit merangkap banyak peran sekaligus, barista, manajer, hingga mengurus keuangan.
"Kalau dibilang pusing, ya memang chaos. Saya itu kadang burnout, edan-edanan. Tapi yaudah, masih muda juga. " ujarnya.
"Saya sering dibilang otaknya kecil sama Mas Bagas, karena gak bisa kerja banyak hal dalam satu waktu. Kalau mau ngerjain sesuatu harus fokus," katanya dengan nada kelakar.
"Pernah jadi ketua PKKMB Fakultas di kampus pas Buaian lagi rame-ramenya. Ya, chaos banget. Tapi untung ada teman dan pacar yang selalu ngingetin." ungkapnya.
Pekerjaan Sanggit sedikit terbantu dengan adanya crew tambahan di Buaian Coffee & Service. Ia mengatakan ada teman-teman SMP atau SMA yang bekerja secara part time.
"Awalnya tim kita ada 10. Tapi kita filter, seleksi lagi, nah terus akhirnya tinggal 6 orang," tambahnya.
Meski melelahkan, usaha ini justru memberi semangat tambahan. "Kadang capek banget, tapi saya selalu ingat, ini cita-cita dari SMA," ujarnya.
"Sekarang udah gak minta uang jajan lagi, udah bisa mandiri. Gak bisa selanjutnya kita mengharapkan orang-orang yang ada diatas kita, orang tua," tambahnya.
![Menu di Buaian Coffee & Service, Ballerina dan Brownies. [Suara.com/ Gradciano Madomi Jawa]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/10/24/68557-menu-di-buaian-coffee-service-ballerina-dan-brownies.jpg)
Pelayanan yang disediakan Buaian ternyata mendapat sambutan positif dari banyak orang. Di Google Review, Buaian mendapat rating 4,9 dari 60 ulasan.
"Kita bersyukur banget, responnya bagus, yang penting pelanggan merasa puas dan hangat," ujar Sanggit.
Salah satu pengunjung, Ais, mahasiswa asal Kalimantan, mengaku menemukan Buaian secara tak sengaja di media sosial.
"Lihat dari Instagram, tempatnya kelihatan nyaman banget," ujarnya.
"Pas datang, ternyata beneran enak, gak ramai, suasananya santai. Minumannya juga segar, apalagi mocktail-nya, ada rasa asam-asamnya gitu." sambungnya.
Pengunjung lain yang datang bersama Ais juga mengaku betah. "Vibe-nya santai banget, gak berisik. Cocok buat ngobrol atau nugas. Recommended banget sih," katanya.
Buaian juga aktif berkolaborasi dengan berbagai komunitas di Yogyakarta. Dalam sembilan bulan, mereka sudah menggelar empat event, mulai dari pameran seni, pertunjukan musik, hingga kolaborasi dengan komunitas lari.
"Kita sudah empat kali kolaborasi sama event-event di sini. Ada yang dari collective lari, sama X Gym, terus pameran Shoutysen Exhibition, dan juga pameran Arsip Band, namanya The Pile," tambah Sanggit"
Selama 9-10 bulan ini berjalan, Buaian sudah menghasilkan berkolaborasi dengan 4 event, yang kemudian menjadi dukungan tambahan bagi Buaian. Dukungan tersebut bisa dalam bentuk exposure media sosial dan juga boost penjualan.
"Kami pengen tempat ini jadi social space," kata Sanggit.
"Kalau ada yang mau bikin acara, silakan. Yang penting punya konsep dan bisa membawa energi positif." lanjutnya.
Meski baru setahun berjalan, Sanggit punya rencana besar. "Kita gak mau berhenti di penyedia jasa F&B aja, tapi ingin bergerak di bidang creative," ujarnya penuh semangat.
"Sekarang kami lagi bikin Benderang Klub Kreatif, ruang kreatif buat kolaborasi dengan event-event."
Sanggit juga sedikit menceritakan program yang telah dibuat Benderang Klub Kreatif.
"Kemarin sudah produksi visual live set untuk Band The Pile, kita yang buat visual transisinya gitu. Nanti rencananya akan ada kolaborasi lagi, mau buat video klip bareng band yang sama," tambahnya.
Selain ekspansi ke ranah baru, pengembangan lainnya hadir dari ranah pelayanan Buaian Coffee & Service.
"Untuk di Buaian akan dirilis menu baru, sudah dicoba oleh beberapa teman yang datang ke sini. Tapi belum bisa di spill. Masih misterius. Rencana lainnya adalah ingin menambahkan space untuk pengunjung yang pengen nugas," tambahnya.
Bagi Sanggit, tempat ini bukan hanya usaha kopi, tapi juga perpanjangan dari dirinya dan teman-temannya.
"Harapannya Buaian tetap ada, tetap hangat, dan terus berkembang," ujarnya lirih.
"Kita gak muluk-muluk. Yang penting bisa terus keeps you warm," pungkasnya.
Di tengah riuhnya dunia mahasiswa dan hiruk-pikuk Jogja, Buaian hadir sebagai pengingat bahwa tak semua hal perlu dijalani dengan tergesa.
Kadang, yang kita butuhkan hanya secangkir kopi hangat, percakapan ringan, dan waktu yang berjalan sedikit lebih pelan.
Kontributor : Gradciano Madomi Jawa
Kisah inspiratif Theofilus, mahasiswa BINUS yang ubah tahu goreng jadi bisnis kekinian bernama Goerih Tahu Crispy. Dari tugas kuliah jadi brand viral!
Di tengah padatnya kuliah, mahasiswa Jogja bernama Vio menyulap hobi nail art menjadi bisnis. Bagaimana ia mengukir kesuksesan dengan kuku, kreativitas, dan tekad baja?
Pasar Kangen 2025 kembali hadir dari 18 September-24 September 2025. Pagelaran ini menjadi tempat bagi masyarakat untuk mengenal makanan tradisional Yogyakarta.
No Other Choice memiliki kesamaan cerita dengan Parasite, serta sama-sama dinominasikan untuk Oscar.
nonfiksi
Di tengah padatnya kuliah, mahasiswa Jogja bernama Vio menyulap hobi nail art menjadi bisnis. Bagaimana ia mengukir kesuksesan dengan kuku, kreativitas, dan tekad baja?
nonfiksi
Rangga & Cinta tak bisa menghindar untuk dibandingkan dengan film pendahulunya, Ada Apa Dengan Cinta? alias AADC.
nonfiksi
Mouly Surya dan Marsha Timothy kembali menunjukkan kerja sama yang memukau di film Tukar Takdir.
nonfiksi
Ada alamat di Jakarta yang tak tercatat di peta teror, namun denyutnya adalah neraka. Menelusuri 'Kremlin', ruang-ruang interogasi Orde Baru, dan persahabatan aneh di Cipinang
nonfiksi
Ingatan kolektif masyarakat tentang tapol PKI dari balik jeruji penjara Orde Baru telah memudar, seiring perkembangan zaman. Jurnalis Suara.com mencoba menjalinnya kembali.
nonfiksi
Akankah Kang Solah from Kang Mak x Nenek Gayung menyaingi kesuksesan Kang Mak tahun lalu?