Bom Waktu di Balik Kebijakan Populis Prabowo-Gibran: Siap-Siap Kelas Menengah Paling Terdampak
Home > Detail

Bom Waktu di Balik Kebijakan Populis Prabowo-Gibran: Siap-Siap Kelas Menengah Paling Terdampak

Bimo Aria Fundrika | Muhammad Yasir

Jum'at, 24 Januari 2025 | 19:00 WIB

Suara.com - Kebijakan populis di bidang kesejahteraan sosial ditengarai menjadi kunci di balik tingginya kepuasan publik terhadap 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan, tingkat kepuasan publik mencapai 80,9 persen.

Survei yang dilakukan pada 4-10 Januari 2025 ini mengungkapkan bahwa masyarakat kelas ekonomi bawah mencatat kepuasan tertinggi, yakni 84,7 persen. Sebaliknya, kepuasan dari masyarakat kelas atas lebih rendah, hanya 67,9 persen. Perbedaan ini mencerminkan dampak nyata kebijakan populis pada kelompok yang lebih rentan.

“Bersama bidang politik dan keamanan, kepuasan bidang kesejahteraan sosial ini menjadi dua bidang paling besar penopang apresiasi pemerintah secara keseluruhan,” ungkap peneliti Litbang Kompas Budiawan Sidik Arifianto.

Hasil survei Litbang Kompas mengungkap, sebagian besar masyarakat karena program unggulan pemerintahan Prabowo-Gibran telah dijalankan. Di antaranya; program Makan Bergizi Gratis atau MBG dan pemeriksaan kesehatan gratis.

Pemberian Makan Bergizi Gratis kepada para siswa sekolah dasar di Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (21/1/2025). (ANTARA/Rubby Jovan)
Pemberian Makan Bergizi Gratis kepada para siswa sekolah dasar di Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (21/1/2025). (ANTARA/Rubby Jovan)

Guru besar dari Universitas Andalas (Unand) Asrinaldi menilai, terlepas dari adanya beragam persoalan terkait pelaksanaan program MBG, pemenuhan janji politik Prabowo-Gibran di awal pemerintahan memang menjadi faktor utama yang mendongkrak tingginya tingkat kepuasan publik. 

“Ini bisa saja terjadi menurut saya memang karena beberapa janji Prabowo-Gibran ini sudah dilaksanakan. Misalnya MBG, terlepas dari pelaksanaannya,” kata Asrinaldi kepada Suara.com, Jumat (24/1/2025).

Namun demikian, Asrinaldi menilai perbaikan dan peningkatan kualitas daripada program tersebut harus tetap dilakukan. Bagaimana tingkat kepuasan publik yang sesungguhnya, kata dia, akan terlihat nanti.

“Setelah setahun masyarakat pasti akan melihat dan menilai bagaimana kualitasnya dan di situ lah akan nampak,” ujarnya. 

Melacak Gaya Populisme Prabowo

Politik populis Prabowo bisa dilacak sejak Pemilu 2014. Kala itu, ia memposisikan dirinya sebagai sosokultra-nasionalis. Hal ini berlanjut pada Pemilu 2019 dan kampanye Pilpres 2024.

Dalam jurnal "Mencermati Populisme Prabowo Sebagai Bentuk Gaya Diskursif Saat Kampanye Politik Pada Pemilihan Presiden 2019," Prabowo selalu mengangkat tema kerakyatan dalam kampanye dengan retorika yang menggugah.

Tujuannya adalah untuk menciptakan citra bahwa dia berpihak pada rakyat, terutama petani yang dianggap terabaikan oleh sistem dan intervensi asing.

Capres nomor urut 2, Prabowo Subianto saat pamer joget gemoy ke para pendukungnya di Blitar, Jatim, Minggu (17/12/2023). (Suara.com/Novian).
Capres nomor urut 2, Prabowo Subianto saat pamer joget gemoy ke para pendukungnya di Blitar, Jatim, Minggu (17/12/2023). (Suara.com/Novian).

