Fenomena Brain Drain: Masalah Nasionalisme atau Bobroknya Sistem Meritokrasi Indonesia?
Home > Detail

Fenomena Brain Drain: Masalah Nasionalisme atau Bobroknya Sistem Meritokrasi Indonesia?

Bimo Aria Fundrika | Muhammad Yasir

Senin, 17 Februari 2025 | 19:05 WIB

Suara.com - Tahun 2009, Doddy Alexander mengambil keputusan besar. Ia meninggalkan pekerjaan sebagai aparatur sipil negara (ASN) di sebuah kementerian. Pekerjaan yang bagi banyak orang adalah impian, ia lepaskan demi mengejar pendidikan S2 di Korea Selatan.

“Gue udah KaburAjaDulu dari 2009,” ujarnya, tertawa, saat berbincang dengan Suara.com, Jumat (17/2/2024).

Belakangan, tagar #KaburAjaDulu ramai memenuhi lini masa media sosial X (Twitter). Data Drone Emprit mencatat, tagar ini pertama muncul sejak September 2023, namun kembali viral pada Januari 2025.

Tren ini ternyata didominasi oleh anak muda. Lebih dari 50 persen pengguna tagar ini berusia 19–29 tahun. Menurut Slovenia Mandala, peneliti dari Drone Emprit, fenomena ini mencerminkan kekecewaan anak muda terhadap sulitnya mencari pekerjaan dan ketidakadilan sosial di Indonesia.

Ilustrasi liburan (Pexels.com/Oleksandr Pidvalnyi)
Ilustrasi kabur aja dulu. (Pexels.com/Oleksandr Pidvalnyi)

Bagi Doddy, alasan itu bukan sekadar wacana. Ia sudah melangkah lebih jauh. Setelah menyelesaikan S2 di Korea Selatan, ia melanjutkan S3 di Selandia Baru. Kini, ia bahkan bersiap mengubah kewarganegaraannya.

“Gue mau apply warga negara New Zealand 2027,” katanya.

Bukan hanya faktor ekonomi, tapi juga diskriminasi dan ketimpangan hukum yang membuatnya enggan kembali ke Indonesia.

“Korupsi di Indonesia? Udah kultur,” ucapnya, terkekeh.

#KaburAjaDulu: Doddy, Nasionalisme, dan Realita di Negeri Orang

Kini, di Glenbrook, sekitar 40 kilometer di selatan Auckland, Doddy Alexander menjalani kesehariannya sebagai metallurgist di New Zealand Steel.

Pabrik baja milik BlueScope Steel Australia itu kini menjadi tempatnya berkarier, jauh dari hiruk-pikuk Indonesia.

Doddy tak ambil pusing dengan komentar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia. Dalam sebuah wawancara, Bahlil menyinggung soal nasionalisme warga negara Indonesia yang memilih bekerja di luar negeri atau pindah kewarganegaraan.

Bagi Doddy, nasionalisme tak sesederhana itu. Sejak memutuskan melanjutkan pendidikan S2 dan S3 di luar negeri, ia memang memilih tidak menggunakan beasiswa pemerintah dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

“Gue nggak mau pakai beasiswa yang nyuruh balik ke Indonesia,” katanya lugas.

Fenomena #KaburAjaDulu, menurutnya, adalah hak setiap individu. Namun, ia mengingatkan bahwa tinggal di luar negeri tak selalu seindah yang dibayangkan.

“Tapi kalau benci sama pemerintah, jangan pakai LPDP. Kalau pakai LPDP, itu sama aja munafik, kan?” ujarnya, terkekeh.

Ancaman Brain Drain

Fenomena #KaburAjaDulu bukan sekadar tren di media sosial. Di balik tagar itu, ada gelombang anak muda berbakat yang memilih pergi. Bagi pemerintah, ini bukan sekadar statistik, melainkan ancaman nyata brain drain.

