Suara.com - Sebulan setelah tanah Gayo luruh dan air bah menyapu, ribuan warga di pedalaman Aceh masih terjebak krisis pangan dan energi yang mencekik. Mereka bertaruh nyawa menempuh perjalanan sehari semalam demi sekantong beras. Harga kebutuhan pokok meroket hingga dua kali lipat.
WAKTU seolah berjalan melambat di Gampong Rejewali, namun kecemasan memacu jantung lebih cepat.
Sudah hampir sebulan sejak tanah di perbukitan Kecamatan Ketol, Aceh Tengah itu luruh, membawa serta aspal, pohon-pohon, dan harapan akan hidup normal.
Bagi warga gampong, bencana bukan hanya tentang air yang naik atau tanah yang bergeser, melainkan tentang dapur yang berhenti mengepul dan harga-harga yang terbang tak tergapai.
Rusma Alisya mengenang bagaimana sunyinya desa mereka berubah menjadi medan perjuangan.
Meski rumahnya tak rata dengan tanah, ia merasakan bagaimana hidup perlahan-lahan menjadi sangat mahal.
Untuk sekadar mendapatkan beras, orang-orang harus menantang maut dan kelelahan, menempuh perjalanan yang menguras waktu dan tenaga.
“Orang tua saya pernah melakukan perjalanan ke Bireuen dua kali,” Alisya bercerita kepada saya, Senin 22 Desember 2025.
Pekan pertama setelah bencana, orang tuanya menghabiskan waktu satu hari satu malam berjalan kaki untuk mendapatkan beras dan kebutuhan pokok lainnya.
“Kalau sekarang, setengah hari perjalanan sudah dapat stok.”
Bencana yang bermula pada 26 November lalu itu memang kejam. Ia memutus urat nadi transportasi, mengisolasi Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues dari dunia luar.
Lebih dari sepekan, satu-satunya cara untuk keluar-masuk adalah melalui jalur udara—kemewahan yang tak tersentuh oleh sebagian besar warga gampong.
Akibatnya, mereka yang terjebak di pegunungan harus menghadapi kenyataan pahit di pasar-pasar lokal.
![[Aldie/Suara.com]](https://media.suara.com/pictures/original/2025/12/23/92065-infografis-aceh-terisolasi-setelah-banjir-bencana-sumatera.jpg)
Harga gas dan beras naik tinggi
Gas elpiji 3 kilogram, yang biasanya menjadi tumpuan memasak, menghilang. Kalaupun ada, harganya sudah tak masuk akal. Warga terpaksa kembali ke cara purba: mencari kayu bakar.
Namun, langit Aceh belum mau bersahabat. Hujan yang turun hampir saban hari membuat kayu-kayu itu lembab. Bukannya api yang didapat, melainkan asap pedih yang memenuhi paru-paru.
“Harga gas elpiji tiga kilo itu dari Rp 80 ribu bahkan sampai 120,” kata Rusma.
Harga beras pun sama, naik dua kali lipat, "dari Rp 300 ribu sampai Rp 400 ribu. Itu harga per 15 kilogram."
Keadaan di Rejewali baru sedikit mencair ketika aliran listrik kembali berdenyut pada Ahad, 21 Desember.
Bagi Rusma, cahaya lampu bukan sekadar penerang, tapi berarti kembalinya fungsi penanak nasi elektrik.
Setidaknya, mereka tak lagi harus bertarung dengan asap kayu yang basah hanya untuk mengisi perut.
![Sejumlah warga menyeberang sungai melalui jembatan darurat di wilayah Tenge Besi, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Aceh. [Khalis Surry/Suara.com].](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/12/23/64024-warga-jalan-kaki-untuk-dapat-beras-di-bener-meriah-aceh-bencana-sumatera-banjir-aceh.jpg)
Tapi, di belahan Aceh yang lain, ceritanya jauh lebih kelam. Di Gampong Padang Meuria, Kecamatan Langkahan, Aceh Utara, Bakhtiar M Adam berdiri memandangi sisa-sisa rumahnya.
Di wilayah ini, dapur bukan lagi masalah gas atau kayu bakar, melainkan fisiknya yang sudah tak ada.
Banjir di Langkahan adalah salah satu yang paling beringas; ia menyapu pemukiman hingga nyaris tak berbekas.
Bakhtiar dan tetangganya kini menjadi penghuni tetap posko pengungsian. Mereka hidup dari apa yang tersaji di dapur umum.
Bagi banyak warga, itu adalah ketergantungan yang sebenarnya melukai harga diri, namun tak ada pilihan lain.
“Namanya juga musibah, jadi tidak bisa berharap lebih,” kata Bakhtiar.
Banyak desa yang lenyap
Langkahan kini menyerupai zona perang tanpa peluru. Sebanyak 23 gampong terdampak, dengan kerusakan bangunan mencapai 85 persen.
