Suara.com - WACANA pemberian konsesi tambang kepada perguruan tinggi menjadi sorotan. Implementasinya dinilai berpotensi jauh dari tujuan untuk pemerataan pengelolaan sumber daya alam. Pasalnya pengelolan tambang membutuhkan modal dan tata kelola yang tidak mudah. Dikhawatirkan konsesi tambang hanya dinikmati oleh perguruan tinggi ternama.
Pemberian konsesi tambang kepada perguruan tinggi termuat dalam revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara pada Pasal 51 A. Kekinian aturan ini sudah disepakati Badan Legislasi DPR RI, dan hanya menunggu waktu untuk disahkan.
Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia atau Aptisi pihak yang mengusulkan wacana ini. Ketua APTISI Budi Djatmiko menyebut usulannya berangkat dari keresahan mereka soal program studi di perguruan tinggi yang sangat monoton. Keresahan itu pernah mereka sampaikan kepada Presiden ke-7 Joko Widodo atau Jokowi pada 2016.
Menurut dia, Indonesia sebagai negara dengan sumber daya alam yang melimpah, semestinya perguruan tinggi melihatnya sebagai peluang untuk menghadirkan program studi yang kontekstual.
"Program studi nikel, program studi emas, batu bara. Jadi konsen ke situ," kata Budi kepada Suara.com Selasa (23/1/2025).
Selanjutnya setelah kemenangan Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih pada 2024, Budi kembali menyampaikan wacana tersebut saat diundang bersama sejumlah guru besar dari berbagai universitas. Dia pun mempresentasikan gagasannya terkait pentingnya perguruan tinggi dilibatkan dalam pengelolaan tambang.
Dia berpandangan, perguruan tinggi merupakan organisasi nirlaba yang basisnya menghasilkan riset dan pengembangan sumber daya manusia. Dengan dilibatkan perguruan tinggi akan membantu pengembangan hasil pertambangan seperti nikel dan batubara.
"Ujung-ujungnya kita bisa membuka industri-industri hilir. Misalnya, kita bisa membuka perusahaan baterai, bisa membuka perusahaan mobil dan sebagainya," ujar Budi.
Skemanya kerja samanya dalam bentuk kemitraan. Perguruan tinggi dapat memiliki saham di perusahaan pertambangan. Keberadaan perguruan tinggi selain bertujuan mengembangkan industri pertambangan lewat risetnya, sekaligus sebagai pengawas.
Menurutnya, pengawasan terhadap industri pertambangan di Indonesia kekinian tidak jelas. Sehingga penting bagi perguruan tinggi sebagai pihak netral untuk melakukan pengawasan. Dengan begitu sumber daya alam dikuasai oleh rakyat, bukan lagi pihak asing atau perusahaan tertentu.
Kemitraan itu dapat dilakukan dengan perguruan tinggi membuka program studi langsung di wilayah yang memiliki industri pertambangan. Konsepnya pendidikan berbasis pedesaan untuk perindustrian.
Dia mencontohkan, sebuah perguruan tinggi membuka program studi pertambangan di PT Freeport Indonesia yang berada di Papua. Dengan demikian masyarakat setempat tidak perlu ke Jakarta untuk berkuliah. Mereka tetap di kampung halamannya dan mengembangkan desanya lewat industri pertambangan.
Budi mengklaim, lewat konsep pendidikan berbasis pedesaan untuk perindustrian dapat mencegah konflik baru antara masyarakat setempat dengan perguruan tinggi yang memiliki konsesi tambang. Sekaligus akan menekan kerusakan lingkungan akibat pertambangan.
"Bagaimana mungkin dia mau merusak kampungnya," kata dia.
Koordinator Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA) Satria Unggul mengkritisi wacana tersebut. Dia juga mempertanyakan apakah usulan ini benar-benar merepresentasikan seluruh kampus swasta di Indonesia. Pasalnya, untuk mengelola pertambangan, perguruan tinggi setidaknya harus memiliki modal dan kemampuan tata kelola yang baik. Kemampuan itu tentu berbeda-beda di setiap universitas, khususnya di perguruan tinggi swasta yang di antaranya 'hidup segan, mati tak mau.'
"Ini masih berbicara tentang business core dari kampus ya, apalagi tambang nanti," ujar Satria kepada Suara.com.
Tak kalah mengkhawatirkan, peluang ini bisa berpotensi disalah gunakan atau fraud. Pasalnya konsesi yang diberikan berbentuk Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK). Kata 'khusus' dalam hal ini bisa disalahgunakan oleh perusahaan untuk menggunakan bendera kampus agar menghindari pajak yang seharusnya dibayarkan.