Dosen Sosiologi FISIP UNAIR,  Dr. Tuti Budirahayu Dra MSi mendefinisikan brain drain sebagai emigrasi orang-orang terlatih dan cerdas ke negara lain. Demikian seperti dikutip dari situs resmi UNAIR. 

Singkatnya, brain drain terjadi ketika individu berbakat memilih berkarier di luar negeri daripada membangun negaranya sendiri.

“Mereka pergi karena berbagai alasan. Bisa karena gaji lebih tinggi, kehidupan lebih baik, atau keahlian mereka dibutuhkan negara lain. Bisa juga karena status imigran yang menyulitkan mereka kembali, atau sekadar pilihan pribadi,” ujarnya.

Kementerian Hukum dan HAM mencatat, sepanjang 2019-2022, 3.912 WNI berpindah menjadi warga negara Singapura. Ironisnya, mayoritas dari mereka berusia 25–35 tahun, usia produktif dengan talenta tinggi.

Data The Global Economy 2024 menunjukkan Indonesia menempati peringkat ke-88 dari 175 negara dalam indeks human flights and brain drain.

Dikutip dari situs resmi Universitas Gadjah Mada, Pakar Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM, Dr. Hempri Suyatna, menilai fenomena ini bukan hal baru.

Sejak 1960-an, banyak mahasiswa Indonesia yang kuliah di luar negeri dan tak kembali. Mereka memilih bekerja di luar, seperti yang masih terjadi hingga kini.

“Banyak tenaga terampil dan profesional lebih memilih berkarier di luar negeri daripada di Indonesia,” ujar Hempri, Kamis (23/1).

Ribuan WNI yang berpindah ke Singapura dalam tiga tahun terakhir menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Menurut Hempri, Indonesia berisiko kehilangan SDM berkualitas, sementara Singapura justru semakin menarik talenta muda.

“Singapura dianggap lebih baik untuk berkarier dan mendapatkan kesempatan ekonomi serta pendidikan,” katanya.

Kerugian Bagi Indonesia

Kepergian SDM usia produktif ini merugikan. Mereka adalah generasi dengan potensi, kreativitas, dan inovasi tinggi. Jika terus dibiarkan, Indonesia bukan hanya kehilangan tenaga terampil, tetapi juga menghadapi ketimpangan ekonomi dan lambatnya pembangunan.

“Sangat disayangkan,” pungkasnya.

Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang, Prima Gandhi, mengaku sejak 2024 telah mengingatkan pemerintah lewat Komisi X DPR RI. Ia khawatir banyak penerima beasiswa negara, seperti LPDP, memilih pindah kewarganegaraan setelah merasa nyaman di negara maju.

“Tapi kalau kita lihat fenomena #KaburAjaDulu sekarang, konteksnya berbeda. Selama mereka tidak mengubah kewarganegaraan, menurut saya itu nggak masalah,” ujar Prima kepada Suara.com.

Namun, ia tak menampik bahwa peluang kerja di negara maju bisa mempercepat brain drain. Di Jepang, misalnya, banyak WNI bertalenta yang memilih bertahan bukan hanya karena gaji tinggi, tetapi karena sistem yang lebih adil.

“Di Jepang, semua profesional. Mereka melihat keahlian, bukan latar belakang keluarga atau asal usul,” ungkapnya.

Menurutnya, meritokrasi adalah kunci untuk menekan brain drain. Selain itu, pemerintah harus lebih serius memastikan WNI penerima beasiswa negara benar-benar kembali dan diberdayakan untuk kemajuan Indonesia.

“Saya sepakat dengan Pak Bahlil. Kalau orang yang dibiayai negara lalu pindah kewarganegaraan, itu nggak nasionalis.”

“Tapi kalau dia sekadar kerja di luar negeri dengan gaji lebih baik tapi tetap WNI, menurut saya itu bukan masalah. Itu bukan berarti dia tidak nasionalis,” pungkasnya.