Bachtiar Nur Budiman, dalam artikel "Populisme: Konsekuensi dari Stagnasi Politik dan Demokrasi di Indonesia," menyatakan bahwa populisme di Indonesia seringkali mengandalkan pemimpin karismatik yang dapat memanfaatkan otoritasnya untuk meraih keuntungan, meskipun mengatasnamakan rakyat.

Meski menawarkan perubahan, populisme berpotensi membahayakan demokrasi dengan mengurangi ruang gerak kompleksitas politik, ekonomi, agama, dan budaya, yang bisa menyebabkan demokrasi kehilangan identitasnya.

Ancaman Bom Waktu

Di samping itu, ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengungkap di balik itu terdapat ancaman besar yang berpotensi mengganggu stabilitas fiskal negara. 

“Program atau kebijakan populis itu sebenarnya menyimpan bom waktu, karena ada konsekuensi fiskal dari program-program tersebut,” ungkap Achmad kepada Suara.com, Jumat (24/1/2025).

Program MBG merupakan salah satu janji politik Prabowo-Gibran. Program tersebut telah direalisasikan secara bertahap di 26 provinsi sejak 6 Januari 2025. Anggaran yang telah disiapkan pemerintah di tahun ini mencapai Rp71 triliun.

Kepala Badan Gizi Nasional atau BGN, Dadan Hindayana baru-baru ini menyebut, perlu adanya tambahan anggaran sebesar Rp100 triliun untuk program MBG. Sebab alokasi anggaran sebesar Rp71 triliun itu hanya cukup untuk kebutuhan 15-17,5 juta penerima manfaat. Sementara Prabowo menginginkan target 82,9 juta penerima program MBG tercapai di tahun ini.

Achmad mengatakan, beban APBN yang meningkat tajam untuk mendanai program-program populis dikhawatirkan akan semakin memperlebar defisit anggaran. Apalagi di tahun 2025, pemerintah diproyeksikan akan menambah utang baru sebesar Rp775,86 triliun. Nilai utang tersebut meningkat signifikan dibandingkan tahun 2024 yang hanya sebesar Rp553,1 triliun. 

Made with Flourish 

“Banyak pihak mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam mengambil utang baru, mengingat sebagian besar program ini didanai oleh utang, yang jika tidak dikelola dengan baik dapat menjadi ancaman serius bagi stabilitas ekonomi nasional,” ungkapnya.

Kelas Menengah Paling Tedampak 

Kelas menengah adalah kelompok yang paling rentan terdampak oleh kebijakan populis. Seperti kenaikan PPN dan beban pajak lainnya, menurut Achmad memang dirancang untuk membiayai program-program populis ambisius Prabowo-Gibran. 

Dalam berjudul PPN 12%: Pukulan Telak Bagi Dompet Gen Z dan Masyarakat Menengah ke Bawah, dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Kelompok kelas menengah mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp354.293 per bulan atau Rp4.251.522 per tahun. Dampaknya, daya beli berkurang, terutama untuk barang non-esensial seperti hiburan, perjalanan, dan barang mewah. 

Jika merujuk hasil survei Litbang Kompas, tingkat kepuasan masyarakat kelas menengah —khususnya menengah atas— terhadap kinerja 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran memang cenderung lebih rendah. Angkanya hanya mencapai 75,3 persen.

Ilustrasi pekerja 'kerah putih' atau level menengah di kawasan perkantoran SCBD Jakarta Selatan. (Suara.com/Ema)
Ilustrasi pekerja 'kerah putih' atau level menengah di kawasan perkantoran SCBD Jakarta Selatan. (Suara.com/Ema)

“Program populis ini memang dimaksudkan untuk membantu kalangan masyarakat bawah. Tetapi memberatkan kelas menengah, dan ternyata kelas menengah menangkap itu, terlihat dari surveinya,” jelas Achmad. 

Achmad menyebut kelas menengah merasakan langsung bagaimana dampak daripada kenaikan pajak. Terlebih di tengah kondisi mereka daya beli yang menurun akibat meningkatnya harga barang dan jasa. 

“Sementara manfaat langsung dari kebijakan (populis) ini cenderung lebih dirasakan oleh kelompok berpenghasilan rendah, menciptakan ketimpangan yang berpotensi memicu ketidakpuasan sosial,” pungkasnya.


