Suara.com - HUNIAN vertikal dinilai menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan akses rumah layak bagi warga Jakarta. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Jakarta Tahun 2025-2029, hunian vertikal masih menjadi andalan untuk meningkatkan rumah layak bagi masyarakat.
"Peningkatan akses hunian layak diarahkan pada hunian vertikal yang disertai konsolidasi tanah vertikal dan pelaksanaan reforma agraria perkotaan," kata Gubernur Jakarta Pramono Anung, Selasa 27 Mei 2025, dikutip Suara.com dari Antara.
Pramono berjanji akan memperbaiki sistem tata kelola akses hunian vertikal bagi warga Jakarta, baik berupa sewa atau kepemilikan.
Pada April 2025 lalu, pemerintah Jakarta menyebut 86,9 persen rumah susun sederhana sewa (rusunawa) telah dihuni bersamaan dengan rampungnya pembangunan hunian layak pada tahun 2024. Total terdapat 33.830 unit yang tersebar di lima kota Jakarta.
Rusunawa termasuk hunian vertikal yang dibangun guna memenuhi kebutuhan dasar masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) terhadap hunian layak dan terjangkau.
Meski unit rusunawa sudah hampir penuh dihuni, tapi bagi sebagian masyarakat Jakarta hunian vertikal masih belum sepopuler rumah tapak. Masih banyak ditemui warga yang enggan pindah ke hunian vertikal seperti rusunawa atau rumah susun.
Misalnya, warga di Jalan Kebon Pala II, Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur. Kawasan tersebut merupakan langganan banjir, bahkan tergenang sampai empat kali dalam setahun. Pemerintah Jakarta sudah beberapa kali membujuk untuk direlokasi ke rumah susun, tapi mereka menolak.
Mereka memilih bertahan karena berbagai alasan, di antaranya karena sudah nyaman dan telah menetap di kawasan itu sejak lahir. Seperti yang diungkap Nuryadi (62), warga yang diwawancarai saat terjadi banjir di kawasan itu pada Maret lalu.
"Di sini banyak yang dari nenek moyang turun temurun, jadi sudah nyaman," kata Nuryadi dikutip dari Antara.
Kekhawatiran sewa rusun yang hanya digratiskan di awal, juga menjadi pertimbangan mereka enggan pindah.
Selain itu ada juga pertimbangan ekonomi. Sejumlah warga khawatir kehilangan mata pencahariannya ketika harus pindah ke rumah susun. Sebab tak sedikit di antara mereka yang menjadikan rumahnya sekaligus tempat usaha.
Mengutip dari laman Perkim.id-organisasi nirlaba yang fokus pada riset perumahan dan pemukiman, mengungkap sejumlah tantangan mengapa hunian vertikal masih belum populer. Salah satunya faktor budaya masyarakat yang sudah terbiasa dengan rumah tapak.
Selain itu, kepemilikan rumah tapak juga masih dianggap sebagai simbol status dan keamanan. Tinggal di hunian vertikal dikhawatirkan pula mengikis tradisi komunal seperti bertetangga dan gotong royong.
Kemudian harga dan cicilan hunian vertikal seperti apartemen yang tidak terjangkau seluruh masyarakat. Hal ini karena kebanyakan apartemen dikelola oleh pihak swasta. Belum lagi soal kepemilikan yang hanya bersifat hak guna bangunan yang dianggap tidak sebanding dengan dana yang dikeluarkan.
Belum populernya hunian vertikal juga dibenarkan Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Fahri Hamzah.
"Konsep rumah vertikal itu belum terlalu populer," katanya pada April lalu.
Dia mencontohkan pergerakan orang keluar masuk Jakarta. Banyak warga yang kerja di Jakarta tapi tinggal di kawasan penyangga seperti Depok, Bekasi, Bogor, dan Tangerang. Menurutnya, orang memilih tinggal di luar Jakarta karena harga tanah yang semakin mahal.
Sementara itu, menurut data Cushman & Wakefield Indonesia --perusahaan layanan real estat komersial global, harga rata-rata tanah di Jakarta mencapai Rp15,6 juta meter persegi.
