Wacana Amnesti untuk Tahan Politik: Solusi atau Ilusi Penyelesaian Konflik di Papua?
Home > Detail

Wacana Amnesti untuk Tahan Politik: Solusi atau Ilusi Penyelesaian Konflik di Papua?

Bimo Aria Fundrika | Muhammad Yasir

Jum'at, 24 Januari 2025 | 13:42 WIB

Suara.com -  Wacana pemerintah memberikan amnesti dan abolisi kepada tahanan politik pro-kemerdekaan Papua disambut baik. Namun, kebijakan ini perlu diikuti langkah lebih komprehensif untuk menyelesaikan konflik di Papua.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai amnesti dan abolisi hanya sebagai langkah awal. Ini bukan solusi akhir untuk mengakhiri kekerasan dan konflik bersenjata di Papua.

“Pengakuan dan penghormatan negara terhadap hak-hak masyarakat adat, pembangunan yang adil, dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Papua sangat penting,” tegas Usman dalam wawancara dengan Suara.com, Kamis (23/1/2025).

Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid saat berada di Kantor KPU, Jakarta pada Rabu (6/12/2023). [Suara.com/Dea]
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid saat berada di Kantor KPU, Jakarta pada Rabu (6/12/2023). [Suara.com/Dea]

Wacana pemberian amnesti dan abolisi kepada tahanan politik pro-kemerdekaan Papua disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, saat bertemu delegasi Parlemen Inggris pada Selasa, 21 Januari 2025. Pemberian amnesti dan abolisi ini diklaim sebagai langkah pemerintah untuk menciptakan perdamaian dan mengakhiri konflik panjang di Papua.

“Presiden Prabowo sudah setuju memberikan amnesti dan abolisi kepada mereka yang terlibat dalam konflik di Papua, dengan tujuan menyelesaikan masalah di sana secara damai, mengutamakan hukum dan HAM,” ujar Yusril.

Namun, Yusril menegaskan, amnesti dan abolisi tidak akan diberikan kepada kombatan bersenjata. Mereka yang terlibat dalam kekerasan terhadap polisi, TNI, atau warga sipil, akan tetap diadili melalui pengadilan umum.

Menurut Usman Hamid, dalam konteks Papua, amnesti dan abolisi sebaiknya diberikan untuk pelanggaran hukum yang tidak tergolong pelanggaran berat HAM. Pendapat ini sejalan dengan standar HAM internasional yang mengharuskan pelaku pelanggaran berat tetap dimintai pertanggungjawaban di pengadilan HAM.

“Ini penting untuk mencegah terjadinya impunitas,” jelasnya.

Berapa Jumlah Tapol di Indonesia?

Jumlah masyarakat sipil yang dituduh makar, terutama tahanan politik (tapol), terus meningkat, bahkan tajam, di era Otonomi Khusus (Otsus). TAPOL (UK), organisasi HAM yang mengkampanyekan hak-hak dan pembebasan tahanan politik, melaporkan bahwa pada Mei 2014, tercatat 76 tahanan dan narapidana politik di Papua. Angka ini melonjak pasca Gerakan West Papua Melawan Rasisme 2019.

Sejak awal 2019 hingga September 2020, tercatat 245 tahanan politik baru, dengan 109 di antaranya didakwa makar. Namun, hanya 6 orang yang divonis bersalah sepanjang 2020. Menurut data Papuans Behind Bars, dari 132 orang yang ditahan dan diadili pada 2021-2023 karena latar belakang politik, 50 di antaranya didakwa makar, dan 48 sudah divonis bersalah.

Berdasarkan data Papuans Behind Bar, pada 2023 tercatat sekitar 530 orang Papua ditangkap terkait aktivitas politik dan separatisme, dengan banyak yang didakwa berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 atas tuduhan kepemilikan senjata api dan bahan peledak.