Camat Langkahan, T Reza Ichwan, bahkan menyebut ada desa yang benar-benar lenyap dari pandangan, tertimbun lumpur atau hanyut dibawa arus.
“Ada desa yang benar-benar lenyap, sehingga kami sangat membutuhkan hunian sementara,” ujarnya.
Hingga kekinian, 50 posko pengungsian masih berdiri di Langkahan. Di sana, masalah klasik kembali berulang: kelangkaan gas.
![Sejumlah warga berjalan kaki sambil membawa barang di wilayah Tenge Besi, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Aceh. [Dokumen warga]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/12/23/51763-warga-jalan-kaki-setelah-bencana-di-bener-meriah-aceh-bencana-sumatera-banjir-aceh.jpg)
Warga yang masih memiliki rumah pun tak bisa memasak karena bangunannya rusak berat atau penuh lumpur.
Situasi geografis Langkahan sebagai daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) membuat bantuan datang seperti tetesan air di padang pasir—lambat dan sulit.
“Gas elpiji 3 kilo memang belum tersedia. Warga di pengungsian kebanyakan memasak menggunakan kayu."
Warga bukannya tak mau memasak sendiri di rumah, tapi mustahil dilakukan. Sebabnya, bisa jadi rumah mereka rusak berat bahkan sudah rata dengan tanah, kata Reza.
Jalur distribusi ke sana memang ringkih; jalan sempit, rusak, dan komunikasi yang seringkali terputus.
Jalur sudah terbuka tapi terbatas
Pada tingkat provinsi, Sekretaris Daerah Aceh M Nasir Syamaun, mencoba memberi kabar baik di tengah keputusasaan.
Jalur KKA yang menghubungkan Aceh Utara ke Bener Meriah mulai bisa dibuka secara terbatas. Namun, bagi pengemudi kendaraan biasa, jalur ini masih menyerupai jebakan maut.
“Akses Aceh Utara melalui jalur KKA menuju Bener Meriah saat ini sudah dapat dilalui kendaraan roda dua dan roda empat. Namun lalu lintas masih terbatas, sehingga pengguna jalan diminta tetap berhati-hati,” kata Nasir, Minggu malam 21 Desember 2025.
![Sejumlah warga menyeberang sungai melalui jembatan darurat di wilayah Tenge Besi, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Aceh. [Khalis Surry/Suara.com].](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/12/23/81693-warga-jalan-kaki-untuk-dapat-beras-di-bener-meriah-aceh-bencana-sumatera-banjir-aceh-1.jpg)
Sementara jalur utama dari Bireuen menuju Bener Meriah masih lumpuh di Jembatan Tenge Besi.
Hanya mobil-mobil berpenggerak empat roda (4x4) dengan peralatan winch, bisa melaluinya.
Apalagi, tanahnya masih labil, dan badan jalan di banyak titik telah hilang amblas ke jurang.
"Hanya sopir yang bernyali dan teruji berani melewatinya."
Reza mengakui, tantangan saat ini adalah fokus menangani badan jalan yang amblas serta terputus di sekitar lokasi.
Harapan kini digantungkan pada jembatan-jembatan darurat dan uji coba jalur, agar beras dan gas tak lagi harus ditebus dengan perjalanan sehari semalam. [Iskandar]
Pemerintah menargetkan pembangunan 500 unit huntap di Aceh Tamiang dan 500 unit di Aceh Utara
Pemprov DKI ubah perayaan Tahun Baru 2026 jadi sederhana & berempati, fokus di Bundaran HI, tanpa kembang api, dan galang donasi korban bencana.
Perbankan nasional didesak menghentikan pembiayaan ke sektor perusak lingkungan di Sumatera seiring meningkatnya risiko ekologis dan bencana.
Dalam situasi bencana alam, MIND ID berkomitmen untuk terus hadir memastikan bantuan tepat sasaran.
Tindakan pembubaran ini ilegal dan masuk kategori kejahatan yang menghalang-halangi kebebasan berekspresi.
nonfiksi
Tiga pekan pasca-banjir Aceh, Gampong Dayah Husein masih terkubur lumpur. Di antara derit sumur tua dan padamnya listrik, warga lebih memilih membersihkan musala
nonfiksi
Pemilihan Claresta Taufan sebagai pemeran utama adalah bukti ketajaman mata Reza Rahadian sebagai sutradara.
nonfiksi
Deway, mahasiswa Kalbar di Jogja, belajar menenangkan kecemasan dan menemukan rumah di kota asing.
nonfiksi
Film Caught Stealing menghadirkan aksi brutal, humor gelap, dan nostalgia 90-an, tapi gagal memberi akhir yang memuaskan.
nonfiksi
Ia hanya ingin membantu. Tapi data dirinya dipakai, dan hidupnya berubah. Sebuah pelajaran tentang batas dalam percaya pada orang lain.
nonfiksi
Film ini rilis perdana di festival pada 2023, sebelum akhirnya dirilis global dua tahun kemudian.