Suara.com - TENTARA Nasional Indonesia atau TNI kembali menjadi lembaga yang paling dipercayai masyarakat. TNI berada pada peringkat pertama dari 11 lembaga dalam hasil survei yang dikeluarkan Indikator Politik Indonesia.
Hasil survei menunjukkan TNI mendapatkan kepercayaan masyarakat sebanyak 85,7 persen, disusul presiden 82,5 persen, kemudian pada posisi ketiga Kejaksaan Agung sebesar 76 persen. Sementara posisi paling bawah diduduki partai politik 65,6 persen, dan DPR RI 71 persen.
Survei dilaksanakan pada 17-20 Mei 2025 dan diikuti 1.286 responden yang dilakukan dengan wawancara melalui sambungan telepon. Metode sampel menggunakan double sampling dengan margin of error 2,8 persen dan tingkat kepercayaan 93 persen.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi menjelaskan bahwa survei yang mereka lakukan mengukur tingkat kepercayaan bukan approval.
"Trust ini satu elemen penting dalam demokrasi. Sebab kalau misalnya masyarakat tidak percaya terhadap lembaga negara, itu akan menyulitkan buat lembaga negara untuk menyelenggarakan kebijakan," kata Burhanuddin dalam keterangannya yang dikutip Suara.com, Jumat 30 Mei 2025.
Tingkat kepercayaan 85,7 persen itu terdiri 23,9 persen responden yang menyatakan sangat percaya terhadap TNI, dan 61,8 persen sisanya cukup percaya.
Dalam survei itu juga ditemukan bahwa TNI dan Kejaksaan Agung menjadi lembaga paling dipercaya generasi zoomer atau Gen Z dibanding lembaga lainnya. Sebanyak 88,6 persen responden dari kalangan Gen Z menyatakan percaya terhadap TNI.
Gen Z Minim Literasi
Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra menilai tingginya tingkat kepercayaan tak serta merta menjadi cerminan dari kinerja institusional yang bersih dan transparan. Hal itu terjadi lantaran minimnya literasi kritis dan terbatasnya ruang untuk menggugat narasi resmi.
"Ini menjadi tantangan serius dalam pembangunan demokrasi yang sehat. Karena generasi muda seharusnya menjadi penggerak utama dalam mengawal akuntabilitas dan keadilan," kata Ardi kepada Suara.com, Jumat 30 Mei lalu.
Dia menilai Gen Z memiliki keterbatasan literasi terkait isu sosial, politik, dan sejarah. Pengetahuan kritis mereka yang minim tentang sejarah kelam dan pelanggaran HAM yang pernah melibatkan institusi-institusi negara melahirkan ruang kosong. Kekosongan itu kemudian diisi narasi dominan dari negara yang sering kali dibungkus dalam bentuk kampanye nasionalisme, keamanan, dan penegakan hukum tanpa disertai refleksi kritis.
"Kondisi ini diperparah oleh upaya sistematis untuk mengaburkan atau menghapus memori kolektif tentang masa lalu, baik melalui kontrol narasi dalam kurikulum pendidikan, sensor terhadap diskursus sejarah alternatif, maupun pembatasan kebebasan berekspresi," ungkapnya.
Begitu pula media sosial, ruang utama artikulasi bagi Gen Z sering marak tindakan represif dan intimidatif saat suara-suara kritis bergema. Hal itu menciptakan iklim ketakutan.
"Yang membungkam kritik dan memperkuat ilusi bahwa institusi-institusi tersebut berada di luar pengawasan dan pertanggungjawaban publik," ujarnya.
Sementara itu, jika dibanding dengan hasil survei Indikator Politik dalam dua tahun terakhir, persentase tingkat kepercayaan terhadap TNI mengalami penurunan. Survei pada 10-15 Oktober 2024, persentase tingkat kepercayaan publik terhadap TNI sebanyak 96 persen. Dan survei pada 20-24 Juni 2023 tingkat kepercayaan publik ke TNI berada di angka 95,8 persen.
Bersamaan dengan itu pula, tingkat ketidakpercayaan publik terhadap TNI juga mengalami peningkatan. Survei pada 2023, hanya 3,5 persen responden yang menyatakan kurang percaya terhadap TNI. Kemudian pada 2024 meningkat menjadi 4 persen. Sementara pada hasil survei Indikator Politik terbaru, 11,2 persen responden menyatakan kurang percaya terhadap TNI.
Imparsial memandang itu memiliki keterkaitan dengan beberapa peristiwa yang berkaitan dengan TNI dalam beberapa waktu belakangan ini. Di antaranya revisi Undang-Undang TNI yang dinilai memperkuat peran militer di ranah sipil. Sebagaimana diketahui hasil revisi UU TNI memperluas penempatan militer di ranah sipil, dari sebelumnya hanya 10 lembaga menjadi 14 lembaga.
"Ini mempengaruhi persepsi dan kekhawatiran publik akan kembalinya dwifungsi militer di ranah sipil seperti pada masa Orde Baru," katanya.