Dalam dokumen berjudul, ' Makar dan Tahanan Politik di Tanah Papua' yang dirilis oleh Tapol, yang ditulis Aliansi Demokrasi untuk Papua dan TAPOL, upaya membangun dan mengelola demokrasi di Papua sebenarnya sudah dimulai oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tokoh demokrasi yang membuka ruang bagi OAP.

Ia mengubah nama Irian menjadi Papua dan memberikan kebebasan berekspresi, termasuk mengizinkan pengibaran bendera Bintang Kejora. Namun, kebijakan ini tidak dikelola dengan baik, terutama setelah insiden penurunan bendera pada 1 Desember 1999, yang memicu aksi kekerasan di beberapa tempat di Papua.

Tuntutan demokrasi pasca-reformasi 1998 terus bergulir, dengan berbagai ekspresi di seluruh Indonesia, termasuk Papua. Pada 2001, Papua diberikan Otonomi Khusus (Otsus) sebagai solusi untuk masalah-masalah di sana.

Dalam pertimbangan UU Otsus, poin f menyebutkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Papua belum memenuhi rasa keadilan, kesejahteraan, penegakan hukum, dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, khususnya untuk masyarakat Papua.

Namun, setelah 23 tahun, Otsus belum menunjukkan adanya penghormatan terhadap HAM, terutama dalam menjamin hak berekspresi masyarakat sipil OAP. Berbagai permasalahan justru muncul, sejalan dengan kegagalan dalam mengimplementasikan komitmen penegakan HAM dan demokrasi di Papua.

Kebijakan Jangka Pendek

Upaya pemerintah untuk menyelesaikan konflik di Papua membutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif. Pemberian amnesti dan abolisi tanpa menyelesaikan akar masalah dianggap sebagai kebijakan jangka pendek, tanpa solusi nyata.

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menekankan pentingnya pemahaman pemerintah tentang akar persoalan di Papua. Ia sependapat dengan Usman Hamid, yang menyebutkan bahwa pengakuan dan penghormatan terhadap hak masyarakat adat, pembangunan berkeadilan, dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM adalah hal mutlak yang perlu diselesaikan untuk mengakhiri konflik.

"Harus diselesaikan secara komprehensif. Jangan biarkan masyarakat Papua tersakiti lagi," tegas Isnur kepada Suara.com.

Isnur juga menyarankan agar pemerintah menggunakan pendekatan dialogis dalam menyelesaikan konflik. "Dialog sejati harus dibuka. Pendekatan Gus Dur dalam menangani Papua bisa menjadi contoh," tambahnya.

Senada dengan Isnur, eks tahanan politik Papua, Ambrosius Mulait, mengusulkan agar pemerintah memulai dialog dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). "Semua gerakan Papua Merdeka tergabung dalam ULMWP," ujar Ambrosius.

Eks Tahanan politik Papua, Ambrosius Mulait. (Suara.com/Bagaskara)
Eks Tahanan politik Papua, Ambrosius Mulait. (Suara.com/Bagaskara)

Menurut Ambrosius, pemberian amnesti dan abolisi tidak akan menyelesaikan konflik di Papua tanpa adanya dialog dengan kelompok pro-kemerdekaan.

"Ini bukan akar masalah. Mereka ditangkap karena tuntutan kemerdekaan Papua," jelasnya.


Terkait

Jebakan Wakil Rakyat Menggiring Kampus ke Lubang Tambang
Jum'at, 24 Januari 2025 | 10:01 WIB

Jebakan Wakil Rakyat Menggiring Kampus ke Lubang Tambang

Ia beralasan bahwa biaya kuliah setiap mahasiswa di perguruan tinggi negeri (PTN) belum sepenuhnya ditanggung negara.

Berkinerja Buruk Hingga Jadi Beban Kabinet, Ini Daftar Menteri Layak Reshuffle
Kamis, 23 Januari 2025 | 20:05 WIB

Berkinerja Buruk Hingga Jadi Beban Kabinet, Ini Daftar Menteri Layak Reshuffle

Dalam studi Celios bertajuk 'Rapor 100 Hari Prabowo-Gibran' menghasilkan sejumlah rekomendasi, salah satunya terkait menteri yang dinilai berkinerja buruk dan layak diganti.

