Suara.com - Langkah pemerintah memangkas anggaran Kementerian Kesehatan (Kemenkes) 2025 menimbulkan kekhawatiran. Pemerintah membonsai anggaran sebesar Rp19,5 triliun dari total Rp105,6 triliun.
Sejumlah pengamat khawatir pemangkasan ini akan berdampak pada subsidi BPJS Kesehatan kelas 3 bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU). Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menegaskan bahwa subsidi JKN untuk PBPU sebesar Rp2,5 triliun seharusnya tidak dipotong.
Ia menyoroti kebijakan ini sebagai bagian dari Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja APBN dan APBD.
“Menurut saya itu salah satu yang seharusnya nggak dipotong,” kata Timboel kepada Suara.com, Senin (10/2/2025).
Ketua Komisi IX DPR RI, Felly Estelita Runtuwene, juga menyoroti dampak pemotongan anggaran. Ia khawatir efisiensi sebesar Rp19,5 triliun akan berimbas pada kualitas layanan kesehatan masyarakat.
Dari total pagu anggaran Kemenkes Rp105,6 triliun, hampir Rp50 triliun sudah dialokasikan untuk BPJS Kesehatan. Rinciannya: Rp46 triliun untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Rp2,5 triliun untuk PBPU.
“Jadi hampir Rp50 triliun itu sudah dipakai untuk bayar PBI dan PBPU,” ujar Felly di Jakarta, Kamis (6/2).
Felly meminta Kemenkes bernegosiasi dengan Kementerian Keuangan agar pemangkasan tidak terlalu besar. Idealnya, kata dia, dari Rp19,5 triliun yang dipotong, setidaknya Rp10 triliun bisa dikembalikan.
“Kami dari Komisi IX ingin paling tidak Rp10 triliun dikembalikan,” tegasnya.
Di sisi lain, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan bahwa pemotongan ini tidak akan mempengaruhi layanan kesehatan. Menurutnya, efisiensi hanya menyasar belanja seremonial.
Senada dengan Menkes, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, menyatakan pihaknya telah beradaptasi dengan kebijakan ini. Ia memastikan efisiensi tidak akan mengganggu penyelenggaraan program JKN.
Tarif Naik
Pada tahun 2026 pemerintah berencana menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Menkes Budi Sadikin mengungkap adanya rencana penyesuaian tarif itu usai bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada 5 Februari 2025.
Budi mengklaim rencana kenaikan tarif iuran itu tidak ada kaitannya dengan kebijakan pemerintah mengubah sistem kelas dalam BPJS Kesehatan menjadi Kelas Rawat Inap Standar atau KRIS. Sistem KRIS yang menghapus kelas 1, 2 dan 3 tersebut rencananya akan diimplementasikan secara bertahap mulai Juli 2025
Rencana menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan ini, diklaim Budi sebagai upaya untuk mengatasi defisit anggaran. Di mana berdasar data tahun 2024 BPJS Kesehatan mengalami defisit anggaran mencapai Rp12,83 triliun.
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menilai kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan memang sudah semestinya dilakukan sebagai upaya menekan defisit. Sebab selama ini pendapatan JKN sebesar 95 persen bersumber dari iuran.
“Kalau iuran tidak naik, maka dipastikan defisit tahun ini akan terjadi lagi seperti 2024,” jelas Timboel kepada Suara.com.
Menurut Timboel kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebenarnya juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Di dalam undang-undang itu dijelaskan, kenaikan iuran akan terjadi secara berkala. Sedangkan dalam Peraturan Presiden atau Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan disebutkan kenaikan iuran paling lambat dilakukan selama 2 tahun.
“Itu secara yuridis. Kemudian secara sosiologis, memang banyak pelayanan masyarakat, pembiayaannya semakin meningkat,” imbuh Timboel.
Meski begitu, Timboel menyarankan agar kenaikan tarif iuran tersebut tidak terlalu tinggi. Dia menyebut paling tidak berkisar 10-15 persen. Selain itu kenaikan tarif menurutnya juga harus dilakukan secara bijak. Misalnya terlebih dahulu menyasar peserta PBI.
“Untuk peserta mandiri menurut saya harus hati-hati. Karena kenaikan iuran peserta mandiri di 2020 itu menyebabkan sampai hari ini 50 persen lebih peserta menunggak iuran,” ungkapnya.
Amnesti
Tak hanya sekadar menaikkan tarif, Timboel berharap pemerintah juga memberi pengampunan atau amnesti kepada peserta yang menunggak iuran BPJS Kesehatan karena kesulitan ekonomi. Pemberian amnesti sebesar 100 persen, kata Timboel, dapat diberikan kepada masyarakat miskin.
“Kemudian untuk orang-orang yang masih mampu tapi kalau dicolek dikit berpotensi turun kelas jadi orang miskin, dia bisa dikasih amnesti 60 persen misalnya,” jelas Timboel.
Timboel menilai kebijakan pengampunan ini sesuatu yang perlu dilakukan jika pemerintah ingin menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Terlebih di tengah kondisi daya beli masyarakat yang mengalami penurunan.
“Orang kaya aja kan dapet amnesti pajak,” ujarnya.
Timboel khawatir jika kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan itu dilakukan tanpa menerapkan kebijakan pengampunan tunggakan justru berpotensi menambah daftar peserta yang menunggak. Hal itu lagi-lagi akan berdampak terhadap defisit BPJS Kesehatan.
“Kalau dinaikkan tunggakannya aja belum selesai, gimana mau bayar? Malah meningkatkan orang yang menunggak,” pungkasnya.
DPR dikritik karena rapat RUU TNI di hotel mewah saat efisiensi anggaran. Ketua Komisi I membela diri, membandingkan dengan rapat RUU lain di hotel mewah.
DPR memundurkan pengangkatan CPNS 2025 ke Oktober 2025, PPPK ke Maret 2026, karena keterbatasan keuangan daerah. Prioritas: CPNS pengganti PNS pensiun. PPPK bertahap.
Andar menyebutkan kalau setiap Poltekpar punya Kemenpar telah dilengkapi dengan fasilitas yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan industri.
BPJS Kesehatan terus memantau perkembangan kondisi peserta terdampak PHK.
"Ifan Seventeen punya beberapa kredit terlibat di beberapa film, tapi it's not enough (itu tidak cukup)," ujar Joko.
Hanya indikator inflasi yang bisa dijadikan salah satu penguat. Tapi sebagian besar indikator tidak mengarah kesiapan untuk melakukan redenominasi secara makro, kata Eko.
Prabowo sempat menyatakan akan mengampuni koruptor jika mereka mengembalikan uangnya secara diam-diam.
Film ini mengisahkan Mickey Barnes (Robert Pattinson), seorang pria yang meninggalkan bumi untuk ikut serta dalam misi kolonisasi ke planet es, Nilfheim.
Dalam paparannya, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa hingga akhir Februari 2025, APBN mengalami defisit Rp31,3 triliun atau 0,13 persen dari PDB.
Tapi, benarkah problemnya karena jumlah hakim yang kurang? Atau justru sebarannya yang tidak merata?
Jika melihat dari celengan atau kotak amal, memang ada penurunan sejak tahun lalu," ujar Ustaz Mauliza.