Selain itu, terdapat beberapa kasus yang melibatkan anggota militer dinilai juga mempengaruhi turunnya angka tingkat kepercayaan publik terhadap TNI.
Beberapa kasus itu di antaranya, penyerangan kampung dan pembunuhan seorang warga sipil pada November 2024 di Deli Serdang; pembunuhan bos rental pada Januari 2025 di Tangerang; kasus sabung ayam yang mengakibatkan terbunuhnya tiga polisi di Lampung pada Maret 2025; dan pembunuhan jurnalis perempuan oleh anggota TNI pada Maret 2025 di Banjarbaru.
Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Andrie Yunus menilai wajar masyarakat tidak percaya terhadap TNI meningkat dalam tiga tahun terakhir.
“Tiga tahun terakhir kami rasa cukup menunjukkan bagaimana reformasi institusi TNI mundur jauh ke belakang. Saya kira ini jadi alasan mengapa kemudian ketidakpercayaan publik terhadap institusi TNI meningkat,” kata Andrie kepada Suara.com.
Dia mengamini salah satunya penyebabnya perluasan kewenangan militer di ranah sipil lewat revisi Undang-Undang TNI. Hal itu perlahan terlihat dengan dilibatkannya militer di beberapa program pemerintah yang sama sekali tidak berkaitan dengan pertahanan negara. Seperti program makan bergizi gratis, ketahanan pangan, dan pengamanan proyek strategis nasional.
Selain itu, angka kasus kekerasan yang melibatkan TNI juga masih tergolong tinggi. Selama 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, KontraS mencatat 12 kasus kekerasan terhadap masyarakat sipil yang melibatkan TNI.
Sementara pada 2024 terdapat 64 kasus. Kekerasan itu terdiri dari 37 tindak penganiayaan, 11 penyiksaan, sembilan intimidasi, tiga kasus perusakan, satu kasus penculikan, dan satu kasus kekerasan seksual. Puluhan kasus itu mengakibatkan 75 orang mengalami luka-luka, dan 18 orang meninggal dunia.
Terkait dengan tingkat kepercayaan Gen Z terhadap TNI yang tinggi, KontraS memiliki pandangan yang berbeda. Berdasarkan pemantauan KontraS di lapangan, kelompok Gen Z justru menjadi motor penggerak aksi penolakan revisi Undang-Undang TNI di berbagai daerah pada Maret lalu. Catatan KontraS, gelombang penolakan revisi Undang-Undang TNI tersebar di 69 titik kabupaten/kota di Indonesia.
“Kami menilai, masih terdapat kelompok Gen Z yang membuka mata, hati dan pikiran terhadap isu-isu yang berkaitan dengan kebangkitan dwi fungsi militer hari ini,” kata Andrie.
“Gen Z dipertemukan dalam benang merah yang sama yakni soal bahayanya jika militer masuk dan diseret-seret ke urusan sipil sehingga menyebabkan keprofesionalitasan para prajurit TNI menurun,” sambungnya.
Suara.com telah berupaya menghubungi Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Mayjen TNI Kristomei Sianturi lewat aplikasi perpesanan pada Kamis, 29 Mei lalu, untuk meminta tanggapan. Namun hingga berita ini diterbitkan, yang bersangkutan tak kunjung memberikan tanggapan.
Sinetron Asmara Gen Z masih terus mencuri perhatian bahkan trending di media sosial. Jadi salah satu pasangan favorit, ini dia potret mesra Harry Vaughan & Aqeela Calista!
Tingginya angka pengangguran itu berasal dari lulusan SMK yang mencapai 9,01 persen.
Sebelum menjalani wajib militer (wamil) pada 21 Juli mendatang, Rowoon akan menyapa penggemar lewat fanmeeting bertajuk Before Blooming pada 31 Mei di Seoul.
Faktornya adalah karena panjangnya antrean haji reguler, mahalnya biaya haji khusus atau furoda, hingga maraknya praktik travel umroh-haji ilegal.
Peristiwa yang dialami siswa SD di Indragiri Hulu ini menjadi peringatan bahaya mengakarnya sikap intoleransi di lingkungan pendidikan.
Buruknya kualitas legislasi DPR RI adalah salah satu faktor di balik banyaknya undang-undang yang digugat ke MK karena
"Antusiasme orang untuk mencari kerja karena angka pengangguran (meningkat)," kata Tadjudin.
Di balik keberhasilan PSG juara Liga Champions musim ini, klub berjuluk Les Parisiens punya skandal memalukan.
Yoni Dores dan Ahmad Dhani sama-sama memperjuangkan hak cipta, tetapi kasus Lesti Kejora lebih mirip Via Vallen di masa lalu.
Israel tak hanya harus mengakui kemerdekaan Palestina secara penuh, tetapi juga harus bertanggung jawab atas genosida yang selama ini dilakukan terhadap rakyat Palestina.