Potensi Money Laundering di Balik Wacana Kampus Kelola Konsesi Tambang
Kamis, 23 Januari 2025 | 18:48 WIB

Potensi Money Laundering di Balik Wacana Kampus Kelola Konsesi Tambang

Konsesi tambang kepada perguruan tinggi dalam bentuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) berpotensi disalahgunakan oleh perusahaan untuk menghindari pajak.

Terbaru
Review Film No Other Choice yang Dibayang-bayangi Kemenangan Parasite di Oscar, Lebih Lucu?
nonfiksi

Review Film No Other Choice yang Dibayang-bayangi Kemenangan Parasite di Oscar, Lebih Lucu?

Sabtu, 18 Oktober 2025 | 09:05 WIB

No Other Choice memiliki kesamaan cerita dengan Parasite, serta sama-sama dinominasikan untuk Oscar.

Kuku Kecil Mimpi Besar: Cerita Vio, Mahasiswa yang Menyulap Hobi Jadi Harapan nonfiksi

Kuku Kecil Mimpi Besar: Cerita Vio, Mahasiswa yang Menyulap Hobi Jadi Harapan

Jum'at, 17 Oktober 2025 | 13:12 WIB

Di tengah padatnya kuliah, mahasiswa Jogja bernama Vio menyulap hobi nail art menjadi bisnis. Bagaimana ia mengukir kesuksesan dengan kuku, kreativitas, dan tekad baja?

Review Film Rangga & Cinta: Bikin Nostalgia Masa Remaja, Tapi Agak Nanggung nonfiksi

Review Film Rangga & Cinta: Bikin Nostalgia Masa Remaja, Tapi Agak Nanggung

Sabtu, 11 Oktober 2025 | 09:00 WIB

Rangga & Cinta tak bisa menghindar untuk dibandingkan dengan film pendahulunya, Ada Apa Dengan Cinta? alias AADC.

Review Tukar Takdir, Bukan Film yang Bikin Penonton Trauma Naik Pesawat! nonfiksi

Review Tukar Takdir, Bukan Film yang Bikin Penonton Trauma Naik Pesawat!

Sabtu, 04 Oktober 2025 | 12:33 WIB

Mouly Surya dan Marsha Timothy kembali menunjukkan kerja sama yang memukau di film Tukar Takdir.

Arsitektur Sunyi 'Kremlin', Ruang Siksa Rahasia Orba yang Sengaja Dilupakan nonfiksi

Arsitektur Sunyi 'Kremlin', Ruang Siksa Rahasia Orba yang Sengaja Dilupakan

Selasa, 30 September 2025 | 19:26 WIB

Ada alamat di Jakarta yang tak tercatat di peta teror, namun denyutnya adalah neraka. Menelusuri 'Kremlin', ruang-ruang interogasi Orde Baru, dan persahabatan aneh di Cipinang

Menyusuri Jejak Ingatan yang Memudar, Penjara Tapol PKI di Jakarta nonfiksi

Menyusuri Jejak Ingatan yang Memudar, Penjara Tapol PKI di Jakarta

Selasa, 30 September 2025 | 15:38 WIB

Ingatan kolektif masyarakat tentang tapol PKI dari balik jeruji penjara Orde Baru telah memudar, seiring perkembangan zaman. Jurnalis Suara.com mencoba menjalinnya kembali.

Review Film Kang Solah: Spin-Off Tanpa Beban, Tawa Datang Tanpa Diundang nonfiksi

Review Film Kang Solah: Spin-Off Tanpa Beban, Tawa Datang Tanpa Diundang

Sabtu, 27 September 2025 | 08:00 WIB

Akankah Kang Solah from Kang Mak x Nenek Gayung menyaingi kesuksesan Kang Mak tahun lalu?

×
Zoomed