Suara.com - Enam polisi di Polres Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan positif menggunakan narkoba. Kasus ini menjadi sorotan publik karena mereka hanya dijatuhi sanksi ringan. Lantas hukuman apa yang sepatutnya dijatuhkan?
KEENAM anggota Polres Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan itu dinyatakan positif menggunakan narkoba berdasar hasil tes urine. Pemeriksaan urine belakangan rutin dilakukan sebagai tindak lanjut usai tertangkapnya seorang polisi berinisial MI atas kepemilikan sabu seberat 0,5 kilogram oleh Badan Narkotika Nasional Provinsi atau BNNP Kalimantan Selatan pada 29 April 2025.
Kapolres HST, AKBP Jupri JHP Tampubolon mengatakan pemeriksaan urine terhadap anggotanya dilakukan secara mendadak dan melibatkan Satuan Profesi dan Pengamanan atau Propam.
“Minggu kemarin kami menemukan enam personel yang positif narkoba,” kata Jupri.
Semenjak kasus MI, kata Jupri, pihaknya terus memperketat pengawasan. MI merupakan personel Bhabinkamtibmas Polsek Limpasu. Ia ditembak petugas BNNP Kalimantan Selatan karena berupaya melarikan diri saat digerebek.
“Kami tidak mau lagi ada anggota yang sampai jadi pengedar maupun pemakai narkoba,” ujarnya.
Kekinian keenam anggota Polres HST yang terbukti positif narkoba tengah menjalani sanksi sosial dan pembinaan. Selama 14 hari mereka diwajibkan apel pagi dan siang, olahraga tiga kali, serta pembinaan rohani.
“Mereka wajib melaksanakan salat lima waktu di musala dengan pengawasan ketat,” tutur Jupri.
Sementara Kapolda Kalimantan Selatan Irjen Rosyanto Yudha Hermawan mengklaim tak segan menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian tidak dengan hormat atau PTDH jika masih ditemukan adanya anggota yang terlibat kasus narkoba.
“Masih banyak yang ingin jadi polisi,” ujarnya.
Seremonial Belaka
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto mengatakan sanksi yang diberikan kepada enam anggota Polres HST terkesan seremonial dan tak mencerminkan keadilan. Sebab sebagai aparat penegak hukum, mereka sepatutnya dijatuhi hukum yang lebih berat.
“Sanksi itu tak lebih dari seremonial saja. Seolah-olah diberi sanksi, tapi sebenarnya tidak memberi efek jera apapun,” ujar Bambang kepada Suara.com, Selasa (27/5/2025).
Demosi berupa penurunan pangkat atau jabatan adalah hukuman yang dinilai Bambang pantas diberikan. Sekalipun keenam anggota Polres HST itu diduga hanya sebagai pengguna.
Bambang juga mempertanyakan mekanisme pengambilan keputusan terkait sanksi tersebut. Pasalnya ia ragu sanksi itu diambil melalui sidang Komite Kode Etik Polri atau KKEP.
“Kalau tidak melalui sidang KKEP, tapi keputusan kapolres semata, itu abuse of power,” jelas Bambang.
Selain itu, sidang KKEP terhadap enam anggota Polres HST ini juga harus dilakukan di Polda Kalimantan Selatan. Pasalnya jika digelar di Polres HST rawan terjadi konflik kepentingan.
“Meskipun kapolres itu sebagai atasan hukum pelaku pelanggaran, keputusan harus melalui sidang KKEP,” tutur Bambang.
Pandangan serupa disampaikan Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana. Sebagai bagian dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP), ia menilai sanksi ringan yang diberikan kepada enam anggota Polres HST tanpa proses hukum di pengadilan itu sebagai bentuk diskriminasi penegakan hukum.
“Semestinya sebagai penegak hukum kepolisian tidak pandang bulu dalam menegakkan hukum. Justru jika anggotanya yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika seharusnya diberi hukuman pemberatan bukan justru dilindungi,” kata Arif kepada Suara.com.
Sekalipun keenam anggota Polres HST hanya pengguna dan harus direhabilitasi, Arif menyebut itu harus berdasarkan putusan hakim pengadilan. Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 127 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
“Didalam Undang-Undang Narkotika, kalaupun seseorang dianggap harus direhabilitasi, itu harus diputus oleh hakim pengadilan,” jelas Arif.
Telusuri Asal Usul Narkoba
Sementara Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Gina Sabrina mendorong Polda Kalimantan Selatan turut menelusuri asal usul narkoba yang digunakan enam anggota Polres HST.
“Jadi harus jalan double track; etik dan tindak pidana,” tutur Gina kepada Suara.com.
Penelusuran terhadap asal usul narkoba yang digunakan enam anggota Polres HST ini menurut Gina penting dilakukan. Sebab tidak menutup kemungkinan narkoba itu berasal dari barang bukti sebagaimana yang pernah menjerat mantan Kapolda Sumatera Barat Teddy Minahasa.
“Apakah memang konsumsi pembelian secara pribadi? Atau bahkan misalnya dia dapat dari barang bukti? Atau dia terlibat dengan jaringan? Itu kan harus ditelusuri,” jelas Gina.
Menurut Gina tanpa adanya upaya lebih lanjut dari pengungkapan perkara ini, maka wajar jika publik akhirnya menilai ada upaya dari kepolisian untuk melindungi anggotanya.
“Ada semangat esprit de corps, membela sesama corpse. Apakah kepolisian mau menindak anggotanya yang membuat pelanggaran? Karena mereka dalam satu institusi yang sama,” pungkasnya.
Martin menegaskan, sudah seharusnya pemberantasan narkoba terus ditingkatkan di Tanah Air
Laporan terkait Budi Arie Setiadi tersebut telah diterima dan tercatat dengan nomor LP/B/250/V/SPKT/Bareskrim Polri
"Karena menyebutkan satu nama atau satu lembaga tanpa bukti, ya tentu saja pasti ada pihak-pihak yang kemudian tersakiti,"
"Pernikahan anak tak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada kemajuan ekonomi negara untuk mencapai cita-cita Indonesia Emas 2045," ujar Lily.
"Insya Allah akan kami respons segera dengan suatu imbauan dan SE," kata Yassierli.
Saya butuh berkali-kali meyakinkan beliau untuk bersedia maju, sampai saya harus ke Makassar meyakinkan beliau," ujar Rommy.
Mahasiswa UI, YF, diduga diintimidasi usai kritik penempatan TNI di jabatan sipil. KontraS melihat ini sebagai pola represif, mirip Orde Baru.
Korupsi proyek PDNS Kemenkominfo (2020-2024) rugikan negara ratusan miliar. Kejari Jakpus tetapkan 5 tersangka, termasuk 'orang dalam'.
Korpri usul perpanjangan usia pensiun ASN, dikhawatirkan hambat regenerasi dan bebankan anggaran.
Dugaan pemborosan anggaran KPU terkait penyewaan apartemen dan ruang kantor pimpinan terungkap dalam sebuah dokumen, padahal sudah ada fasilitas dinas.