Terkait

Wacana Amnesti untuk Tahan Politik: Solusi atau Ilusi Penyelesaian Konflik di Papua?
Jum'at, 24 Januari 2025 | 13:42 WIB

Wacana Amnesti untuk Tahan Politik: Solusi atau Ilusi Penyelesaian Konflik di Papua?

Ini bukan solusi akhir untuk mengakhiri kekerasan dan konflik bersenjata di Papua.

Membaca Arah Wacana Amnesti Untuk Koruptor: Karpet Merah Bagi Perampas Uang Rakyat?
Jum'at, 20 Desember 2024 | 13:23 WIB

Membaca Arah Wacana Amnesti Untuk Koruptor: Karpet Merah Bagi Perampas Uang Rakyat?

Dalam undang-undang, korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa karena dampaknya yang langsung merugikan masyarakat.

Terbaru
Skandal PSG Juara Liga Champions: Kelakuan Nasser Al-Khelaifi hingga Potong Jari
polemik

Skandal PSG Juara Liga Champions: Kelakuan Nasser Al-Khelaifi hingga Potong Jari

Minggu, 01 Juni 2025 | 11:12 WIB

Di balik keberhasilan PSG juara Liga Champions musim ini, klub berjuluk Les Parisiens punya skandal memalukan.

Beda Gugatan Yoni Dores dan Ahmad Dhani, Kasus Via Vallen Bisa Jadi Pelajaran? nonfiksi

Beda Gugatan Yoni Dores dan Ahmad Dhani, Kasus Via Vallen Bisa Jadi Pelajaran?

Sabtu, 31 Mei 2025 | 11:43 WIB

Yoni Dores dan Ahmad Dhani sama-sama memperjuangkan hak cipta, tetapi kasus Lesti Kejora lebih mirip Via Vallen di masa lalu.

Prabowo Buka Pintu untuk Israel Jika Akui Kemerdekaan Palestina: Diplomasi Realistis? polemik

Prabowo Buka Pintu untuk Israel Jika Akui Kemerdekaan Palestina: Diplomasi Realistis?

Jum'at, 30 Mei 2025 | 18:55 WIB

Israel tak hanya harus mengakui kemerdekaan Palestina secara penuh, tetapi juga harus bertanggung jawab atas genosida yang selama ini dilakukan terhadap rakyat Palestina.

Reformasi Anggaran: Tantangan di Balik Putusan Sekolah Gratis polemik

Reformasi Anggaran: Tantangan di Balik Putusan Sekolah Gratis

Jum'at, 30 Mei 2025 | 16:20 WIB

Presiden adalah satu-satunya otoritas yang dapat melakukan reformasi menyeluruh dalam tata kelola anggaran pendidikan, kata Ubaid.

Bongkar Korupsi Dana Zakat di Baznas Jabar, Whistleblower Malah Dikriminalisasi polemik

Bongkar Korupsi Dana Zakat di Baznas Jabar, Whistleblower Malah Dikriminalisasi

Rabu, 28 Mei 2025 | 20:51 WIB

"Kriminalisasi terhadap pelapor dugaan korupsi di Baznas menunjukkan kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Wana.

Kebijakan Jam Malam Pelajar di Jabar: Solusi atau Sekadar Simbolik? polemik

Kebijakan Jam Malam Pelajar di Jabar: Solusi atau Sekadar Simbolik?

Rabu, 28 Mei 2025 | 18:23 WIB

"Kebijakan jam malam bagi pelajar perlu manajemen pengawasan yang baik. Tanpa itu, kebijakan tersebut hanya akan terdengar baik di atas kertas," ujar Rakhmat.

Hunian Vertikal: Mimpi atau Bumerang Bagi Warga Jakarta? polemik

Hunian Vertikal: Mimpi atau Bumerang Bagi Warga Jakarta?

Rabu, 28 Mei 2025 | 15:35 WIB

"Rumah susun itu adalah cara yang paling prinsip untuk merubah Jakarta menjadi lebih tertata terkait dengan penduduk dan pemukiman," kata Yayat.