Terkait

Koalisi Permanen Prabowo: Ancaman Demokrasi dan Tabrak Putusan MK
Senin, 17 Februari 2025 | 16:34 WIB

Koalisi Permanen Prabowo: Ancaman Demokrasi dan Tabrak Putusan MK

"Jadi ini sangat tidak sejalan dengan keputusan MK. Harapannya akan memberi peluang semakin banyak partai politik yang akan mengusung capres dan cawapres," kata Jamiluddin.

Manuver Prabowo, Koalisi Permanen Jegal Gibran di Pilpres 2029?
Senin, 17 Februari 2025 | 08:26 WIB

Manuver Prabowo, Koalisi Permanen Jegal Gibran di Pilpres 2029?

"Itu sebagai upaya untuk mengunci langkah partai di KIM," kata Indaru.

Terbaru
Review Film Pangku: Menyelami Dilema Ibu Tunggal di Pantura yang Terlalu Realistis
nonfiksi

Review Film Pangku: Menyelami Dilema Ibu Tunggal di Pantura yang Terlalu Realistis

Sabtu, 08 November 2025 | 08:00 WIB

Pemilihan Claresta Taufan sebagai pemeran utama adalah bukti ketajaman mata Reza Rahadian sebagai sutradara.

Langkah Kecil di Kota Asing: Cerita Mahasiswa Perantau Menemukan Rumah Kedua di Jogja nonfiksi

Langkah Kecil di Kota Asing: Cerita Mahasiswa Perantau Menemukan Rumah Kedua di Jogja

Jum'at, 07 November 2025 | 19:50 WIB

Deway, mahasiswa Kalbar di Jogja, belajar menenangkan kecemasan dan menemukan rumah di kota asing.

Review Caught Stealing, Jangan Pernah Jaga Kucing Tetangga Tanpa Asuransi Nyawa nonfiksi

Review Caught Stealing, Jangan Pernah Jaga Kucing Tetangga Tanpa Asuransi Nyawa

Sabtu, 01 November 2025 | 08:05 WIB

Film Caught Stealing menghadirkan aksi brutal, humor gelap, dan nostalgia 90-an, tapi gagal memberi akhir yang memuaskan.

Niat Bantu Teman, Malah Diteror Pinjol: Kisah Mahasiswa Jogja Jadi Korban Kepercayaan nonfiksi

Niat Bantu Teman, Malah Diteror Pinjol: Kisah Mahasiswa Jogja Jadi Korban Kepercayaan

Jum'at, 31 Oktober 2025 | 13:18 WIB

Ia hanya ingin membantu. Tapi data dirinya dipakai, dan hidupnya berubah. Sebuah pelajaran tentang batas dalam percaya pada orang lain.

Review Film The Toxic Avenger, Superhero 'Menjijikkan' yang Anehnya Cukup Menghibur nonfiksi

Review Film The Toxic Avenger, Superhero 'Menjijikkan' yang Anehnya Cukup Menghibur

Sabtu, 25 Oktober 2025 | 08:00 WIB

Film ini rilis perdana di festival pada 2023, sebelum akhirnya dirilis global dua tahun kemudian.

Tentang Waktu yang Berjalan Pelan dan Aroma Kopi yang Menenangkan nonfiksi

Tentang Waktu yang Berjalan Pelan dan Aroma Kopi yang Menenangkan

Jum'at, 24 Oktober 2025 | 13:06 WIB

Di sebuah kafe kecil, waktu seolah berhenti di antara aroma kopi dan tawa hangat, tersimpan pelajaran sederhana. Bagaimana caranya benar-benar di Buaian Coffee & Service.

Review Film No Other Choice yang Dibayang-bayangi Kemenangan Parasite di Oscar, Lebih Lucu? nonfiksi

Review Film No Other Choice yang Dibayang-bayangi Kemenangan Parasite di Oscar, Lebih Lucu?

Sabtu, 18 Oktober 2025 | 09:05 WIB

No Other Choice memiliki kesamaan cerita dengan Parasite, serta sama-sama dinominasikan untuk Oscar.

×
Zoomed