Mahalnya harga tanah itu dibarengi dengan hunian vertikal yang belum populer. Alhasil, warga lebih memilih tinggal di luar Jakarta, menghuni rumah tapak yang harganya lebih terjangkau.
Akses Hunian Layak
Badasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2023 hanya 56,57 persen rumah tangga di Jakarta yang memiliki rumah sendiri. Sementara sisanya tinggal di rumah kontrakan, kos-kosan, hingga rumah sewa yang tak layak huni. Angka itu menempatkan Jakarta sebagai provinsi dengan kepemilikan rumah terendah nasional.
Pengamat tata kota Universitas Trisakti Yayat Supriyatna mengatakan, hunian vertikal seperti rumah susun, rusunawa hingga apartemen menjadi satu-satunya solusi bagi Jakarta untuk meningkat akses hunian layak bagi warga.
"Rumah susun itu adalah cara yang paling prinsip untuk merubah Jakarta menjadi lebih tertata terkait dengan penduduk dan pemukiman," kata Yayat saat dihubungi Suara.com pada Rabu, 28 Mei 2025.
Belum populernya hunian vertikal turut diamini Yayat. Karena itu, dia mendorong pemerintah Jakarta merancang pendekatan lewat intensif kepada warga agar mau pindah ke hunian vertikal.
Intensif itu bisa dengan berbagai bentuk seperti subsidi sewa atau cicilan, bantuan sosial, hingga menggratiskan transportasi umum. Pasangan muda bisa menjadi salah satu kelompok yang lebih diutamakan.
Di sisi lain, pemerintah Jakarta juga harus memastikan keberlanjutan kehidupan warga ketika dipindah ke rumah susun. Sebab, merelokasi warga bukan hanya soal memindahkan manusia, tapi juga berikut dengan kehidupannya. Maka dari itu pemerintah tak bisa serta merta lepas tangan.
Warga yang dipindah harus diberi berbagai program untuk meningkatkan perekonomiannya. Langkah itu bisa ditempuh dengan memberikan pelatihan kewirausahaan, serta memberikan intensif modal.
Selain itu, merelokasi warga, khususnya dari kawasan rawan ke hunian vertikal juga dapat membantu mengurangi berbagai persoalan, seperti kebakaran dan dampak banjir. Kemudian juga mengurangi persoalan sosial seperti tawuran. Sebab dengan berada di satu kompleks hunian, warga lebih terpantau dan terawasi.
“Jadi rumah susun atau rusunawa itu bisa membangun budaya baru di Jakarta. Budaya kehidupan yang lebih tertata,” tutur Yayat.
Gubernur DKI Jakarta menyatakan, bakal menerapkan sistem jalan berbayar elektronik atau ERP di sejumlah ruas strategis Ibu Kota.
Presiden Prancis Emmanuel Macron berkunjung ke Indonesia pada 27-29 Mei 2025 untuk bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto dan akan mengunjungi Candi Borobudur.
Fasilitas pengelolaan sampah ini dapat memproses hingga 2.000 kilogram sampah plastik setiap bulannya.
Haruskan nonton web series-nya dulu sebelum nonton film Sore: Istri dari Masa Depan? Jawabannya ada di sini.
Rasanya seperti berwisata ke taman safari dengan koleksi dinosaurus kerennya. Seru, tapi mudah terlupakan.
"Dalam catatan sejarah itu tercantum Blang Padang (milik Masjid Raya), kata Cek Midi.
M3GAN 2.0 nggak lagi serem seperti film pertamanya.
"Tapi saya yakin tidak ada lah penegakan hukum yang akan menjerat penjual pecel lele. Itu tidak apple to apple," ujar Zaenur.
Setiap tindak penyiksaan harus diberikan hukuman yang setimpal dan memberi jaminan ganti rugi terhadap korban serta kompensasi yang adil, jelas Anis.
Kerja sama tersebut menghilangkan daya kritis ormas keagamaan terhadap kebijakan atau keputusan pemerintah yang tidak pro rakyat.