"Itu kan bisa jadi money laundry, potensi-potensi korupsi itu akan sangat mungkin terjadi," terangnya.
Di sisi lain, Satria mempertanyakan komitmen perguruan tinggi terkait dampak lingkungan yang akan terjadi. Hal itu harus diperhitungkan, bagaimana environmental cost maupun social cost yang diakibatkan industri pertambangan.
Oleh karena itu, Satria menilai pemberian konsesi tambang jauh dari amanat UUD 1945. Pasal 33 menyatakan pemerataan pengelolaan sumber daya alam untuk ekonomi berkeadilan.
Tanggapan Perguruan Tinggi Swasta
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Prof. Fathul Wahid dengan tegas menolak pemberian konsesi tambang bagi perguruan tinggi. Dia menegaskan pengelolaan bisnis pertambangan bukan ranah perguruan tinggi.
"Kalau saya ditanya, UII ditanya, jawabannya termasuk yang tidak setuju, karena kampus wilayahnya tidak di situ," ujar Fathul beberapa waktu lalu.
Dia mengingatkan kampus harus fokus pada Tridharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Dia khawatir keterlibatan pengelolaan tambang dapat mengikis sensitivitas perguruan tinggi terhadap dampak lingkungan yang terjadi.
"Logika bisnisnya menjadi dominan karena uang itu biasanya agak menghipnotis. Kalau itu sampai terjadi akan berbahaya," katanya.
Rektor Universitas Al Azhar Indonesia Asep Saefuddin, memberikan pandangan yang berbeda. Dia sepakat perguruan tinggi mendapatkan konsesi tambang dengan catatan harus memperhatikan prinsip-prinsip environmental, social, and governance (ESG) atau dampak kerusakan lingkungannya.
"Saya pikir tahap awal kandidat kampus yang akan mengelola tambang harus latihan dulu ESG," katanya kepadanya Suara.com.
Pasalnya, kata dia, pengelolaan tambang bukan hanya soal mendapatkan keuntungan, tetapi bagaimana bisa berdampak positif bagi masyarakat sekitar. Bagi perguruan tinggi yang mendapatkan konsesi tambang tidak boleh menaikkan uang kuliah tunggal (UKT), dan wajib menerima mahasiswa 10 persen dari sekitar lokasi pertambangan.
"Bila yang menerima hak pengelolaan tambang itu dari kampus yang jauh dari daerah tambang harus menjadikan kampus lokal sebagai mitra. Kampus lokalnya juga paham ESG," kata Asep.
Di sisi lain, dia tidak setuju jika konsesi tambang bertentangan dengan Tridharma Perguruan Tinggi. Menurutnya keterlibatan perguruan tinggi dalam pengelolaan tambang dengan berpegang pada prinsip ESG merupakan bagian pengabdian kepada masyarakat, termasuk juga dengan riset.
"Hasil risetnya diterapkan langsung. Para mahasiswa bisa belajar dan praktik langsung bisnis riil, bukan sekedar teori-teori. Kalau saya setuju saja, tapi tentu kampus harus mampu ESG," pungkasnya.
Praktik pertambangan yang memiliki daya rusak luar biasa terhadap lingkungan dan pada kenyataannya telah terbukti banyak merugikan masyarakat.
"...konsesi pertambangan untuk ormas keagamaan itu maslahatnya lebih besar daripada mafsadahnya," pungkasnya.
"Kami melihat tidak semua perguruan tinggi memiliki kemampuan dan memiliki prodi pertambangan dan geologi,"
"Saya sepakat banget, karena bisa untuk pembelajaran mahasiswa, riset dan mencari pendapatan untuk kepentingan lembaga,"
Dalam laporan Rapor 100 Hari Prabowo-Gibran, Celios menyoroti lima menteri dengan kinerja terburuk.
Desas-desus reshuffle mulai terdengar jelang 100 hari Pemerintahan Prabowo-Gibran. Siapa yang bakal terdepak?
Praktik pertambangan yang memiliki daya rusak luar biasa terhadap lingkungan dan pada kenyataannya telah terbukti banyak merugikan masyarakat.
Dia juga membandingkan anak tersebut dengan putranya, yang menurutnya tidak pernah mengeluh soal makanan sederhana seperti nasi kotak.
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), Nenden Sekar Arum, menegaskan pentingnya kajian komprehensif.
Keterlibatan perguruan tinggi dalam bisnis tambang akan menggerus sensitivitas terhadap persoalan lingkungan dan peran kampus sebagai kekuatan moral.
Trenggono melaporkan kepada Prabowo bahwa pemasangan pagar laut tersebut dilakukan tanpa izin resmi.